PASANG SURUT KEKUATAN MAHKAMAH KONSTITUSI
* Dimuat dalam Kolom Khazanah, Majalah KONSTITUSI No. 101, Edisi Juli 2015, hal 70-74 (Download)
Kehadiran Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang terlahir dari rahim reformasi telah menarik perhatian banyak kalangan akademisi. Perannya yang dinilai strategis sebagai salah satu pemain kunci di dalam politik nasional menjadi daya tarik sendiri untuk dikaji. Satu dekade sejak pendiriannya, MK dipimpin oleh empat Ketua MK yang berbeda. Di setiap masa kepemimpinan yang berbeda tersebut, MK mengalami pasang surut kekuatan di tengah sistem ketatanegaraan Indonesia. Adanya fluktuasi kekuatan MK sebagai veto player ini menjadi isu menarik yang diangkat oleh Theunis Roux dan Fritz Siregar dalam tulisannya berjudul “Trajectories of Curial Power: The Rise, Fall and Partial Rehabilitation of the Indonesian Constitutional Court” yang dimuat dalam Melbourne University Asian Law Journal (2015).
Tulisan tersebut berangkat dari hipotesa bahwa MK Indonesia memiliki kekuatan yang besar pada masa awal pendiriannya. Akan tetapi, kekuatan tersebut mulai melemah yang ditandai dari adanya upaya lembaga legislatif untuk memangkas kewenangan MK pada 2011 dan mundurnya Ketua MK Akil Mochtar pada 2013 menyusul peristiwa penangkapannya akibat kasus korupsi. Theunis dan Fritz melakukan evaluasi atas klaim tersebut dengan mengembangkan kerangka konseptual untuk menilai performa dan fenomena Mahkamah Konstitusi yang kuat di awal pendiriannya, namun melemah setelahnya. Untuk menguji konsep tersebut, Theunis dan Fritz selanjutnya menganalisa berbagai peristiwa terkini yang terjadi pada MK Indonesia.
Kekuatan Pengadilan
Theunis dan Fritz melihat bahwa menurunnya kekuatan MK Indonesia memiliki kemiripan dengan yang terjadi di MK Hongaria di bawah kepemimpinan Ketua pertama, László Sólyom (1990-1998), dan MK Afrika Selatan di bawah kepemimpinan Ketua pertama Arthur Chaskalson (1994-2001). Kedua MK tersebut saat ini memiliki kekuatan lebih sedikit dibanding sebelumnya. Dalam kasus MK Hongaria, penurunan tersebut ditandai pertama kali dengan tidak diperpanjangnya masa jabatan Sólyom pada 1998. Kemudian, kewenangan MK Hongaria dipangkas oleh the Fidesz, partai politik konservatif nasional yang mendominasi politik Hongaria sejak 2010. Sementara itu, MK Afrika Selatan semakin dibatasi oleh the African National Congress (ANC) yang menguasai parlemen dan mendominasi politik serta demokrasi di Afrika Selatan. Selain itu, ANC juga mencoba untuk mengontrol MK dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan publik yang bersifat ancaman kepada MK dan ikut memengaruhi pemilihan hakim konstitusi.
Berdasarkan pengalaman dari kedua negara tersebut, Theunis dan Fritz menyampaikan beberapa alasan terkait menurunnya kekuatan MK sejak awal pendiriannya. Pertama, MK yang kuat di masa awal biasanya karena memiliki peran strategis pada masa transisi dari era otoritarianisme menuju demokrasi. Dalam konteks ini, MK yang belum mengembangkan sumber legitimasinya akan mengalami penurunan kekuatan. Kedua, aktor-aktor politik di luar MK hanya menunggu waktu untuk mengendalikan MK yang dianggap terlalu kuat di masa awal pendiriannya. Ketiga, MK yang kuat di awal pendiriannya secara teori lebih mampu untuk menjaga demokrasi yang berfungsi dengan baik. Namun demikian, kesuksesan mereka akan membuat cabang kekuasaan lain untuk menegaskan perannya sebagai pembuat kebijakan yang dapat berdampak pada pelemahan MK.
Untuk saat ini, menurut Theunis dan Fritz, penurunan kekuatan mungkin hal yang biasa bagi MK yang kuat di masa awal pendiriannya, sehingga hal tersebut tidak perlu disesali. Bahkan bagi sebagian pakar konstitusi, penurunan tersebut merupakan tanda yang baik bagi penguatan demokrasi. Penurunan kekuatan yang harus mendapatkan perhatian adalah ketika upaya-upaya untuk membatasi MK dilakukan dengan cara yang mengancam dan jahat seperti terjadi di MK Hongaria. Sayangnya, Thenuis dan Fritz tidak menguraikan lebih lanjut mengenai hal ini karena memang berada di luar isu utama pembahasannya.
Dalam tulisannya, Theunis dan Fritz juga menguraikan maksud dari “kekuatan pengadilan” (curial power) disertai kondisi dan indikator yang dapat digunakan untuk menilainya. Kekuatan pengadilan di dalam tulisan mereka tidaklah dimaksudkan sebagai independensi pengadilan, namun lebih merujuk pada kemampuan MK dalam politik nasional untuk membantu dan menstabilkan transisi dari era otorianisme ke demokrasi. Dengan kata lain, kekuatan pengadilan diartikan sebagai kemampuan MK untuk berperan sebagai pendukung demokrasi. Menurut Theunis dan Fritz, tidak semua MK yang independen atau kuat dapat menjadi pendukung demokrasi, misalnya yang terjadi pada MK Mesir dan MK Thailand. MK Mesir dapat dikatakan independen, namun tidak dapat menguji pelaksanaan dari sistem keamanan negara sehingga menghambat perkembangan demokrasinya. Sementara itu, MK Thailand dapat dikatakan sebagai MK yang sangat kuat dengan kapasitasnya membubarkan partai politik dan memakzulkan Perdana Menteri yang dipilih secara demokratis. Akan tetapi, implikasinya terhadap kualitas demokrasi di Thailand justru diragukan.
Selanjutnya, Theunis dan Fritz berpendapat bahwa jenis kekuatan pengadilan yang harus dimiliki MK akan sangat terkait dengan kondisi sistem demokrasi yang sehat. Manakala sistem demokrasi berjalan disfungsional, maka secara normatif Theunis dan Fritz mendukung MK untuk melakukan intervensi dalam politik nasional guna membantu sistem demokrasi berjalan lebih baik. Oleh karena itu, mereka memberikan toleransi dalam tingkatan yang wajar terhadap adanya intrusi MK dalam pembuatan kebijakan. Sebaliknya, apabila sistem demokrasi telah berfungsi dengan baik, Theunis dan Fritz berpendapat agar MK mampu mengubah posisinya untuk memajukan demokrasi dengan cara menghormati hasil-hasil demokrasi yang diperolehtelah secara sah.
Untuk melakukan penilaian terhadap fluktuasi kekuatan MK, Theunis dan Fritz menggunakan 4 (empat) indikator, yaitu: (1) signifikansi putusan yang memajukan fungsi sistem demokrasi yang tepat; (2) sejauhmana putusan tersebut ditaati dan memiliki pengaruh positif untuk menyehatkan sistem demokrasi; (3) adanya bukti bahwa para hakim melaksanakan kewenangannya untuk memajukan sistem demokrasi yang berfungsi baik dengan melepaskan preferensi ideologi dan politiknya masing-masing; dan (4) perubahan kualitas demokrasi dan bukti dari kedewasaan kapasitas para hakim untuk menyesuaikan peran mereka dalam membuat kebijakan yang sejalan dengan perbaikan untuk fungsi sistem demokrasi. Selanjutnya, indikator ini digunakan untuk menilai performa MK Indonesia sebagaimana diuraikan sebagai berikut.
Perbedaan Perspektif Analisa
Merujuk pada satu dekade Mahkamah Konstitusi di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie (2003-2008) dan Mahfud MD (2008-2013), Theunis dan Fritz menilai bahwa MK memainkan peran politik yang signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui berbagai putusannya (politically consequential decisions). Putusan-putusan tersebut seringkali menggagalkan pilihan yang diambil oleh legislatif dan juga mendisiplinkan perilaku eksekutif. Namun demikian, masih terdapat perdebatan apakah MK benar-benar memiliki kekuatan untuk memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia. Menurut Theunis dan Fritz, perdebatan terjadi antara dua perspektif yang berbeda, yaitu: Pertama, para ilmuwan hukum yang menggunakan kerangka sosial-hukum, seperti Simon Butt and Tim Lindsey; dan Kedua, ilmuwan politik yang lebih menggunakan pendekatan terhadap dampak substantif dari putusan MK, misalnya Marcus Mietzner.
Dalam konteks tersebut, bagi para pengusung pendekatan sosial-hukum, justifikasi hukum dari putusan-putusan MK memiliki arti penting yang tidak sekedar masalah doktrin internal semata, namun juga koherensi rasional dan konsistensi dari putusannya yang dianggap sangat krusial untuk memainkan perannya sebagai lembaga penengah yang netral. Sebaliknya, bagi ilmuwan politik, dampak substantif dari putusan MK yang berpengaruh terhadap kualitas demokrasi Indonesia menjadi hal yang lebih penting. Terlepas dari apakah memiliki justifikasi atau tidak, hal yang terpenting adalah apakah pelaksanaan dari kewenangan MK mampu memberikan pengaruh positif terhadap proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Dalam melakukan analisanya, Theunis dan Fritz cenderung memilih dan menggunakan pendekatan kedua, yaitu mendasarkan analisa pada dampak dari putusan MK. Dengan menggunakan kerangka konseptual yang mereka buat, hal yang dianggap lebih penting bukanlah apakah putusan MK secara teknis hukum, misalnya, melanggar konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers), namun sejauhmana dampak substantif dari putusan tersebut terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Theunis dan Fritz mengambil contoh pada saat MK baru didirikan tahun 2003, komitmen Indonesia terhadap demokrasi masihlah sangat rendah, belum lagi ditambah dengan masih banyaknya elemen dari rezim otoritarian yang masih bercokol dan budaya korupsi yang merajalela. Dalam lingkungan yang disfungsional seperti ini, Theunis dan Fritz berpendapat bahwa instrusi MK ke dalam pembuatan kebijakan mungkin saja memperoleh justifikasi. Menurutnya, walaupun dari sudut teknik hukum dapat melanggar prinsip pemisahan kekuasaan, namun secara substansi politik, intervensi tersebut diperlukan untuk menjaga transisi demokrasi dan memberi sinyal bahwa setiap perilaku politik harus tunduk kepada Konstitusi.
Selain itu, Theunis dan Fritz juga berpendapat bahwa penilaian dengan menggunakan perspektif justifikasi hukum sebagaimana diutarakan oleh Simon and Tim akan sangat sulit untuk disimpulkan untuk menilai masa kepemimpinan Jimly Asshiddiqie. Misalnya mengenai kritik terhadap yurisprudensi mengenai ‘condititonally unconstitutional’, Theunis dan Fritz mempertanyakan standar dari justifikasi hukum yang dijadikan sandaran oleh Simon and Tim. Apakah standar mereka diukur sebagai akademisi hukum di Australia, atau standar dari MK Indonesia yang pada saat itu sebenarnya baru berdiri dan masih berkembang? Menurut Theunis dan Fritz, periode Jimly Asshiddiqie tidak dapat dinilai melalui pertimbangan justifikasi hukum atas putusannya, namun melalui pertimbangan apakah MK mampu memberikan justifikasi yang cukup atas putusannya bagi para pemerhati utamanya, yaitu cabang-cabang politik kekuasaan dan masyarakat di Indonesia.
Satu Dekade Kepemimpinan MK
Dengan melihat perjalanan MK di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie, Theunis dan Fritz menilai bahwa MK Indonesia pada saat itu dapat dianggap sebagai pengadilan yang memiliki kapasitas untuk mendukung demokrasi. MK di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie juga dianggap memiliki kemampuan untuk menegaskan peran krusialnya yang membawa pada suksesnya proses transisi demokrasi. Berdasarkan penilaian tersebut, Theunis dan Fritz mengategorikan MK Indonesia masuk sebagai kelompok Mahkamah Konstitusi yang memiliki kekuatan besar di awal pendiriannya.
Selanjutnya, Ketua MK beralih dari Jimly Asshiddiqie kepada Mahfud MD pada Oktober 2008. Menurut Theunis dan Fritz, pada saat itu demokrasi Indonesia telah jauh lebih stabil dibandingkan pada masa awal MK berdiri. Menurut mereka, dengan adanya perbaikan fungsi dari sistem demokrasi maka MK seharusnya juga mengurangi perannya sebagai pembuat kebijakan. Jikalau intervensi untuk menunjang sistem demokrasi masih perlu dilakukan, MK harus memberikan alasan-alasan yang lebih meyakinkan di dalam putusannya. Sejauh intervensi tersebut tidak dibutuhkan, maka MK perlu mundur dan membiarkan sistem demokrasi berfungsi dengan sendirinya.
Dalam konteks ini, Theunis dan Fritz berpendapat bahwa DPR sengaja memilih Mahfud MD yang menyampaikan sepuluh hal yang tidak boleh dilakukan MK saat pencalonannya, karena merasa terganggu dengan kebijakan yang diambil oleh MK semasa kepemimpinan Jimly Asshiddiqie. Tidak sampai di situ, DPR dan lembaga eksekutif juga mencoba untuk memberikan pengaruh terhadap terpilihnya Mahfud MD sebagi Ketua MK yang berjanji untuk mengembalikan MK pada kewenangan asalnya.
Namun demikian, menurut Theunis dan Fritz, alih-alih ingin mengembalikan MK pada kewenangan aslinya, Mahfud MD justru membuat putusan-putusan yang lebih ekspansif dibanding pendahulunya, namun dianggap kurang memberikan perhatian atas perlunya justifikasi terhadap putusan-putusannya. Pada masa Mahfud MD, MK juga dinilai lebih banyak campur tangan dengan mengeluarkan putusan yang bersifat conditionally unconstitutional dan cenderung berperan sebagai positive legislator. Hasil telaah Theunis dan Fritz, MK di era Mahfud MD mengeluarkan 55% putusan yang bersifat conditionally constitutional atau conditionally unconstitutional (54 dari 98 perkara), sedangkan di era Jimly Asshiddiqie hanya 34% (14 dari 41 perkara). Selain itu, MK juga semakin sering mengeluarkan putusan yang berbeda kontras dengan pilihan kebijakan Presiden, seperti dalam perkara Jaksa Agung (2010), Wakil Menteri (2011), dan BP MIGAS (2012).
Dengan demikian, dari perspektif dampak kebijakan, Theunis dan Fritz menyimpulkan sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar antara MK di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD. Keduanya mampu menciptakan MK yang kuat dengan mengeluarkan putusan yang bernuansa politically consequential. Akan tetapi, Theunis dan Fritz menemukan perbedaan terhadap kapasitasnya dalam memajukan demokrasi. Jimly Asshiddiqie dinilai telah menciptakan atmosfer ilmiah dan intelektual di MK, di mana para Hakim Konstitusi diwajibkan mempertahankan rancangan putusan masing-masing dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan didorong menulis buku-buku akademis.
Sementara itu, para era Mahfud MD, budaya tersebut dinilai oleh Theunis dan Fritz memudar. Misalnya, forum diskusi sering digunakan sebagai kesempatan untuk melakukan voting; pertimbangan hukum putusan menjadi lebih singkat dari rata-rata 2.017 huruf per putusan menjadi 1.450 huruf; jumlah dissenting opinion berkurang drastis dari 37,75% menjadi 13,7%; dan argumentasi di hadapan MK menjadi kurang teknis. Menurut Theunis dan Fritz, beberapa perbedaan tersebut mungkin juga disebabkan karena adanya ketidaksamaan pandangan di antara para hakim. Namun demikian, mereka menggarisbawahi pernyataan Mahfud MD yang secara eksplit mengumumkan adanya pergeseran dalam metode penalaran MK melalui pendekatan keadilan substantif (substantive justice).
Menurut Theunis dan Fritz, pergeseran tersebut menjelaskan mengapa pendapat hukum MK menjadi lebih kurang terelaborasi secara hukum. Berdasarkan hasil interview yang dilakukan oleh Theunis dan Fritz terhadap para penggiat hukum di Indonesia, kualitas pembuatan putusan MK juga dinilai menurun di era Mahfud MD. Singkatnya, apabila era Jimly Asshiddiqie setidaknya mencoba untuk membangun tradisi dalam membuat putusan yang memiliki penalaran dan terjustifikasi, maka pada era Mahfud MD, tradisi tersebut tidak lagi diteruskan dan lebih mengikuti gaya pembuatan putusan dalam sistem civil law yang sederhana dan ringkas.
Akhirnya pada Juni 2011, DPR melakukan revisi atas UU Mahkamah Konstitusi terkait dengan yuridiksi dan kewenangan MK. Menurut Theunis dan Fritz, revisi tersebut kemungkinan besar dipicu oleh adanya kesenjangan yang lebar antara tingkat intrusi MK di era Mahfud MD terhadap politik demokrasi dan kualitas dari putusannya yang dapat dijustifikasi. Pemicu lainnya yaitu adanya insiden terhadap dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi yang dilakukan oleh Hakim Akil Mochtar dan Hakim Arsyad Sanusi pada 2010. Walaupun tuduhan terhadap Akil Mochtar pada saat itu tidak terbukti, namun muncul keinginan agar para hakim konstitusi dapat lebih diawasi. Sementara itu, Arsyad Sanusi terpaksa mengundurkan diri setelah terbukti anggota keluarganya menerima uang dari salah satu pemohon di MK yang perkaranya ditangani olehnya.
Setelah menjalani 2,5 tahun kepemimpinan Mahfud MD atau tepatnya pada pertengahan 2011, Theunis dan Fritz menilai bahwa MK telah mulai kehilangan kekuatannya yang disebabkan oleh dua hal, yaitu: (1) melemahnya kapasitas MK untuk berperan mempertahankan dukungan terhadap demokrasi; dan (2) melemahnya kontrol manajemen yang menyebabkan dua hakim konstitusi harus bertahan dari tuduhan korupsi. Meskipun Theunis dan Fritz menilai bahwa MK pada era Mahfud MD masih kuat dalam membuat kebijakan, namun kapasitas positifnya untuk berkontribusi terhadap kualitas demokrasi Indonesia dianggap menurun.
Pembatalan Revisi Undang-Undang MK
Revisi Undang-Undang MK terkait yuridiksi dan kewenangan MK berisi, antara lain, mengenai larangan untuk membuat putusan yang ultra petita (Pasal 45A); larangan untuk menggunakan undang-undang lain sebagai batu uji (Pasal 50A); dan larangan untuk membuat putusan yang memuat perintah kepada legislatif dan memuat rumusan norma baru yang dibatalkan [Pasal 57 ayat (2)]. Walaupun amandemen ini dinyatakan sebagai ‘serangan’ terhadap MK, namun Theunis dan Fritz melihat bahwa revisi tersebut bukanlah suatu ancaman apabila dibandingkan dengan pembatasan yang diberlakukan terhadap MK di negara-negara lain. Prinsip bahwa MK seharusnya membatasi diri untuk mengeluarkan perintah juga telah menjadi perhatian di banyak negara demokrasi konstitusional. Selain soal kewenangan, revisi UU MK juga mengatur mengenai komposisi, kewenangan, dan prosedur dari Majelis Kehormatan MK [Pasal 23 ayat (3)] dan penyusunan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi (Pasal 27A). Terhadap revisi ini, Theunis dan Fritz juga berpendapat bahwa pengaturan tambahan tersebut dalam perspektif perbandingan dengan negara lain juga bukan suatu ancaman.
Mengutip pendapat Simon and Tim (2012), mereka menilai bahwa pendapat hukum yang dibuat oleh MK dalam membatalkan pasal-pasal tersebut, kecuali Pasal 27A ayat (2), tidaklah meyakinkan. Pertanyaannya, bagaimana MK dapat melenggang bebas setelah membatalkan berbagai ketentuan dalam revisi UU tersebut walaupun dengan argumentasi hukum yang dinilai lemah? Dari perspektif pendukung demokrasi, apakah bijak apabila MK membatalkan revisi mengenai komposisi dan fungsi dari Majelis Kehormatan?
Theunis dan Fritz berpendapat bahwa MK dapat dengan bebas membatalkan ketentuan tersebut karena adanya pemahaman mengenai independensi MK yang harus terbebas dari kontrol politik. Pemahaman ini telah tertanam kuat dan tidak pernah berubah sejak MK didirikan pada 2003. Selain itu, partai politik di Indonesia sangat terfragmentasi, di mana pada 2011 terdapat sembilan partai politik berbeda di DPR. Dengan kata lain, fragmentasi partai politik akan sangat berpengaruh dalam melindungi MK dari serangan politik. MK dinilai juga menikmati status independensinya dari kontrol politik karena yuridiksi dan kewenangannya diberikan langsung oleh Konstitusi sehingga sulit untuk diamandemen. Terkait dengan Majelis Kehormatan MK, Theunis dan Fritz menyatakan bahwa cukup beralasan apabila Majelis Kehormatan berisi aktor politik atau kelompok berbeda kepentingan. Menurutnya, apabila MK harus menangani sendiri setiap tuduhan, maka dua kasus penyimpangan yudisial yang terjadi sebelumnya sudah pasti akan gugur. Apabila MK tidak membatalkan revisi berbagai ketentuan di dalam UU MK, Theunis dan Fritz berpendapat justru hal tersebut akan memperkuat institusi MK.
Titik Nadir dan Titik Balik MK
Kepemimpinan Mahfud MD di MK digantikan oleh Akil Mochtar pada April 2013. Ironisnya, berselang hanya enam bulan setelahnya, Akil Mochtar ditangkap oleh KPK atas tuduhan menerima suap terkait dengan sengketa Pilkada di berbagai daerah. Akil Mochtar akhirnya dipaksa untuk mengundurkan diri, baik sebagai Hakim Konstitusi maupun Ketua MK. Persitiwa ini menyebabkan kepercayaan publik terhadap MK yang telah terbangun langsung jatuh dan berada pada titik nadir. Atas peristiwa nasional ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk merevisi kembali UU MK yang mengatur Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang akan dibentuk oleh MK dan Komisi Yudisial (KY) untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi (Pasal 27A); membentuk Panel Ahli oleh KY untuk menguji calon Hakim Konstitusi yang diusulkan oleh MA, DPR, dan Presiden (Pasal 18A); dan menambah syarat untuk menjadi calon Hakim Konstitusi, yaitu tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu setidaknya 7 (tujuh) tahun.
Menurut Theunis dan Fritz, lagi-lagi revisi UU MK tersebut apabila dilihat dari perspektif perbandingan tidaklah mengancam independensi pengadilan. Revisi UU MK tersebut dinilai cukup beralasan karena memperjelas proses pengawasan dan pemberhentian hakim, adanya jaminan keterlibatan publik dalam proses pemilihan hakim konstitusi, dan mengevaluasi praktik pencalonan politisi menjadi hakim konstitusi yang dianggap tidak bijak. Pembatalan pasal-pasal tersebut menurut Theunis dan Fritz mencerminkan posisi dogmatik dari MK terhadap kebutuhan independensi pengadilan dengan memercayai bahwa keterlibatan apapun dari pihak luar dianggap akan menciderai prinsip independesi pengadilan. Walaupun pendirian MK tersebut terlihat sangat kuat, namun Theunis dan Fritz mempertanyakan apakah keputusan tersebut akan menguntungkan kepentingan demokrasi Indonesia untuk jangka panjang atau sebaliknya. Tidak terpilihnya kembali Hamdan Zoelva sebagai hakim konstitusi untuk periode kedua dijadikan contoh oleh Theunis dan Fritz bahwa para hakim konstitusi pada saat itu tidak memperoleh kepercayaan publik yang kuat dalam upaya membangun citra MK. Jika hal ini terus terjadi maka akan menyebabkan kerugian bagi demokrasi Indonesia dalam jangka panjang.
Namun demikian, setelah mengalami penurunan tingkat kepercayaan publik dan melemahnya kekuatan MK, Theunis dan Fritz melihat bahwa Hamdan Zoelva sebenarnya telah mulai memperbaiki citra MK. Hal tersebut dinilai dari tiga Putusan penting yang dijatuhkan MK di masa kepemimpinannya. Pertama, Putusan dalam sengketa hasil Pemilu Presiden yang menolak permohonan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Dalam perkara ini, para hakim yang memiliki afiliasi dengan partai politik pendukung Prabowo-Hatta dinilai dapat bersikap netral dan tidak memihak. Kecepatan dan imparsialitas MK dalam membuat Putusan yang diterima oleh mayoritas pihak juga memberi legitimasi dan pertanda positif bagi perbaikan MK.
Kedua, Putusan strategis yang menyatakan bahwa Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden harus dilaksanakan serentak mulai 2019. Pertimbangan hukum yang diberikan MK dinilai cukup kuat dan beralasan, walaupun terdapat permasalahan mengenai jangka waktu penjatuhan Putusan yang cukup lama yang mendekati pelaksanaan Pemilu 2014. Ketiga, Putusan yang menghilangkan kewenangan MK untuk mengadili sengkata Pemilu Kepala Daerah. Putusan ini dinilai akan memperkuat posisi MK untuk jangka panjang. Sebab, banyaknya sengketa Pilkada telah menyebabkan kapasitas MK dalam memeriksa perkara pengujian undang-undang menjadi menurun sekaligus akan menjauhkan MK dari potensi korupsi seperti yang menimpa Akil Mochtar. Menurut Theunis dan Fritz, mundurnya MK untuk memeriksa sengketa Pilkada merupakan pilihan yang bijak karena dapat menghindari dari potensi kerusakan lembaga hukum.
Walaupun ketiga putusan tersebut dinilai baik, namun tidak ada jaminan bahwa kepercayaan publik akan langsung membaik setelahnya. Satu hal yang menjadi catatan Theunis dan Fritz, Putusan MK terkait Pemilu serentak akan sangat menarik untuk diikuti, sebab kekuatan MK Indonesia saat ini juga sangat dipengaruhi dari adanya fragmentasi partai politik di DPR. Apabila hasil dari Pemilu serentak di kemudian hari mampu menyederhanakan partai politik dan koalisinya maka MK mungkin akan menghadapi ‘lawan’ politik yang lebih kohesif dan tangguh.
Kesimpulan
Perjalanan Mahkamah Konstitusi yang telah melewati pergantian kepemimpinan turut memengaruhi kekuatan MK sebagai lembaga yang memiliki kapasitas untuk mendukung demokrasi. Theunis dan Fritz menyimpulkan bahwa MK mengawali perjalanannya sebagai lembaga pengadilan yang kuat, namun setelah menghadapi tantangan dari cabang kekuasaan politik lainnya, kekuatan tersebut menurun. Keterlibatan DPR dan Presiden untuk mendukung pencalonan Mahfud MD yang dianggap dapat mengembalikan MK kepada kewenangan awalnya, namun ternyata gagal dan justru sebaliknya, serta upaya untuk merevisi UU MK pada 2011 dan 2013, merupakan beberapa contoh ketidakpuasan lembaga negara lain terhadap MK.
Walaupun MK Indonesia dinilai cukup kuat terlibat dalam pembuatan kebijakan, namun Theunis dan Fritz meragukan apakah dalam jangka panjang hal tersebut akan dapat mendukung berfungsinya demokrasi. Ketika MK diharapkan mengambil posisi dengan menyesuaikan adanya perubahan kualitas demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang, MK dinilai justru mengambil sikap dogmatis dalam menafsirkan independensi pengadilan dengan membatalkan sebagian ketentuan di dalam dua kali revisi UU MK. Theunis dan Fritz berpendapat bahwa penafsiran dan putusan tersebut dapat beresiko menurunkan kredibilitas para hakim konstitusi yang menjadi syarat dalam sistem demokrasi yang sehat. Pada waktunya, MK juga diprediksi akan menerima ‘serangan’ kembali tidak saja dari para pendukung demokrasi, namun juga dari para pemimpin yang populis dengan mengeksploitasi kekakuan MK dalam menempatkan diri.
Kekhawatiran ini datang karena Theunis dan Fritz menilai bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki banyak tantangan. Oleh karena itu, mereka menyarankan agar MK melangkah lebih hati-hati dan tidak menyederhanakan kekuatannya dalam membuat putusan atau kebijakan dengan berlindung di bawah konsep independensi pengadilan yang tidak tepat. MK dinilai perlu untuk kembali pada gaya yang relatif lebih ketat seperti di era Jimly Asshiddiqie dalam memberikan penalaran dan penjelasan putusan yang tepat, khususnya ketika melakukan intervensi untuk mendukung sistem demokrasi. Menurut Theunis dan Fritz, hanya dengan cara tersebut MK dapat membangun pemahaman publik mengenai perannya di dalam politik Indonesia. Pada akhirnya, MK juga akan memperoleh dukungan publik untuk menjalankan perannya untuk mendukung demokrasi Indonesia dalam jangka panjang.
***
Kolom “Khazanah Konstitusi” merupakan rubrik yang menguraikan hasil penelitian ataupun kajian akademis yang ditulis oleh para peneliti di luar Indonesia terkait dengan tema-tema konstitusi. Rubrik ini dimaksudkan untuk mengetahui berbagai pandangan dan perspektif akademis yang berkembang di luar Indonesia terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi ataupun pelaksanaan sistem Konstitusi di Indonesia. Tulisan ini juga ditujukan sebagai materi literature review yang dapat digunakan oleh para mahasiswa, peneliti, ataupun para praktisi hukum konstitusi sebagai bahan referensi akademis ataupun studi lanjutan.
Rubrik ini diasuh oleh Pan Mohamad Faiz Kusuma Wijaya, Peneliti di Mahkamah Konstitusi yang kini tengah menempuh program PhD di bidang Hukum Tata Negara di School of Law, University of Queensland, sekaligus menjadi Research Scholar pada Center for International, Public and Comparative Law (CPICL) di Australia. Untuk informasi dan korespondensi lebih lanjut, Penulis dapat dihubungi melalui email: p.wijaya@uq.edu.au.