Membedah Originalism

MEMBEDAH ORIGINALISM

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 156, Februari 2020, hlm. 74-75– Download) 

Foto_Page_2Dalam penafsiran konstitusi, setidaknya terdapat dua mahzab utama yang menjadi titik polar perbedaan, yaitu originalism dan non-originalism. Menurut Black’s Law Dictionary (2009), originalism merupakan teori penafsiran yang harus didasarkan pada maksud dari para penyusun dan pengadopsi suatu konstitusi. Originalism ini seringkali juga dipersamakan dengan istilah interpretivism, yaitu sebuah doktrin penafsiran konstitusi yang mengharuskan hakim untuk mengikuti norma atau nilai yang dinyatakan atau tersirat dalam bahasa konstitusi.

Sebaliknya, non-originalism atau noninterpretivism dimaknai sebagai doktrin yang memberikan kelonggaran penafsiran bagi hakim untuk tidak terbatas pada teks konstitusi atau sejarah penyusunannya. Dengan kata lain, hakim dapat memandang norma dan nilai sosial yang berkembang sebagai dasar untuk penilaian konstitusi.

Continue reading

Respons Konstitusional Larangan Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai Pengurus Partai Politik

RESPONS KONSTITUSIONAL LARANGAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH SEBAGAI PENGURUS PARTAI POLITIK

Pan Mohamad Faiz dan Muhammad Reza Winata

Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Mahkamah Konstitusi RI

* Artikel ini diterbitkan dalam Jurnal Konstitusi, Volume 16, Nomor 3, September 2019, hlm. 532-558

cover jurnalAbstrak: Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 menjadi salah satu putusan penting bagi desain lembaga perwakilan di Indonesia. Dalam Putusan tersebut, MK menyatakan bahwa pengurus partai politik dilarang menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Namun, tindak lanjut dari Putusan ini memicu polemik ketatanegaraan. Sebab, terjadi kontradiksi mengenai waktu pemberlakuan larangan tersebut akibat adanya perbedaan pemaknaan terhadap Putusan MK di dalam Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu. MK menyatakan bahwa Putusannya berlaku sejak Pemilu 2019. Akan tetapi, Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu tersebut menyatakan larangan tersebut berlaku setelah Pemilu 2019. Artikel ini mengkaji kontradiksi Putusan-Putusan tersebut dengan menggunakan tiga pisau analisis, yaitu: (1) finalitas putusan; (2) respons terhadap putusan; dan (3) validitas atau keberlakuan norma. Dengan menggunakan doktrin responsivitas terhadap putusan pengadilan dari Tom Ginsburg, artikel ini menyimpulkan bahwa Keputusan KPU yang tetap kukuh memberlakukan larangan bagi pengurus partai politik sebagai calon anggota DPD sejak Pemilu tahun 2019 sesungguhnya merupakan tindakan formal konstitusional karena telah mengikuti (comply) penafsiran konstitusional yang terkandung dalam Putusan MK. Di lain sisi, tindakan KPU juga merupakan bentuk yang sekaligus mengabaikan (ignore) Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu. Meskipun demikian, respons KPU tersebut dapat dibenarkan karena Putusan MK memiliki objek dan dasar pengujian lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga memiliki validitas hukum lebih tinggi dari Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu. Dengan demikian, tindakan KPU yang konsisten mengikuti Putusan MK tersebut merupakan respons konstitusional yang memiliki justifikasi hukum dan konstitusi, sebagaimana juga dikuatkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), baik secara hukum maupun etik.

Kata Kunci: Calon Anggota DPD, Komisi Pemilihan Umum, Mahkamah Konstitusi,
Partai Politik, Respon Konstitusional.

Artikel selengkapnya dapat diunduh di sini atau di sini.

Continue reading

Dekonstruksi Ne Bis In Idem di Mahkamah Konstitusi

DEKONSTRUKSI NE BIS IN IDEM DI MAHKAMAH KONSTITUSI

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 144, Februari 2019, hlm. 74-75 – Download)

Majalah Konstitusi Edisi Februari 2019 - CoverSalah satu asas dasar yang sering digunakan dalam bidang hukum adalah ne bis in idem. Secara harfiah, istilah ini berasal dari bahasa latin yang berarti “not twice in the same”. Asas ini memberikan pelarangan terhadap kemungkinan bagi seseorang untuk dituntut lebih dari satu kali berdasarkan fakta-fakta yang sama. Bas van Bockel (2010) menjelaskan asas ini dari sejarah panjang Yunani kuno tatkala Demosthenes memproklamirkan ketentuan bahwa “the laws forbid the same man to be tried twice on the same issue.”

Secara umum, asas ini diterapkan sebagai prakondisi dari proses persidangan yang adil dan menjamin adanya kepastian hukum. Ne bis in idem merupakan konsep penting dari suatu negara hukum. Sebab, negara diharuskan untuk menghormati proses dan hasil pengadilan yang telah memutus sebelumnya. Penghormatan terhadap res judicata atau finalitas suatu putusan tersebut merupakan fondasi bagi negara agar memiliki legitimasi hukum. Tanpa hal tersebut, legitimasi negara tak akan terbentuk.

Continue reading

Putusan Kompromistis Bawaslu

PUTUSAN KOMPROMISTIS BAWASLU

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 143, Januari 2019, hlm. 74-75 – Download)

Ruko Januari 2019 - Academia_Page_2Benang kusut terkait proses dan persyaratan pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk Pemilu 2019 rupanya belum juga terurai lepas. Dalam tulisan sebelumnya berjudul “Sengkarut Syarat Calon Anggota DPD”, Penulis telah menganalisis sebab musabab terjadinya permasalahan konstitusional mengenai pencalonan anggota DPD tersebut.

Singkatnya, Mahkamah Konstitusi (MK) awalnya mengeluarkan Putusan Nomor 30/PUU/-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 yang menyatakan bahwa calon anggota DPD tidak boleh berstatus sebagai pengurus (fungsionaris) partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Namun, Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan Nomor 65 P/HUM/2018 bertanggal 25 Oktober 2018 justru menciptakan kerancuan pelaksanaan Putusan MK bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasalnya, MA menilai Peraturan KPU yang dikeluarkan untuk menindaklanjuti Putusan MK tidak dapat diberlakukan surut. Akibatnya, mulai terlihat adanya pertentangan antara Putusan MK dan Putusan MA.

Continue reading