UUD 1945 dan Hukuman Mati

TAFSIR MAHKAMAH KONSTITUSI:
HUKUMAN MATI TIDAK BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945


Tafsir UUD 1945 oleh Mahkamah Konstusi terkait dengan konstitusionalitas “Hukuman Mati” yang telah ditunggu lama akhirnya tiba juga. Berikut merupakan kutipan berita resmi yang diturunkan oleh Mahkamah dari ruang persidangan sesaat setelah palu Majelis diketukkan sebagai tanda diputusnya perkara dengan sifat final dan binding.

Ketentuan Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika, sepanjang mengenai ancaman pidana mati, tidak bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang diajukan para Pemohon perkara 2/PUU-V/2007 (Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani, Myuran Sukumaran, Andrew Chan) dan Pemohon perkara 3/PUU-V/2007 (Scott Anthony Rush), Selasa (30/10) di Ruang Sidang MK. Para Pemohon yang sebagian merupakan warga negara asing yang telah dipidana mati tersebut merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya ancaman pidana mati dalam UU Narkotika.

Dalam konklusinya, terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) pemohon warga negara asing tersebut, MK menyatakan bahwa para Pemohon yang berkewarganegaraan asing tidaklah mempunyai kedudukan hukum, sehingga permohonan Myuran Sukumaran, Andrew Chan dan Scott Anthony Rush tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Menanggapi argumentasi pokok yang diajukan para Pemohon bahwa pidana mati bertentangan dengan hak untuk hidup (right to life) yang menurut rumusan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, MK mendasarkan pada original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi. Hal ini diperkuat pula dengan penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945. Jadi, secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.

Ketidakmutlakan hak untuk hidup (right to life), baik yang berwujud ketentuan-ketentuan yang membolehkan diberlakukannya pidana mati dengan pembatasan-pembatasan tertentu ataupun ketentuan-ketentuan tentang penghilangan nyawa secara absah, dapat juga ditemukan dalam sejumlah instrumen hukum internasional yang mengatur tentang atau berkait dengan hak asasi manusia, di antaranya, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict, Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict, Rome Statute of International Criminal Court, Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights), American Convention on Human Rights, Protocol No. 6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of the Death Penalty.

Sebagai contoh, ICCPR yang digunakan para Pemohon untuk mendukung dalil-dalilnya, tidaklah melarang negara-negara pihak (state parties) untuk memberlakukan pidana mati, tetapi ada pembatasan diberlakukan hanya terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut (the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime..) [Pasal 6 ayat (2) ICCPR]. Artinya, dengan dimungkinkannya suatu negara memberlakukan pidana mati (meskipun dengan pembatasan-pembatasan), hal itu merupakan bukti bahwa hak untuk hidup tidaklah bersifat mutlak.

Terkait dengan itu, MK menyatakan bahwa kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika tergolong ke dalam kelompok kejahatan yang paling serius baik menurut UU Narkotika maupun menurut ketentuan hukum internasional yang berlaku pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dengan demikian, kualifikasi kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika di atas dapat disetarakan dengan “the most serious crime” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR.

MK juga memberikan beberapa catatan penting, sebagaimana dituangkan dalam pertimbangan hukum putusan, salah satunya adalah ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguh-sungguh: bahwa pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif; pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun; pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa; eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh. Selain itu, demi kepastian hukum yang adil, MK juga menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) segera dilaksanakan.

Terhadap putusan ini, empat orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions). Pendapat berbeda Hakim Konstitusi H. Harjono khusus mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon Warga Negara Asing. Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi mempunyai pendapat berbeda mengenai Pokok Permohonan. Sedangkan Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda baik mengenai kedudukan hukum (legal standing) maupun Pokok Permohonan.

Dalam salah satu hasil penelitiannya tentang Hukuman Mati berikut artikel yang telah dimuat di Jakarta Post pada bulan Mei lalu, Penulis juga telah menguraikan analisa yang sedikit banyak juga disampaikan dalam pertimbangan Putusan Majelis Hakim sebagaimana telah diuraikan secara ringkat di atas.

Pertanyaannya sekarang, apakah rezim hukuman mati di Indonesia sudah pasti terus bertahan? Jawabannya adalah iya dan tidak. “Iya” karena hukuman mati dapat dijatuhkan dengan syarat-syarat khusus dan spesifik, dan “Tidak” karena Mahkamah hanya memutuskan konstitusionalitas Hukuman Mati pada UU Narkotika. Bagaimana dengan ketentuan hukuman mati pada UU lainnya, misalnya dalam KUHP atau UU Darurat? Mulai saat ini, pertimbangan hukum Mahkamah dapat dijadikan senjata pamungkas untuk memangkas berbagai ketentuan hukuman mati di berbagai UU yang tidak sesuai dengan tafsir Mahkamah.

***

Tulisan terkait lainnya: Perdebatan Konstitusionalitas Hukuman Mati

5 thoughts on “UUD 1945 dan Hukuman Mati

  1. “HUKUMAN MATI”
    Penerapan hukuman mati bagi para pelaku korupsi kian hari semakin serius di perbincangkan,diawali dari dialogue ringan antar sesama merambah ketingkat golongan bahkan level elit..inti dari wacana bertitik fokus terhadap prilaku para “KORUPTOR”dipandang sudah sangat memprihatinkan sekali dan menimbulkan pertanyaan mendasar sekaligus permasalahan nya:
    1.pantaskah mereka dieksekusi mati?
    2.lantas bagaimana dengan dalih HAM?
    Namun ada satu perkara pertentangan melahirkan hubungan emosional dimana ketika mempertanyakan kekuatan hukum atas ketimpangan prakarsa rucutan akar permasalahan dalam hal ini”tindak tegas para pelaku korupsi”:
    1.dlm lngkah upaya penegakan hukum,mengapa tidak?
    2.asumsi nya sudah berkenaan dengan itu,HAM yg mana yg dipertahankan?
    “ILUSTRASI”
    IDEALIS merupakan landasan dasar perumusan suatu permasalahan yg sebelumnya dimasukkan dlm agenda setting dan kemudian dibahas dengan tujuan menghasilkan output STRATEGI problematika yg positif,”MANUSIAWI SEKALI” sekurng-kurangnya idealisme di pertanyakan berdasarkan moral siapa?mereka kah yg disebut-sebut ataukah mereka yg haknya telah direnggut?untuk merajut benang kusut iya kita kembalikan kepada pribadi bangsa dalam konteks kebangsaan salah satunya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,meliputi hak tiap-tiap warga negara bukan sebaliknya keadilan sosial bagi seluruh perusak bangsa,meliputi hak -hak pejabat pelaku korupsi termasuk didalamnya.Ironisnya,gagasan RUU eksekusi mati terpidana korupsi spertinya terleebih dulu ingin dibunuh.
    Syeet…………………………………

    Dalam salah satu artikel dalam Jurnal Internasional, saya menemukan salah satu judul yang menarik tentang hukuman mati, yaitu “The Never Ending Debate”. Disebutkan bahwa pro-kontra terhadap Hukuman Mati di dunia ini akan selalu terjadi dan tipis kemungkinan akan berhasil pada satu titik yang sama.

    Mengenai Koruptor Indonesia harus dihukum mati, itupun juga menjadi perdebatan yang cukup hebat. Pasalnya, “serious crime” dalam kaca mata hukum internasional dan perspektif barat merupakan bentuk kejahatan yang berhubungan langsung dengan hilangnya nyawa. Namun demikian, apabila para jurist Indonesia bisa memberikan argumentasi yang kuat, tentunya tindak pidana korupsi sekalipun bisa juga dijatuhkan hukuman mati.

    Oleh karena itu, setiap negara dengan latar belakang yang berbeda-beda mempunyai pandangan yang berbeda dan tidak sama antara satu sama lainnya mengenai Hukuman Mati. Tiap-tiap negara saling memberikan influence kepada yang lain. Kini Indonesia dihadapkan dengan dua pendapat besar, yaitu abolitionist dan retentionist. Biarkan hal tersebut berlangsung dalam koridor akademis dari berbagai aspek dan nilai, sehingga pembelajaran hukum, HAM, dan demokrasi dapat diikuti dan dinilai dengan sendirinya oleh masyarakat Indonesia secara utuh.

    Anyway, terima kasih atas tanggapan dan komentarnya. Semoga dapat menjadi diskusi yang menarik untuk kita semua.

    Best Regards,
    PMF

  2. hukuman mati di indonesia memang di benarkan khususnya untuk koruptor, hanya saja hukuman mati ini berlaku bagi koruptor yang melakukan korupsi pada saat negara sedang mengalami bencana nasional atau korupsi yang dilakukan disaat negara sedang mengalami krisis.
    pada saat itulah seorang hakim harus yakin untuk menjatuhkan hukuman mati pada koruptor tersebut.

    Iya, ketentuan tersebut di atur dalam Pasal 2 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu korupsi yang dilakukan dalam “keadaan tertentu”.

  3. mentri luar negri stephen smit tidak menyetujui hukuman mati lho.walaupun memngaku lega setelah mengetahui terpidana bom bali
    Amrizi Cs di eksekusi.
    bahwa stepehen smit tetap mendorong dunia internasional melarang hukuman mati.
    bahkan waktu dekat australia akan menjadi co-sponsor resolusi di sidang umum PBB untuk menunda hukuman mati.

  4. Hukuman mati.^_^

    Hukuman mati menurut agama adalah hanya Tuhanlah yang berhak atas makhluknya,,,
    lantas bagaimanakah hukuman mati yang diberikan manusia kepada manusia..?

    tapi dalam undang-undang kita KUHP tentu kita harus merevisi lebih lnjut karena hukuman mati bagi orang bersalah tentu melanggar HAM,,,
    menurut saya jika hukuman mati diterapkan kdalam UUD kita harusnya KORUPTOR bukan seperti teroris, pembunuhan,dll karena KORUPTOR lebih keji dari itu dimana rakyat miskin sangat merasakannya begitu banyaknya orang miskin di Indonesia….

  5. Terlepas dari keji dan tidaknya tindakan pidana yang dilakukan Pelaku, termasuk koruptor, HUKUMAN MATI TIDAK TEPAT, DAN UU PERLU SEGERA DIADAKAN PERUBAHAN. DAN JUGA PERTAHANAN NEGARA BERSIH APARATUR PENEGAK HUKUM, UTAMANYA DALAM PENJAGA TAHANAN DALAH PENJAGA RUTAN HARUS BERSIH DAN BERSENJATA LENGKAP. JANGAN TIDUR MELIHAT UANG, SEPERTI GAYUS SAJA BISA JALAN JALAN JUGA SEMUA PENGHUNI RUTAN, . DAN PERSAMAAN KEDUDUKAN DALAM RUTAN, TIDAK ADA DISKRIMINASI, KAMAR VIP DLL. SEMOGA TERINSPIRASI LEGAL DRAFTER. LEMAHNYA SYSTEM PENJAGAAN, FASILITAS RUTAN, DAN KWALITAS RUTAN ANTI BOCOR ANTI JEBOL , DAN RENDAHNYA ANGGARAN PEMERINTAH UNTUK KASI MAKAN NARAPIDANA. DAN RENDAHNYA MORAL APARATUR MENCARI GAJI TAMBAHAN DENGAN UANG SUAP.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s