REKAYASA SUMPAH PEMUDA
Oleh: Pan Mohamad Faiz
Bulan Oktober di Indonesia seringkali dilekatkan sebagai bulan ‘kepemudaan’. Pasalnya, setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia selalu memperingati Hari Sumpah Pemuda. Namun beberapa tahun terakhir ini, Sumpah Pemuda mulai diragukan otensitasnya oleh para sejarawan Indonesia, di antaranya, JJ Rizal, Anhar Gonggong Nasution, Asvi Warman Adam, dan Erond Damanik. Benarkah Sumpah Pemuda yang kita peringati selama ini merupakan hasil rekayasa? Mari kita menilik sekilas perjalanan sejarahnya.
Pada 27-28 Oktober 1928 diselenggarakan Kerapatan Pemuda II atau Kongres Pemuda di gedung Indonesische Clubgebouw yang berlokasi di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. Pertemuan ini ditujukan untuk membangun gerakan ideologi bersama melawan kolonialisme Belanda yang telah bercokol lama di bumi nusantara. Namun demikian, Kongres tersebut sebenarnya tidak menghasilkan deklarasi ataupun ikrar bersama yang selama ini kita kenal dengan istilah “Sumpah Pemuda”. Kongres hanya melahirkan putusan berupa resolusi yang tidak dibacakan serentak sebagai sumpah bersama.
Teks asli “Sumpah Pemuda” juga berbeda dengan apa yang saat ini sering kita lihat dan baca. Menurut Asvi Warman Adam, adanya penambahan kata ‘satu’ dan pengubahan nama atas hasil Kongres merupakan upaya untuk menyederhanakan rumusan hasil Kongres. Berdasarkan penelusuran JJ Rizal, penyebutan istilah Sumpah Pemuda pertama kali pada tahun 1931 dalam sebuah tulisan jurnalistik karya Sutan Takdir Alisjahbana.
Selanjutnya, Soekarno mulai memperingati peristiwa Kerapatan Pemuda secara nasional di Istana Presiden Yogyakarta pada 28 Oktober 1949. Namun, peringatan ini untuk memperkenalkan lagu nasional ‘Indonesia Raya’, dan tidak terkait sama sekali dengan Sumpah Pemuda. Dalam peringatan Kerapatan Pemuda ke-25 pada tahun 1953, istilah Hari Sumpah Pemuda secara resmi digunakan menggantikan istilah Hari Lagu Kebangsaan Indonesia Raya atas prakarsa Muhammad Yamin. Agar terkesan sakral, istilah Sumpah Pemuda dipilih agar secara historis sejajar dengan Sumpah Palapa yang pernah diucapkan oleh Patih Gajah Mada. Soekarno pun turut menyetujui perubahan istilah tersebut.
Pertanyaannya, mengapa tiba-tiba dimunculkan istilah Sumpah Pemuda? Menurut Anhar Gonggong Nasution, pada saat itu keutuhan wilayah Indonesia mengalami ancaman separatisme. Oleh karenanya, istilah Sumpah Pemuda dicetuskan untuk menjadi tameng ideologis guna mempersatukan bangsa sekaligus menumbuhkan semangat pergerakan nasional. Untuk memperkuat strategi tersebut, Soekarno bahkan berpidato pada Oktober 1956 dengan mengatakan bahwa separatisme merupakan bentuk penyimpangan terhadap Sumpah 1928. Akhirnya, selama masa Orde Baru dan Reformasi, istilah Sumpah Pemuda semakin populer digunakan dan diperingati secara rutin setiap tahunnya.
Lalu bagaimana sebaiknya kita menyikapi fakta-fakta baru terkait sejarah Sumpah Pemuda ini? Perdebatan dan penelusuran lebih dalam terhadap otensitas dan perjalanan sejarah Sumpah Pemuda perlu terus dilakukan. Sebab, di antara para sejarawan Indonesia pun masih terdapat perbedaan fakta dan penjelasan tentang Sumpah Pemuda. Kita patut untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, namun tak perlu terpaku dan larut dalam kontroversi yang terjadi. Biarkanlah para sejarawan saling melengkapi dan membandingkan temuan dan kebenarannya. Sepanjang kita mampu menyerap dan merekonstruksi semangat Sumpah Pemuda dengan berbagai sikap dan tindakan yang positif sesuai dengan zamannya, maka sesungguhnya kita telah mampu memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Apabila Kerapatan Pemuda tahun 1928 dimaknai sebagai gerakan melawan kolonialisme, sedangkan Sumpah Pemuda pada tahun 1950-an dicetuskan untuk melawan separatisme, maka Sumpah Pemuda saat ini seyogianya juga perlu “direkayasa” secara positif. Rekayasa ini bertujuan untuk memupuk kembali semangat dan kebersamaan dalam melawan berbagai tantangan riil yang tengah dihadapi Indonesia. Misalnya, problematika kemiskinan, praktik-praktik koruptif, kesenjangan akses pendidikan dan kesehatan, hingga bagaimana memperkuat posisi Indonesia di pentas dunia.
Berapa pun seringnya peringatan Sumpah Pemuda digelar, tetap tidak akan cukup bermakna tanpa adanya realisasi dan kontribusi sungguh-sungguh untuk menyelesaikan permasalahan bangsa, baik secara kolektif maupun individu. Sumbangsih kita terhadap ibu pertiwi akan mencerminkan seberapa jauh kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Menyitir perkataan Mohammad Hatta, “Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku”.
Selamat Hari “Sumpah Pemuda”!
* Penulis adalah Kandidat PhD Hukum Tata Negara di School of Law, the University of Queensland (Australia). Koordinator PPI Dunia periode 2013-2014 dan Ketua Umum PPI Australia periode 2013-2014