
I. KUTIPAN PUTUSAN NOMOR 13/PUU-VI/2008 dibacakan pada hari Rabu, 13 Agustus 2008
4. KONKLUSI
Berdasarkan seluruh pertimbangan terhadap fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Bahwa cara penghitungan persentase anggaran pendidikan yang diterangkan Pemerintah yaitu perbandingan anggaran fungsi pendidikan terhadap total anggaran belanja negara (yang telah dikurangi dengan anggaran untuk beban subsidi energi dan pembayaran bunga utang) bukanlah cara penghitungan yang dianut oleh UU APBN-P 2008, sehingga tidak memiliki nilai hukum sebagai alat bukti untuk mempertimbangkan konstitusionalitas anggaran pendidikan dalam UU APBN-P 2008 dan oleh karenanya harus dikesampingkan;
[4.2] Bahwa telah ternyata anggaran pendidikan dalam UU APBN-P 2008 hanya sebesar 15,6%, sehingga tidak memenuhi ketentuan konstitusional sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Dengan demikian, UU APBN-P 2008 bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pemohon beralasan;
[4.3] Bahwa meskipun UU APBN-P 2008 bertentangan dengan UUD 1945, tetapi untuk menghindari risiko kekacauan dalam penyelenggaraan administrasi keuangan negara, UU APBN-P 2008 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan diundangkannya Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2009.
Menyatakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4848) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4848) tetap berlaku sampai diundangkannya Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009.
II. PETIKAN PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 06/PMK/2005 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Pasal 36
a. “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima”, dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003;
III. PETIKAN UNDANG-UNDANG NO 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(5) Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
IV. ANALISA
Setelah kita membandingkan antara bunyi amar dengan pedoman penulisannya, seharusnya permohonan yang dikabulkan haruslah dinyatakan muatan ayat, pasal; dan/atau bagiannya bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, muatan ayat, pasal dan/atau bagiannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Tetapi dalam Putusan No. 13/PUU-VI/2008, amarnya justru berbunyi: (1) mengabulkan permohonan; (2) UU bertentangan dengan UUD; namun (3) UU dinyatakan tetap berlaku dengan syarat tertentu.
Apakah dalam hal formil Putusan tersebut mempunyai kekuatan yang sah dan mengikat? Dapatkah amar putusan memuat isi yang berbeda dengan syarat formil pembuatan putusan? Inilah yang dapat dijadikan diskursus akademis terhadap beberapa Putusan Mahkamah yang sejenisnya.
Tidak jauh berbeda dengan hal tersebut, dalam Putusan terhadap Pengujian Undang-Undang APBN 2006, Mahkamah memutus dengan amar: (1) Permohonan dikabulkan; (3) syarat maksimum katup anggaran pendidikan bertentangan dengan UUD; (3) UU dinyatakan tetap berlaku.
Terhadap bentuk putusan tersebut, menurut saya terdapat tiga argumentasi yang berbeda dalam menyikapi putusan tersebut, yaitu:
PENUTUP
Palu sidang sudah diketuk. Artinya, semanis atau sepahit apapun Putusan, haruslah kita terima dengan lapang dada. Dengan tetap mengkritisi putusan yang ada, diharapkan dapat memperkaya referensi kaidah dan praktik hukum di Indonesia, khususnya yang berkenaan dengan pembaharuan hukum acara dan putusan di Mahkamah Konstitusi.
Satu hal yang dapat dipastikan, dalam memutuskan perkara APBN tersebut, sebagian besar hakim konstitusi telah mengambil langkah yang terbilang cukup berani, bahkan dapat dikatakan memasuki ranah judicial activism. Hemat penulis, hal demikian tidaklah dilarang, selama judicial activism ini tidak berubah menjadi judicial adventure yang muaranya justru mencoba mencari jalan di tengah-tengah kegelapan hukum.
Semoga uraian pengantar ini dapat menjadi stimulus diskusi terhadap praktik ketatanegaraan di tanah air. Bagaimana dengan pendapat anda?
menurut saya sih yang paling pas no 2, agar pemerintah dan DPR segera menetapkan APBN yang baru.
eliminasinya mudah, pemerintah dan dpr harus taat sama putusan pengadilan jalannya bisa pakai perpu.
nah kalau dalam membuat UU saja pemerintah dan dpr tidak pernah taat pada putusan pengadilan, lalu negara macam apa ini mas?
Terkait usul Penulis untuk merevisi UUMK dan memberikan “pedang baru” kpd Mahkamah untuk menjalankan fungsinya sebagai pengawal Konstitusi, memang saat ini kita melihat seolah-olah kewenangan Mahkamah dalam melakukan “koreksi hukum” amat terbatas. Mungkin hal tsb jg yg memaksa kadangkala Mahkamah membuat Putusan yang ultrapetita. Hal demikian (dengan mengesampingkan faktor politis, tekanan publik, dkk) dilakukan karena acapkali permohonan pemohon secara substansial “tidak lengkap”, dalam artian ketika mengajukan pengujian terhadap suatu ketentuan UU seyogianya pemohon melihat ketentuan lain dalam UU yang juga terkait dengan materi permohonannya. Ketika terjadi suatu permohonan yang “parsial”, maka –mungkin- Majelis menyadari bahwa akan terjadi kesulitan bagi Pemerintah untuk menjalankan pengurusan pemerintahan saat masa transisi pasca dinyatakannya suatu norma tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, oleh karena itu dibuatlah suatu Putusan yg lebih “holistik”. Sehingga dalam hal ini pembelajaran oleh pemohon (dan kuasa hukumnya) kiranya dapat menjadi perhatian kita bersama.
Pada praktiknya suatu Putusan Mahkamah memang secara otomatis memberi tugas bagi Pemerintah untuk melakukan executive review untuk mengatasi kekosongan hukum sebagai implikasi Putusan. Dan dalam mengatasi kekosongan hukum seringkali digunakan instrumen Perppu, karena pengajuan permohonan uji materiil kerapkali dilakukan terhadap UU yang mengatur peristiwa hukum yang sedang berjalan (dalam proses/tahapan), sehingga dibutuhkan penanganan segera. Dalam beberapa kasus dalam bidang politik, di satu sisi kita melihat Putusan Mahkamah dianggap “mengganggu” jalannya proses yang sedang berlangsung. Kepekaan Mahkamah dalam melihat perkara jenis apa yang sedang ditangani dan kecepatan dalam menyelesaikannya menjadi solusi untuk hal ini.
Dalam beberapa hal sy sepakat dengan Penulis untuk memberikan “pedang baru” kpd Mahkamah, namun menjadi suatu “PR” bagi kita apakah “pedang baru” tersebut akan tercipta mengingat Mahkamah adalah negative legislator, bukan positive legislator. Apabila Mahkamah dapat mengeksekusi Putusannya, bagaimana bentuknya? Apakah hal tsb tidak memasuki ranah legislator, sementara Mahkamah merupakan yudikatif? Sedangkan permasalahan saat ini timbul karena Mahkamah tidak dapat berfungsi positive legislator.
Salam hangat,
Biromo Nayarko