Putusan Kompromistis Bawaslu

PUTUSAN KOMPROMISTIS BAWASLU

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 143, Januari 2019, hlm. 74-75 – Download)

Ruko Januari 2019 - Academia_Page_2Benang kusut terkait proses dan persyaratan pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk Pemilu 2019 rupanya belum juga terurai lepas. Dalam tulisan sebelumnya berjudul “Sengkarut Syarat Calon Anggota DPD”, Penulis telah menganalisis sebab musabab terjadinya permasalahan konstitusional mengenai pencalonan anggota DPD tersebut.

Singkatnya, Mahkamah Konstitusi (MK) awalnya mengeluarkan Putusan Nomor 30/PUU/-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 yang menyatakan bahwa calon anggota DPD tidak boleh berstatus sebagai pengurus (fungsionaris) partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Namun, Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan Nomor 65 P/HUM/2018 bertanggal 25 Oktober 2018 justru menciptakan kerancuan pelaksanaan Putusan MK bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasalnya, MA menilai Peraturan KPU yang dikeluarkan untuk menindaklanjuti Putusan MK tidak dapat diberlakukan surut. Akibatnya, mulai terlihat adanya pertentangan antara Putusan MK dan Putusan MA.

Pertentangan tersebut semakin tajam tatkala Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengeluarkan Putusan Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT bertanggal 14 November 2018. Secara jelas, Putusan PTUN Jakarta memuat pertimbangan hukum yang bertolak belakang dengan Putusan MK. PTUN Jakarta menafsirkan Putusan MK terkait persyaratan calon anggota DPD hanya berlaku untuk proses Pemilu setelah 2019. Padahal, Putusan MK secara tegas menyatakan bahwa persyaratan calon anggota DPD tersebut harus diberlakukan sejak Pemilu 2019.

Di tengah dilema konstitusional ini, KPU akhirnya memantapkan hatinya untuk mentaati Putusan MK sebagai bentuk dan cerminan dalam menjalankan amanat UUD 1945. Selain itu, KPU juga berpedoman bahwa sebagai penyelenggara Pemilu, maka segala tindakannya tidak boleh bertentangan dengan desain konstitusional DPD dalam proses pencalonan anggotanya. Sehingga, KPU menyatakan diri tunduk kepada UUD 1945 dan Putusan MK dengan tetap menghormati putusan pengadilan lainnya.

Tindakan konkret KPU tersebut diwujudkan dengan mengeluarkan Surat KPU Nomor 1492/PL.01.4-SD/03/KPU/XII/2018 bertanggal 8 Desember 2018 perihal Pengunduran Diri sebagai Pengurus Partai Politik bagi Bakal Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pemilihan Umum Tahun 2019. Pada intinya, surat ini berisi kewajiban calon anggota DPD untuk menyerahkan Surat Pengunduran Diri sebagai Pengurus Partai Politik. Apabila kewajiban tersebut tidak dilakukan, maka nama bakal calon anggota DPD yang masih menjadi pengurus partai politik tidak akan dicantumkan dalam Daftar Calon Tetap (DCT). Nama-nama dalam DCT ini yang pada nantinya akan termuat di dalam kertas suara Pemilu 2019.

Jalan Tengah

Langkah KPU untuk mentaati UUD 1945 dan Putusan MK rupanya tidak berjalan mulus. Bakal calon anggota DPD yang merasa dirugikan akibat keputusan KPU tersebut kemudian mengajukan laporan dugaan pelanggaran administratif Pemilu kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pelapor mendalilkan bahwa KPU telah melakukan pelanggaran karena tidak menjalankan Putusan PTUN Jakarta. Sebaliknya, KPU justru meminta bakal calon anggota DPD yang masih berstatus sebagai pengurus partai politik untuk memberikan surat pengunduran diri dari kepengurusan partai politiknya.

Setelah melalui pemeriksaan terhadap Pelapor dan Terlapor, Bawaslu mengeluarkan Putusan Nomor 008/LP/PL/ADM/RI/00.00/XII/2018 bertanggal 9 Januari 2019. Secara eksplisit, Bawaslu berupaya mencari jalan tengah atas persoalan konstitusional dalam pencalonan anggota DPD, sekaligus berupaya untuk memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaran pemilu. Dalam Putusannya, Bawaslu menyatakan bahwa KPU terbukti melakukan pelanggaran administratif Pemilu, sehingga memerintahkan agar dilakukan perbaikan terhadap Keputusan KPU dengan mencantumkan nama Pelapor sebagai calon tetap perseorangan peserta Pemilu Anggota DPD Tahun 2019.

Namun demikian dalam amar putusannya, Bawaslu juga memerintahkan KPU untuk tidak menetapkan Pelapor sebagai Calon Terpilih pada Pemilu 2019 jika tidak mengundurkan diri sebagai Pengurus Partai Politik paling lambat 1 (satu) hari sebelum penetapan Calon Terpilih Anggota DPD (hlm. 53). Artinya, meskipun secara de facto telah menjadi calon terpilih anggota DPD berdasarkan hasil Pemilu 2019, namun apabila calon tersebut tidak mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik, maka KPU diperintahkan untuk tidak menetapkan calon yang bersangkutan sebagai Calon Terpilih secara de jure.

Menariknya, Putusan Bawaslu diwarnai dengan pendapat berbeda (dissenting opinion) oleh salah satu dari lima Komisionernya, yakni Fritz Edward Siregar. Menurutnya, KPU memang melakukan pelanggaran administratif dalam proses penerbitan surat. Akan tetapi, surat tersebut secara substantif dinilainya justru merupakan perintah dari Putusan MK sekaligus sebagai bentuk kepatuhan terhadap desain kelembagaan DPD. Pendapat berbeda tersebut disampaikan dalam sidang terbuka pembacaan putusan. Namun anehnya, pendapat itu justru sama sekali tidak tercantum atau termuat di dalam Putusannya, melainkan menjadi dokumen yang terpisah.

Penafsiran Konstitusi

Putusan Bawaslu tersebut nampaknya tetap menyisakan pertanyaan konstitusional. Benarkah Putusan a quo menjadi jalan keluar sekaligus menciptakan kepastian hukum? Sebab, tak ada jaminan Keputusan KPU tidak akan dipermasalahkan secara hukum ke pengadilan manakala calon terpilih anggota DPD tidak ditetapkan oleh KPU karena mengikuti Putusan Bawaslu.

Menurut Penulis, Putusan Bawaslu tersebut lebih bersandar pada pertimbangan kompromistis, bukan konstitusionalis. Artinya, Bawaslu mencoba menggeser isu konstitusional terkait ‘syarat pencalonan’ anggota DPD menjadi ‘syarat penetapan calon terpilih’ anggota DPD. Padahal, Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 jelas hanya merujuk pada proses pendaftaran calon anggota DPD, bukan terkait dengan penetapan calon terpilihnya (vide paragraph [3.17], hlm. 51).

Bagaikan efek domino, Putusan Bawaslu ini justru dapat menambah deret terjadinya ketidakpastian hukum penyelenggaraan Pemilu. Pertama, MA menyatakan bahwa Keputusan KPU terkait pencalonan anggota DPD yang didasarkan pada Putusan MK tidak dapat diberlakukan surut. Kedua, Putusan PTUN Jakarta kemudian menyatakan bahwa persyaratan pencalonan anggota DPD yang termuat di dalam Putusan MK hanya dapat diberlakukan setelah Pemilu 2019. Ketiga, Bawaslu lalu secara tidak langsung menyiratkan bahwa proses pencalonan anggota DPD tidak perlu mengikuti Putusan MK, namun jika nanti terpilih harus mengikuti Putusan MK. Putusan demikian dapat dikategorikan upaya untuk menawar penafsiran konstitusi yang telah dibuat oleh MK.

Padahal, MK dibentuk untuk menjalankan fungsi sebagai penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of the Constitution). Dengan putusannya yang bersifat mengikat kepada seluruh pihak (erga omnes), termasuk bagi pengadilan dan lembaga penyelenggara Pemilu, maka penafsiran yang dibuat oleh MK tidak dapat ditafsirkan berbeda, apalagi digeser atau ditawar ke dalam bentuk penafsiran lain.

Tahun 2019 ini merupakan tahun ujian bagi tingkat ketaatan terhadap konstitusi, tidak saja bagi warga negaranya, namun juga bagi penyelenggara negara. Sengkarut terhadap pencalonan anggota DPD ini belum tentu berhenti dan selesai pada Putusan Bawaslu. Babak selanjutnya bisa saja bergulir masuk hingga ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pada akhirnya, permasalahan konstitusional ini bahkan dapat berlabuh kembali ke meja Mahkamah Konstitusi, baik dalam bentuk perkara pengujian undang-undang maupun perselisihan hasil pemilihan umum.

* Pan Mohamad Faiz, Ph.D. Peneliti di Mahkamah Konstitusi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s