Pembatasan Hak Asasi Manusia di Indonesia

EMBRIO DAN PERKEMBANGAN PEMBATASAN HAM DI INDONESIA*
Oleh: Pan Mohamad Faiz

Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya.

Namun demikian, pemasukan pasal-pasal mengenai HAM sebagai suatu jaminan konstitusi (constitutional guarantee) ternyata masih menyimpan banyak perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi HAM. Fokus permasalahan terjadi pada dua pasal yang apabila dibaca secara sederhana mempunyai pengertian yang saling bertolak belakang, yaitu mengenai ketentuan terhadap non-derogable rights (Pasal 28I) dan ketentuan mengenai human rights limitation (Pasal 28J). Benarkah dalam UUD 1945 itu tersendiri terdapat pembatasan atas ketentuan HAM, termasuk di dalamnya terhadap Pasal 28I yang di akhir kalimatnya berbunyi ”…adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”? Tulisan ringan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pendapat the 2nd founding parents serta tafsir resmi dari Mahkamah Konstitusi.

Rujukan Dasar
Rujukan yang melatarbelakangi perumusan Bab XA (Hak Asasi Manusia) UUD 1945 adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Hal ini dikemukakan oleh Lukman Hakim Saefuddin dan Patrialis Akbar, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, pada persidangan resmi di Mahkamah Konstitusi bertanggal 23 Mei 2007. Ketetapan MPR tersebut kemudian melahirkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya, baik itu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 maupun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sama yakni menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas.Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.

Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”

Konstitusionalisme Indonesia

Dalam perkara yang sama, Mahkamah menilai bahwa apabila kita melihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;

2. Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”;

3. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis”;

4. UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan paham konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di atas;

Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang HAM sebagaimana telah diuraikan di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh yaitu adanya pembatasan mengenai hak untuk hidup (right to life):

1. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”, namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”;

2. UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun, Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.

Selain itu, putusan Mahkamah yang dapat kita jadikan rujukan mengenai pembatasan terhadap HAM di Indonesia yaitu Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 mengenai pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Soares

Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam konteks ini, Mahkamah menafsirkan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak.

Oleh karena hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” dapat dibatasi, maka secara prima facie berbagai ketentuan hak asasi manusia di luar dari Pasal tersebut, seperti misalnya kebebasan beragama (Pasal 28E), hak untuk berkomunikasi (Pasal 28F), ataupun hak atas harta benda (Pasal 28G) sudah pasti dapat pula dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.

Kesimpulan

Adanya tafsir resmi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya terkait dengan pembatasan HAM di Indonesia telah memberikan kejelasan bahwasanya tidak ada satupun Hak Asasi Manusia di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. Penulis sangat memahami apabila banyak pihak yang beranggapan bahwa konstruksi HAM di Indonesia masih menunjukan sifat konservatif, terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia lainnya. Lebih lanjut, apabila kita menggunakan salah satu dari pilihan penafsiran hukum tata negara yang berjumlah sebanyak dua puluh tiga macam, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya “Pengantar Hukum Tata Negara”, tentunya semakin membuahkan hasil penafsiran yang beraneka ragam.

Namun demikian, Hukum Tata Negara haruslah kita artikan sebagai apa pun yang telah disahkan sebagai konstitusi atau hukum oleh lembaga yang berwenang, terlepas dari soal sesuai dengan teori tertentu atau tidak, terlepas dari sama atau tidak sama dengan yang berlaku di negara lain, dan terlepas dari soal sesuai dengan keinginan ideal atau tidak. Inilah yang disebut oleh Prof. Mahfud M.D sebagai “Politik Hukum” dalam buku terbarunya berjudul “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”. Menurutnya, Hukum Tata Negara Indonesia tidak harus sama dan tidak pula harus berbeda dengan teori atau dengan yang berlaku di negara lain. Apa yang ditetapkan secara resmi sebagai hukum tata negara itulah yang berlaku, apa pun penilaian yang diberikan terhadapnya.

Terlepas dari semua hal tersebut di atas, satu hal yang perlu kita kita garis bawahi di sini bahwa Konstitusi haruslah dapat mengikuti perkembangan jaman sehingga acapkali ia dikatakan sebagai a living constitution. Oleh karena itu, konsepsi pembatasan terhadap HAM pada saat ini dapat saja berubah di masa yang akan datang. Sekarang tinggal bagaimana mereka yang menginginkan adanya perubahan konstruksi pemikiran ke arah tertentu, dapat memanfaatkan jalur-jalur konstitusional yang telah tersedia, misalnya dengan menempuh constitutional amandmend, legislative review, judicial review, constitutional conventions, judicial jurisprudence, atau pengembangan ilmu hukum sebagai ius comminis opinio doctorum sekalipun.

* Disampaikan sebagai Bahan Pengantar “Online Discussion” di salah satu Forum Hukum.

 

 

Advertisement

32 thoughts on “Pembatasan Hak Asasi Manusia di Indonesia

  1. Halo om faiz, Maaf kalo saya awam.Kalo belakangan bbrp orang ribut soal kebebasan beragama (Ahmadiyah, qiyadah, dsb.) Ketentuan hukumnya bagaimana ya..? Yang pasti orang tidak dibui lantaran melanggar fatwa MUI toh? Apakah keputusan Kejagung (PAKEM) itu “legal”? Apakah menteri agama boleh menyatakan “Alian sesat”? Apakah peraturan daerah yg melarang alian sesat itu sesuai dg hukum diatasnya?Sekali lagi maaf, kalo terberondong, saya curious dg maraknya kerusuhan dan debat2 lucu di tv kita.

    Tentu orang yang hanya mengindahkan fatwa MUI tidak akan sewenang-wenang dimasukan ke Bui, karena fatwa MUI bukanlah salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai sanksi dan konsekuensi hukum. Jikalau ada di antara saudara-saudara kita yang dimasukan ke Bui, tentunya ada hal atau perbuatan lain yang dianggap melanggar ketentuan hukum, seperti misalnya yang terdapat KUHP atau produk peraturan perundang-undangan lainnya.

    Mengenai Keputusan dari pejabat publik, untuk mengetahui kepastian legal-tidaknya haruslah diputuskan kepada lembaga yang berwenang. Pilihannya beraneka ragam, bisa mulai dari PTUN, Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Mekanisme ini disebut dengan istilah Judicial Review.

    Oleh karena itu, hemat saya jika ada mereka yang merasa hak-hak-nya terlanggar atas keluarnya Keputusan atau Peraturan tersebut, ada baiknya ditempuh jalur yudisial yang ada. Dengan begitu, kita semua juga akan memperoleh pencerahan yang final dari lembaga yang mempunyai yuridiksi tepat.

    Mengenai pernyataan boleh atau tidak, menurut saya harus dilihat dari kacamata “legal” atau “tidak legal”, sebab perspektif hukum kita bukan berbicara pengertian “boleh atau tidak” karena itu bukan ranah hukum. Sedangkan untuk Perda, sebagaimana biasanya, saya harus baca terlebih dahulu seluruh isi dan substansinya, sehingga saya pun dapat memberikan jawaban yang lebih komprehensif dan teranalisa.

    Terima kasih Anav atas pertanyaannya, semoga menjawab rasa keingintahuan anda.

    Salam,
    PMF

  2. mas Faiz..
    saya mau menanyakan pengaturan ham khusunya tetang kebebebasan berpendapat..
    segala kebebabasan berpendapat termasuk derogable right/ hak yang dapat dibatasi..
    tpi segala pambatasanya tidak boleh bersifat diskriminatif bkn…hal ini terdapat pada ICCPR..tpi mengapa di Indonesia sendiri masih bertindak diskriminatif,khususnya pada ajaran2 ideologi marxis dan lenin?
    oh iya blh minta peraturan nasional dan internasional mengenai Kebebebasan berpendapat?klo bisa kirim ke email saya..

    • Perlakuan diskriminatif seperti itu sudah mulai dikikis setahap demi setahap, misalnya sudah dihapuskannya ketentuan yang melarang anggota PKI atau keturunannya untuk menjadi kandidat dalam posisi publik tertentu.

      Sementara itu, para pihak yang merasa bahwa ideologi marxis dan lenin menganggap ajaran tersebut dapat mengganggu stabilitas dan ideologi yang telah diusung selama ini, yaitu Pancasila.

      Mengenai bahan-bahan kebebasan berpendapt, saudari dapat berkunjung ke perpustakaan-perpustakaan, salah satunya di perpustakaan MK yang cukup lengkap literatur luar negerinya.

      Terima kasih.

  3. mas mw tanya.. kalw masih ada perdebatan antara hak yang absolut dan pembatasan hak dalam konstitusi, bukannya akan terjadi kekaburan hukum… karena terkadang orang bingung menentukan kapan hak sebagai non derogable right, kapan sebagai derogable right

    • Pembahasan tentang derogable dan non derogable right di Indonesia memang terus mendapatkan tempat khusus, artinya penfasiran yang disampaikan di dalam Konstitusi menjadi terbelah. Hanya saja suasana kebatinan dalam penyusunan UUD 1945, sebagian penyusunnya memang mengkhendaki adanya pembatasan hak dan tidak seutuhnya mutlak.

      Namun lambat laun saya perkirakan hal ini akan mencapai satu titik pendapat yang sama. Semoga.

  4. mas faiz, mohon izin untuk upload tulisan anda ke newsletter hukumham.info. Newsletter kami adalah free letter yang memang dibagikan/dikirim secara gratis (nonkomersial) ke berbagai instansi hukum, pendidikan dll.

    mohon hubungi saya di fatma.puspita@depkumham.go.id

    terimakasih

    • Dear Mbak Fatma,

      Dipersilahkan untuk upload tulisan-tulisan saya. Terima kasih juga sudah memberitahukannya terlebih dahulu. Jika ada tema atau topik khusus yang perlu saya tuliskan, kabari saya saja, via email atau Telp juga tidak apa.

      Salam,
      PMF

  5. mau tnya ya.
    klo perbedaan HAM sama hak biasa itu apa si?
    terus apa yg melatarbelakangi adanya perbedaan HAM di negara maju dan berkembang?

  6. mas faiz,,saya lagi kerjakan tugas dan bingung mau tanya siapa.
    bahan yang saya kerjakan tentang hak asasi manusia dan hubungannya dengan wawasan nusantara.menurut Anda,,apa hubungan hak asasi manusia di Indonesia dan Wawasan Nusantara??

    Trimakasih untuk jawabannya.
    irene.
    updmb

    • coba check ke sini mba tya… file:///J:/Pasal%2028%20UUD%201945,%20naungan%20bagi%20Hak%20Asasi%20Manusia%20%C2%AB%20Ntann%E2%80%99s%20Weblog.htm

  7. Salam kenal mas,

    Saya sedang mengambil master, thesis saya mengenai implementasi Standar Internasional Hak Azasi manusia di Indonesia, saya lebih spesifik ke second generation of Human rights (civil and political Human rights), mohon sekiranya mas bisa memberikan pandangan akan hal ini dan kira-kira sumber yang bisa saya gunakan untuk menunjang data-data yang saya perlukan bisa saya dapatkan dimana ya mas?

    Terima kasih atas perhatiannya.

    Salam Hangat,

    Novian

  8. saya berpendapat kebebasan berpendapat itu harus bertanggung jawab jangan mentang-mentang bebas berpendapat seenaknya aja ngeluarin pendapatnya sesuai dengan pikiran sendiri menurut saya itu sangat egois, coba kita liat debat di tv sebenarnya apa sih yang diomongin mana output yang dihasilkan dari debat tersebut pertanyaan saya apa hasil yang sudah dicapai di republik ini mana ??????????? bisa cuma ngomong ngak ada hasilnya, mana hasilnya kebebasan pendapat saya lihat cuma kerusuhan yang ada, korupsi makin banyak walaupun sudah ada UU anti korupsi mana hasilnya???????

  9. bukannya saat ini segalanya sudah serba bebas? apanya yang dibatasi? mau sebebas apa lagi? seperti USA? kenapa ga pergi ke sana saja biar anda puas?

  10. Pingback: Watch the latest episodes , free tv , the latest shows , latest movies , live tv free on the dare wall

  11. Pingback: Definisi

  12. HAM Hak asasi manusia itu, bagi orang Indoensia, itu terkenal dari jaman batu, dulunya dengan sifat “gotong royong”, namun dengan kemajuan jaman, namun bebas bukan bebas sebebasnya seeprti sekarang ini semua itu ada hukum, aturan yang tertulis (KUHP) dan tidak tertulis (ADAB), nah maslaah HAM indoensia bukan negara baru yng kurang Hukum, atau rang asa, atau krasng susila, atau kurang dasar, kita sudah sangta tinggi kemanusiaannya dengan adanya kata “PERI-KEMANUUIAN” dan “PERI KEADILAN” disini saja sudah terbayangkan PERI itu MALAIKAT atau DANYANG, atau apalah yang “baik-baik”, dan anda boleh cari padanan atau tingkatan kata “PERI-KEMANUSIAAN” ini dinegara-negara manapun didunia, kecuali di Indonesia” apalagi dengan “LAKUNYA”, nah dengan demikian anda hanya “Mencampur Baurkan” aturan Barat dengan Timur yang memang akan membuat “RACUN” baru, karena Merubah suatu PERADABAN itu sangat “SUSAH”, karena itu teklah menjadi “JATIDIRI”, dan alhamdulillah peradaban Indonesia itu Adalah baik dan benar dngan adanya perikemanusiaan dan peri keadilan bukan HAM. Nah mengapa Indoensia sekarang ini tambah kacau, ya itu tadi kita terlalu banyak menyerap hukum-hukum punya orang yang anda sendiri gak paham dan meerka yang bikin hukum gaka paham juga, karena memang hukum mereka hanya mengunakan akal saja, akhirnya anda lihat sendiri di pengadilan sarjan hukum saling berdebat hanya untuk membela yang BAYAR, itulah Hukum YAHUDI, beda dengan kita orang timur, mailing sapi bisa diampuni atas dasar KESEPAKATAN…Persaudaraan…

  13. Amerika belum lahir Indoensia sudah ada maka HUKUM ATURAN TATACARA, PERILAKU untuk berbangsa atau bersuku-suku disini sudah sempurna, yang bikin masalah baru yaitu hukum-hukum yang diambil dari yahudi, alias orang bule, Jiti diri kita Orang Indoensia mau kamu ikutkan ke orang Bule, ya gak cocok, jadi biarkan hukum kita itu kita gunakan sendiri dinegara kita dengan demikian kita akan menjadi negara yang SOLID, Hukum aja Kok Mesti NYONTEK…saya contohkan tadi kata “Perikemanusiaan dan Perikeadilan” kata ini kalau anda pahami seluas langit dan bumi, penjabarannya…jadi gak usah kebanyakan bacot dengan ham,hem,hom, yang malah bikin aturan diindoneisa itu kacau balau kembali…anda tahu indonesia itu gak ada “presiden” tetap aman, sebab memang orngnya sudah dari nenek mojang Suku-suku mereka itu BAIK-BAIK, Benar, yang terkandanung dalam “JATI DIRI” jati diri kita gak sama dengan JATI diri dengan amerika, sya curiga jati diri ini gak tahu maknanya, mereka itu masih membentuk jati diri nah Indoensia itu sudah lewat karena saya bilang tadi Nenek mojang kita itu sudah lama hidup dan punya “ADAB” yang dikenal dengan “PERADABAN” itu lho peningalannya borobudur, dan lainya…nah sekarang ini kacau balau karena banyak Provokator dari luar yang ingin menghancurkan kembali kesatuan indoensia dengan demikian maka harus dibuat “dalil dan taqwil” “Aturan/Rumus dan Alasan” agar indonesia itu pecah belah dengan memasukan hukum atau- aturan baru untuk mematahkan aturan yang lama yang menjadi jati diri bangsa indoensia, itu saya bilang merubah sautu peradaban jangan amerika, ingris rusia, perancis, NABI ISA itu dan Nabi Musa itu GAAL merubah Kaumnya atau ummatnya mereka, apalagi anda…namun yang menjadi maslah apakah hukum kita ini salah atau benar itu yang perlu dikaji namun dari sekian abad Indoensia itu tenyata semau berjalan Baik dan Benar saja dengan Hukum-hukum ADAB.ADAT…apakah itu salah mengapa mesti ada Hak Asasi Manusia? Apaka Kata Jadilah manusia yang Ber-Peri-Kemanusia-an dan Ber-Peri-Ke-Adil-an itu masih kurang atau memang Manusianya yang gak PAHAM…? Kalau gak paham nati saja jabbarkan alas x tinggi x panajang x lebar.. saya kupaskan 5 sila atau 5 asas atau 5 dasar itu sejabbarnya yang intinya merangkum sekalain alami ini.

  14. dan sedikit lagi Jangankan UUD 45 lyang buatan kang karno dengan orang-orang disekelilingnya, Alquranaja salah Tafsir bisa sesat benjut dan benjol koq, apalagi hanya ATURAN yang dibuat oleh kang karno. Intinya Mereka itu telah memberikan “LANDASAN TORITIS” UUD 45 namun jangan dihubungan dengan LANDASAN TEORITIS AMERIKA DAN BELANDA Gak pantaslah… karena Kita orang sini bukan orang sono…dan saya contekan sedikit tentang hukum-hukum dari alquran :

    QS. Al Maa’idah
    47. Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya[419]. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik[420].

    Maksudnya mereka itu dijaman nenek mojangnya itu disuruh memutuskan hukum diantara mereka itu gak becus kok kamu ikuti hukum mereka,
    kalau disini mulai jaman nenek mojang itu Terkenal dengan ARIF dan BIJAKSANA dalam hal “KEMANUSIAAN” sekarang yang bodoh siapa? Pengikutnya ata yang Menghasutnya, yang nyata dua-duanya BODOH.

  15. My family members always say that I am wasting my time here at net, however I know I am getting knowledge
    everyday by reading thes nice articles or reviews.

    • Bagi mereka yang setuju bahwa HAM harus dibatasi umumnya karena beberapa alasan utama, seperti untuk ketertiban umum, pengakuan sekaligus penghormatan atas kebabasan dan hak asasi orang lain, serta kepentingan bangsa. Sebagian lainnya setuju HAM hanya dapat dibatasi untuk kondisi atau hal yang benar-benar khusus, pendapat sisanya ingin tidak dibatasi sama sekali.

      Kalau Anda lebih cenderung sepakat yang mana?

      • ada sebagian pasal yang mengandung term absolut, tapi di pasal lain dikategorikan sebagai non-derogable rights. apa menurut Mas Pan ada perbedaan dari keduanya, mengingat keduanya (absolute dan non-derogable) disebutkan secara terpisah?

  16. Maaf mas saya mau nanya , apa yg dimaksud dengan hak seseorang tidak boleh dilaksanakan secara sewenang-wenang nya karena hak yang di miliki itu tidak terlepas dari kepentingan umum?

    • Artinya, hak seseorang juga dibatasi oleh orang lain, tidak bisa kita menjalankan hak-hak kita tanpa menghormati dan menghargai hak-hak orang lain yang kebetulan beririsan dengan hak kita. Misalnya, kita memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat dengan cara melakukan demonstrasi. Namun, kita tidak bisa melakukan sebebas-bebasnya dan sesuka hati, karena ada hak orang lain dan kepentingan umum yang juga perlu dilindungi saat demonstrasi itu berlangsung, seperti hak para pengguna kendaraan, hak para pemilik toko, dan hak para penjual dagangan.

  17. Pingback: The Construction of Law Neutrality of State Civil Apparatus in the Simultaneous Local Election in Indonesia – Agus Riewanto

  18. Pingback: Pelaksanaan HAM di Indonesia Dalam Rerangka HAM Internasional – Blognya Daniel Sugama Stephanus

Leave a Reply to Rinda Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s