Kewarganegaraan Ganda untuk Anak

TATA CARA PENDAFTARAN UNTUK KEWARGANEGARAAN GANDA ANAK

Berikut merupakan keterangan tambahan mengenai tata cara pendaftaran untuk memperoleh kewarganegaraan ganda bagi anak. Tulisan ini juga merupakan jawaban atas salah satu pertanyaan yang disampaikan oleh pengunjung setia Jurnal Hukum ini. Semoga juga memberi manfaat bagi khalayak banyak.

***

Yth. Ibu Santi
Di –
Tempat

UU Kewarganegaraan baru yaitu Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 (“UU No.12/2006”) telah menyebutkan dalam Pasal 4 bahwa anak yang lahir dari perkawinan yang sah antara seorang ayah Warganegara Asing (WNA) dan seorang ibu Warganegara Indonesia (WNI) termasuk sebagai Warga Negara Indonesia. Bagi anak-anak yang lahir sebelum UU ini disahkan, seperti halnya dalam kasus anak-anak Ibu, maka berdasarkan Pasal 41 UU No.12/2006 anak-anak tersebut (dengan syarat belum berusia 18 tahun dan belum kawin) dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan cara mendaftarkan diri pada Menteri melalui pejabat atau perwakilan republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah UU No.12/2006 diundangkan.

Tata cara pendaftaran diatur dalam peraturan pelaksanaan dari UU No.12/2006 yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 41 Dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Pendaftaran untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak yang berayahkan WNA dan beribukan WNI dilakukan oleh salah seorang dari orang tua atau walinya dengan mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup. Permohonan pendaftaran tersebut bagi anak yang bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia diajukan kepada Menteri melalui Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Permohonan pendaftaran bagi anak yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia diajukan kepada Menteri melalui Kepala Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Dalam hal di negara tempat tinggal anak belum terdapat Perwakilan Republik Indonesia, maka permohonan pendaftaran dilakukan melalui Kepala Perwakilan Republik Indonesia terdekat.

Dengan demikian, jika anak-anak Ibu bertempat tinggal di Malaysia, maka dapat mengajukan permohonannya melalui KBRI di Kuala Lumpur atau Konsulat Jenderal RI yang terdekat dengan kediaman anak. Begitu pun halnya jika bertempat tinggal di Jerman, dapat menghubungi KBRI atau KonJen RI yang terkait.

Permohonan pendaftaran sekurang-kurangnya memuat:

  1. nama lengkap, alamat tempat tinggal salah seorang dari orang tua atau wali anak;
  2. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir serta kewarganegaraan kedua orang tua;
  3. nama lengkap, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan anak serta hubungan hukum kekeluargaan anak dengan orang tua; dan
  4. kewarganegaraan anak.

Permohonan pendaftaran harus dilampiri dengan:

  1. fotokopi kutipan Akte kelahiran anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia;
  2. surat pernyataan dari orang tua atau wali bahwa anak belum kawin;
  3. fotokopi kartu tanda penduduk atau paspor orang tua anak yang masih berlaku yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia; dan
  4. pas foto anak terbaru berwarna ukuran 4X6 cm sebanyak 6 (enam) lembar.

Selain lampiran sebagaimana dimaksud bagi anak yang lahir dari perkawinan yang sah harus melampirkan fotokopi kutipan Akte perkawinan/buku nikah. Apabila orang tua bercerai atau salah satu diantaranya telah meninggal dunia, maka dengan melampirkan kutipan Akte perceraian/surat talak/perceraian atau keterangan/kutipan Akte kematian salah seorang dari orang tua anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia. Permohonan pendaftaran menggunakan bentuk formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran I Peraturan Menteri Hukum dan HAM tersebut.

Dalam hal permohonan pendaftaran telah dinyatakan lengkap, Menteri menetapkan keputusan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak permohonan pendaftaran diterima dari Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia.

Keputusan tersebut dibuat dalam rangkap 3 (tiga), dengan ketentuan:

  1. rangkap pertama diberikan kepada orang tua atau wali anak melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia;
  2. rangkap kedua dikirimkan kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia sebagai arsip; dan
  3. rangkap ketiga disimpan sebagai arsip Menteri.

Keputusan Menteri tersebut disampaikan kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Keputusan Menteri ditetapkan. Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia menyampaikan Keputusan Menteri tersebut kepada orang tua atau wali anak yang memohon pendaftaran paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Keputusan Menteri diterima. Permohonan pendaftaran anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat diproses apabila telah diajukan secara lengkap kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat pada tanggal 1 Agustus 2010. Dalam hal permohonan pendaftaran anak diajukan secara lengkap kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia melalui pos hanya dapat diproses apabila stempel pos pengiriman tertanggal paling lambat tanggal 1 Agustus 2010.

Dengan demikian anak-anak Ibu akan memiliki kewarganegaraan ganda, dan di usia 18 tahun nanti atau sebelumnya apabila menikah sebelum 18 tahun, anak-anak Ibu harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraan tersebut.

Untuk lebih lengkapnya, saya lampirkan:

  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;
  2. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.03-PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Demikian penjelasan kami, semoga membantu.

Salam Hormat,

Tim Jurnal Hukum
(pmf/ck)

***

REFERENSI:

  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara memperoleh Kembali Kewarganegaraan republik Indonesia;
  • Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan republik Indonesia Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan republik Indonesia;
  • Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M.02-HL.05.06 Tahun 2006 tentang Tata Cara Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi Warga Negara Indonesia

Tulisan Terkait Lainnya:

* Jurnal Hukum is supported by Qualified Legal Thinkers from Jakarta and New Delhi.

Perkawinan Campuran

PROSEDUR PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA

Pesan sekaligus tanggapan singkat yang disampaikan oleh Sdri. Ayu terhadap artikel mengenai Perkawinan Campuran serta berbagai pertanyaan sejenis dari beberapa masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di New Delhi, telah membawa saya pada suatu kesimpulan sederhana bahwa di saat sekarang ini banyak terdapat masyarakat Indonesia yang hendak melakukan perkawinan campuran (perkawinan beda kewarganegaraan) namun terkendala atau setidaknya minimn akan informasi hal tersebut.

Oleh karena itu dalam artikel berikut, saya sampaikan informasi dasar lainnya mengenai hal-hal yang terkait dengan perkawinan campuran, khususnya bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang akan menikah di Indonesia dengan laki-laki Warga Negara Asing (WNA) berdasarkan UU yang berlaku saat ini (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

1. Perkawinan Campuran

Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, dikenal dengan Perkawinan Campuran (pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Artinya perkawinan yang akan anda lakukan adalah perkawinan campuran.

2. Sesuai dengan UU Yang Berlaku

Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belum berumur 21 tahun, dan sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan).

3. Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan

Bila semua syarat telah terpenuhi, anda dapat meminta pegawai pencatat perkawinan untuk memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing pihak, –anda dan calon suami anda,– (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan ini berisi keterangan bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan. Bila petugas pencatat perkawinan menolak memberikan surat keterangan, maka anda dapat meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan, yang menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan (pasal 60 ayat 3 UU Perkawinan).

Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan ini berlaku selama enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum dilaksanakan, maka Surat Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5 UU Perkawinan).

4. Surat-surat yang harus dipersiapkan

Ada beberapa surat lain yang juga harus disiapkan, yakni:

a. Untuk calon suami

Anda harus meminta calon suami anda untuk melengkapi surat-surat dari daerah atau negara asalnya. Untuk dapat menikah di Indonesia, ia juga harus menyerahkan “Surat Keterangan” yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI. SK ini dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan:

  • Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)
  • Fotokopi Akte Kelahiran
  • Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin;atau
  • Akte Cerai bila sudah pernah kawin; atau
  • Akte Kematian istri bila istri meninggal
  • Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara WNA tersebut yang ada di Indonesia.

b. Untuk anda, sebagai calon istri

Anda harus melengkapi diri anda dengan:

  • Fotokopi KTP
  • Fotokopi Akte Kelahiran
  • Data orang tua calon mempelai
  • Surat pengantar dari RT/RW yang menyatakan bahwa anda tidak ada halangan bagi anda untuk melangsungkan perkawinan

6. Pencatatan Perkawinan (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan)

Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan (kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.

7. Legalisir Kutipan Akta Perkawinan

Kutipan Akta Perkawinan yang telah anda dapatkan, masih harus dilegalisir di Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan negara asal suami.

Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan anda sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum di negara asal suami, maupun menurut hukum di Indonesia

8. Konsekuensi Hukum

Ada beberapa konsekuensi yang harus anda terima bila anda menikah dengan seorang WNA. Salah satunya yang terpenting yaitu terkait dengan status anak. Berdasarkan UU Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-sama telah diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.

Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Jadi bersiaplah untuk mengurus prosedural pemilihan kewarganegaraan anak anda selanjutnya.

Semoga mencerahkan dan have a nice weekend readers..

Catatan:

  • Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia, harus didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak, maka perkawinan anda belum diakui oleh hukum kita. Surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal anda di Indonesia (pasal 56 ayat (2) UU No 1/74).

Referensi Utama: LI Seri 45 – LBH APIK Jakarta

Artikel terkait:
1. Status Hukum Anak Perkawinan Campuran
2. Status Anak Luar Kawin Perkawinan Campuran

Penelitian Hukum: Hak Konstitusi

HAK KONSTITUSI ANAK: Suatu Perbandingan dan Studi Kritis
terhadap Konstitusi India dan Indonesia

Penulis: Pan Mohamad Faiz
Tebal: xiii + 80 Halaman + Lampiran
Waktu: Desember 2006
Bahasa : Inggris
“Hak Asasi Manusia Dimulai Dari Usaha Pemenuhan Hak Anak”
Peran yang dimainkan oleh generasi anak di tengah-tengah masyarakat kini semakin dirasakan sangat pentingnya setiap harinya. Perkembangan anak yang baik akan sangat diperlukan untuk melaksanakan fungsi pembangunan suatu bangsa di masa mendatang. Oleh karenya, hubungan saling hormat-menghormati perlu pula untuk ditanamkan sejak dini di antara anak-anak maupun orang dewasa, sehingga pada nantinya setiap orang akan mampu menghormati nilai yang melekat pada diri setiap individu lainnya.

Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989 berusaha keras untuk mencapai maksud tersebut melalui garis pedoman dan tujuan yang telah dibuatnya. Bagaimana kita semua sebagai suatu masyarakat, baik orang dewasa maupun anak-anak, memilih untuk menginterpretasikan pedoman dasar tersebut akan kembali kepada pilihan negara masing-masing. Akan tetapi jika hal tersebut diinterpretasikan secara positif, maka akan mempunyai potensi untuk memperbesar dan membangun sebuah bangsa yang lebih kokoh.

Pengalaman negara India telah menunjukan bahwa mereka mempunyai perhatian dan pandangan yang konstruktif terhadap hak-hak anak yang mungkin dapat berguna bagi mereka yang menjadi penggiat dari pentingnya untuk memasukkan hak-hak anak ke dalam skema kontitusi. Konstitusi India merupakan salah satu konstitusi yang secara eksplisit mempunyai pengkonstitusionalisasian terhadap hak-hak anak. Oleh karena itu, bukanlah tanpa ketidaksengajaan jikalau konstitusi India memberikan perhatian lebih kepada anak dengan perlindungan yang khusus.

Kekhususan dari naskah konstitusi India, diharapkan akan dapat membantu untuk mencegah terjadinya ketimpangan dan kesalahan yudisial di mana hal tersebut seringkali terjadi pada perjalanan pengalaman Indonesia di masa pemenuhan hak asasi seperti sekarang ini. Bila kita bandingkan dengan konstitusi Indonesia (UUD 1945), di mana para pembentuknya telah meninggalkan penafsiran yang tidak berujung-pangkal mengenai legitmasi dalam model penafsirannya, konstitusi India justru menyertakan instruksi secara mendetil mengenai bagaimana seharusnya naskah konstitusi harus dibaca dan dilaksanakan. Walaupun ketentuan-ketentuan tersebut tidak secara keseluruhan akan mampu menyelesaikan dilema interpretasi di masa yang akan datang, akan tetapi setidaknya secara eksplisit hal tersebut dapat memberikan arahan kepada para ahli dan hakim untuk membuka peluang adanya perkembangan konstitusi namun juga adanya pembatasan sehingga interpretasi tidak terperangkap pada formalitas yang terlalu berlebihan.

Penelitian ini memperbandingkan dua pengalaman hukum yang cukup berbeda, yaitu India dan Indonesia, dengan pengaplikasian kepada topik khusus mengenai hak-hak anak. Penelitian ini menghadirkan fokus perhatian kepada jangkauan dari pemenuhan unsur dasar yang akan mempengaruhi dalam proses pembentukan generasi penerus selanjutnya ke dalam tatanan dunia yang tengah memasukkan hak-hak dasar di dalam suatu konstitusi.

Konstitusi India dan Indonesia mempunyai perbedaaan dalam berbagai macam hal. Konstitusi Indonesia dapat dikatakan sangat singkat yaitu hanya 16 bab dan 37 pasal yang terkadang menimbulkan makna yang kurang jelas. Konstitusi India hampir 120 kali lebih panjang dari konstitusi Indonesia, di mana memuat 444 pasal dan 12 daftar pokok dengan total sekitar 1.117.360 kata dalam versi bahasa inggrisnya. Walaupun konstitusi India hanya mempunyai perbedaan empat tahun lebih lama dari efektifnya pelaksanaan konstitusi Indonesia, akan tetapi hingga tahun 2006 ini justru telah terjadi amandemen sebanyak 93 kali. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat mencolok dengan jumlah amandemen yang pernah terjadi pada konstitusi Indonesia, yaitu hanya sebanyak empat kali sejak pertama kali disahkan pada tahun 1945.

Di sisi lain, pemuatan secara eksplisit dari kategori utama para pemangku hak, konstitusi India mempunyai daftar yang cukup terperinci mengenai hak-hak anak. Secara kontras, naskah konstitusi Indonesia lebih cenderung terdiam terhadap hakekat dari pentingnya permasalahan tersebut. Tidak hanya terkesan diam terhadap hak-hak anak, akan tetapi konstitusi ini juga sama sekali tidak menyinggung mengenai diskriminasi jender dan umur anak, kehamilan dan reproduksi, ataupun hak-hak dari orang tua dan keluarga terhadap anak. Konstitusi Indonesia secara eksplisit hanya menyediakan satu pasal saja mengenai hak konstitusi yang secara khusus ditujukan kepada anak, yaitu tercantum pada Pasal 28B.

Peraturan perundang-undangan di India tidak hanya memuat secara eksplisit terhadap substansi hak saja, akan tetapi juga terhadap berbagai prosedur dan permasalahan jurisprudensi, seperti misalnya mengenai kedudukan dan interprestasi hukum. Hal ini telah menciptakan berbagai hak menjadi mengikat tidak hanya kepada unsur tindakan publik tetapi juga kepada unsur tindakan privat. Hukum-hukum Indonesia, lagi-lagi, masih dirasa tidak mampu menjawab tantangan tersebut, terkesan hanya membatasi dan terkadang tidak ada kepastian mengenai lingkup, aplikasi dan pemenuhan dari hak-hak anak. Berbagai dokumen hukum India memiliki instruksi yang sangat hati-hati dalam melakukan penafsiran dan masih banyak ketentuan lainnya yang dapat dipergunakan ketika terjadinya situasi pertentangan antara hak dan kepentingan lainnya. Kembali, dokumen hukum Indonesia, khususnya dalam sistem pengadilan anak, hanya menyediakan seperangkat petunjuk minimal dan akibatnya meninggalkan adanya kekosongan interpretasi.

Hak-hak anak merupakan kebutuhan yang harus selalu dipenuhi di mana mempunyai akar utama dari konsep “liberty”, “equality”, dan khususnya “dignity”. Kenyataan menjadi suatu bukti yang terlihat jelas bahwa Indonesia masih gagal dalam merespon kewajiban internasional untuk mengakui dan melakukan pemenuhan akan hak-hak anak. Hingga akhirnya, keringnya prinsip “dignity” yang dinyatakan secara eksplisit dan terlalu luasnya ukuran dalam melakukan interpretasi menjadi faktor penghambat perkembangan alami dari hak-hak konstitusi anak. Sulitnya mengkonstruksikan teori mengenai hak-hak anak dalam pelembagaan doktrin konstitusi di Indonesia menciptakan sebuah kenyataan bahwa anak sebenarnya harus dibedakan dengan orang yang telah dewasa, dan konstitusi Indonesia nyatanya tidak mampu untuk melihat pebedaan utama dari keduanya tersebut.

Deskripsi di atas tersebut merupakan sebuah kesimpulan singkat yang diambil dari penelitian hukum yang telah saya buat mengenai lingkup studi konstitusi dan hak anak. Pada dasarnya, penelitian tersebut mempunyai sistematika studi dengan struktur sebagai berikut:

Constitutional Rights of Children: A Comparative and Critically Study
under the Constitution of India and Indonesia

ACKNOWLEDGEMENT
CONTENTS
ABSTRACT

CHAPTER I: INTRODUCTION
1.1. Background to Research Paper
1.2. Objectives
1.3. Research Methodology
1.4. Conceptual Definitions
1.4.1. Constitutional Rights
1.4.2. Children
1.5. Structure of Research Paper

CHAPTER II: THE DEVELOPMENT OF CHILDREN’S RIGHT
2.1. Declaration of Geneva
2.2. 1959 Declaration of the Rights of the Child
2.3. Other United Nations Human Rights Instruments
2.4. Convention on the Rights of the Child
2.4.1. Origins and Background
2.4.2. The Drafting Process
2.4.3. Substantitive Rights
2.4.4. The Implementation Mechanism
2.5. International Recognition
2.5.1. The World Summit for Children, 1990
2.5.2. UN Conference of Environment and Development, 1992
2.5.3. World Conference of Human Rights, 1993
2.5.4. International Labour Organisation
2.6. Juvenile Justice
2.6.1. International Instruments

CHAPTER III: INDIAN EXPERIENCES ON CHILDREN’S RIGHTS PROTECTION
3.1. Constitutional Provisions
3.2. Legislative Measures
3.2.1. Factories Act, 1948
3.2.2. The Mines Act, 1952
3.2.3. The Motor Transport Workers Act, 1961
3.2.4. The Apprentice Act, 1961
3.2.5. The Beedi and Cigar Workers Act, 1966
3.2.6. The Merchant Shipping Act, 1958
3.2.7. The Plantation Labour Act, 1951
3.2.8. Shops and Commercial Establishment Act, 1969
3.2.9. The Children (Pledging of Labour) Act, 1933
3.2.10. The Employment of Children Act, 1938
3.2.11. The Child Labour Act, 1986
3.3.12. Provisions under Secular Laws
3.3.12.1. Civil Procedure Code, 1908
3.3.12.2. Criminal Procedure Code, 1973
3.3.12.3. Indian Penal Code, 1860
3.3.12.4. Indian Evidence Act, 1872
3.2.12.5. Indian Contract Act, 1872
3.3. Indian Juvenile Justice
3.3.1. Preamble
3.3.2. Juvenile in Conflict with Law
3.3.2. Juvenile Justice Board
3.3.3. Bail of Justice
3.3.5. Child Welfare Committee
3.3.6. Homes
3.3.7. Other Important Provisions

CHAPTER IV: INDONESIAN EXPERIENCES ON CHILDREN’S RIGHTS PROTECTION
4.1. International Legal Framework
4.1.1. Convention on the Rights of the Child (CRC)
4.1.2. Optional Protocol on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography
4.1.3. The Optional Protocol on the Involvement of Children in Armed Conflict
4.1.4. The Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children
4.1.5. The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW)
4.1.6. The Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration for Marriages
4.1.7. The Declaration on the Elimination of Violence Against Women
4.1.8. The International Labour Organization Convention No. 182 (ILO Convention 182)
4.1.9. The International Convention 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (1973)
4.2. National Legal Framework
4.2.1. Constitutional Framework
4.2.1. General National Child Rights Framework
4.2.3. Definition of the Child and Age of Majority
4.3. Indonesian Juvenile Justice System
4.3.1. National Procedures for Administration of Juvenile Justice
4.3.1.1. Investigation of Children
4.3.1.2. Arrest and Detention of Children
4.1.1.3. The Juvenile Court Hearing
4.1.1.4. Sentencing
4.3.2. The Child Protection Act
4.3.3. Formal and Informal Practices in the Judicial System

CHAPTER V: CONCLUSION AND SUGGESTION
5.1. Conclusions
5.2. Suggestions

BIBLIOGRAPHY
ANNEXURE

Saya berharap penelitian yang sederhana ini dapat menjadi penelitian hukum yang bermanfaat bagi pengkonstitusionalisasian hak-hak anak di berbagai negara, khususnya Indonesia. Kritisasi terhadap hasil penelitian ini juga sangat disambut baik demi mempersembahkan hasil penelitian yang lebih baik di masa yang akan datang. Kepada siapa pun yang berminat untuk membaca keseluruhan dari penelitian ini, khususnya kepada para aktivis konstitusi dan hak anak, mereka dapat mengajukan permintaan dengan menuliskan permohonan dan tujuan penggunaannya pada fasilitas tanggapan yang telah disediakan di bawah artikel ini. Akhir kata saya ucapkan: “Selamat Membaca dan Terus Berkarya”

Salam Hormat,
New Delhi

Status Anak Luar Kawin

TANYA JAWAB TENTANG STATUS ANAK LUAR KAWIN

Menanggapi pertanyaan yang disampaikan oleh Sdr. Adit (Universitas Brawijaya) dan Ibu Riku (Individual) mengenai “Status Anak Luar Kawin dari Perkawinan Campuran” (red- dari pasangan beda bangsa/campuran), secara ringkas berikut analisa yang dapat diberikan:

Berdasarkan ketentuan hukum Indonesia, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Oleh karena itu, apabila sang Ibu berkewarganegaraan Indonesia, maka si Anak akan mengikuti warga negara dan hukum sang Ibu. Bila sang Ibu berkewarganegaraan asing maka si Anak akan ikut warga negara ibunya yang WNI. Hal ini juga diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006 (“UU 12/2006”) tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan yang baru) dalam Pasal 4 huruf g, mengenai siapakah yang bisa disebut sebagai warga negara Indonesia, yaitu:

“Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia”

Lalu bagaimana dengan anak luar kawin yang ibunya WNA dan ayahnya WNI, tetapi sang ayah mau mengakui Anak tersebut sebagai Anaknya? UU 12/2006 juga telah mengatur mengenai hal tersebut, di mana dalam Pasal 4 huruf h tercantum bahwa WNI adalah:

“Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin”.

Kemudian bagaimana dengan anak luar nikah yang ibunya WNI lalu ayahnya WNA tapi sang ayah mau mengakui anak tersebut? Berdasarkan pasal 5 (1) UU 12/2006, dijelaskan:

“Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia”.

Tetap diakuinya anak-anak tersebut diatas sebagai WNI berdasarkan Pasal 6 UU 12/2006 menyebabkan anak-anak ini mempunyai kewarganegaraan ganda sampai usianya 18 tahun atau sudah kawin, di mana ia dibolehkan untuk memilih kewarganegaraannya. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan disampaikan secara tertulis kepada Pejabat yang ditugaskan oleh menteri untuk mengurusi bidang kewarganegaraan, dengan dilampiri dokumen sesuai peraturan perundangan.

Anak-anak yang lahir dari hubungan luar kawin lalu diakui atau diakui secara sah oleh ayahnya yang WNA atau WNI, seperti tersebut diatas, dan ia belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang 12/2006 dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.

Demikian penjelasan yang dapat diberikan semoga membantu.

Salam,

Jurnal Hukum PMF