TERCECERNYA OTAK CEMERLANG
Fenomena hengkangnya otak cemerlang atau yang kerap disebut brain drain kembali mengemuka. Sekitar 1.000 peneliti Indonesia lebih memilih berkarier di luar negeri.
Apa sebabnya? Kepala Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Jeni Ruslan menyatakan, dari puluhan ahli peneliti yang sebelumnya menjadi peneliti di Indonesia, kini setengahnya bekerja di beberapa pusat penelitian di luar negeri.Menurut dia,hal ini karena rendahnya pendapatan seorang peneliti di Indonesia.
Berbeda ketika mereka merintis karier di luar negeri. “Gaji para peneliti di Indonesia kecil dan minim. Bila jabatannya segitu, gajinya tetap segitu. Akibatnya banyak ahli peneliti Indonesia berlomba-lomba menjadi peneliti di luar negeri,” ungkapnya. Masalah kesejahteraan ini memang menjadi salah satu motivasi para peneliti untuk keluar dari negeri.
Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi (Dikti) Fasli Jalal, selain masalah materi, ada juga beberapa alasan kenapa peneliti Indonesia lebih memilih berkarier di luar negeri. Pertama, para ilmuwan potensial melihat adanya pengembangan karier yang lebih menjanjikan. Alasan ini lebih banyak ditujukan bagi para mahasiswa yang menuntut ilmu ke luar negeri, namun tidak memiliki tujuan balik ke dalam negeri.
Artinya, para mahasiswa potensial yang belum jelas masa depannya. ”Apalagi mereka yang belum terikat kontrak,atau menjadi pegawai negeri. Jadi ketika mereka balik,belum ada tujuan untuk bekerja sebagai apa?” ungkapnya kepada Seputar Indonesia. Kedua, ada potensi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Setelah lulus dari perguruan tinggi di luar negeri, tidak jarang para mahasiswa Indonesia mendapatkan tawaran untuk mengajar di perguruan tinggi di berbagai negara. Talent searching dari universitas luar negeri tersebut mencoba merayu para mahasiswa dengan potensi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Wajar jika kemudian mereka lebih memilih mencoba peruntungannya di luar negeri dibandingkan di dalam negeri. Ketiga, ada potensi paten menjadi daya tarik bagi industri, institusi ilmiah, maupun pemerintah negara lain untuk mempekerjakan para peneliti Indonesia. ”Mereka melihat ada potensi paten yang ada dalam diri para mahasiswa ini.Kemudian mereka mencoba menawarkan kontrak dalam jangka waktu tertentu untuk mengambil patennya.
Memang,hal ini sangat merugikan Indonesia sendiri,” kata Fasli. Banyak peneliti Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri memiliki hasil penelitian yang potensial. Ketika pihak asing melihat hal ini, sebisa mungkin mereka akan mengambil hasil penelitian ini menjadi hak paten milik mereka.
Apalagi untuk masalah pengurusan hak paten, Indonesia masih mengalami berbagai kesulitan. ”Kita akui, untuk mengurus hak paten, proses administrasinya masih rumit,dan terkadang memakan waktu lama,”lanjutnya. Alasan terakhir, kondisi infrastruktur penelitian dalam negeri yang belum mendukung, keterbatasan teknologi, serta ketiadaan laboratorium membuat para peneliti lebih memilih tetap bertahan di luar negeri.
Jika ingin mengembangkan keilmuan, mereka akan sulit mendapatkan sokongan dana dan fasilitas penelitian. Menurut Fasli, sebagian besar mahasiswa yang menempuh pendidikan di luar negeri lebih banyak menempuh ilmu-ilmu kekinian. Di mana terbuka kemungkinan, fasilitas laboratorium untuk pengembangan ilmu tersebut belum ada di Indonesia.Wajar jika mereka lebih memilih bekerja di negara yang memiliki potensi laboratorium yang lebih memadai.
”Untuk selalu meng-up date fasilitas laboratorium kan butuh biaya tinggi dan terkadang pemerintah tidak memilikinya,” ungkap pria kelahiran Padang Panjang,1 September 1953 ini. Memang akibat banyaknya ilmuwan potensial yang lebih memilih berkarya di luar negeri ini berdampak kurang menguntungkan bagi Indonesia.
Selain hilangnya potensi paten, realitas ini juga mengakibatkan Indonesia kehilangan karya-karya ilmiah dari warga negara ini. Fasli mengungkapkan, kontribusi peneliti di lembaga riset dan perguruan tinggi Indonesia dalam jurnal-jurnal internasional justru hanya 0,87 artikel ilmiah per sejuta penduduk.
Kondisi ini kalah dibanding Malaysia yang sebesar 21,30 atau India yang mencapai 12,00 tiap satu juta penduduknya. Karena itu, untuk mengantisipasi semakin banyaknya angka migrasi peneliti ini, sejumlah peneliti Indonesia tengah berupaya membentuk Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4).
Lembaga ini diharapkan bisa menjadi jembatan penghubung antara mahasiswa yang menempuh pendidikan di luar negeri dan berbagai kalangan di dalam negeri.”Jadi,enam bulan sebelum mereka lulus, I-4 bertugas akan menginformasikan baik itu di sektor industri, pemerintah, NGO, hingga pemda. Informasi ini akan bermanfaat untuk pihak yang akan merekrutnya,” ungkap Fasli.
Lembaga ini juga merupakan sumber informasi lowongan karier bagi mahasiswa di luar negeri sehingga para mahasiswa ini akan memiliki gambaran akan berkarier di mana sekembalinya ke dalam negeri. Dengan jaminan masa depan yang tetap di dalam negeri, para mahasiswa tersebut tidak akan enggan kembali ke Indonesia.
Selain I-4, pemerintah juga berupaya memperbaiki kondisi finansial para ilmuwan di Indonesia. Sebagai contoh, kata Fasli, saat ini pemerintah telah menaikkan kesejahteraan bagi para guru besar. Mereka juga akan diberikan tunjangan penelitian guna mengembangkan keilmuannya.
Pemerintah saat ini juga tengah berupaya mempermudah pengurusan paten bagi para peneliti. Fasli mengaku, Ditjen Dikti dan Ditjen Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) telah melakukan pembicaraan intensif untuk menyederhanakan pengurusan paten. ”Semoga pengurusan paten yang makan waktu lama bisa lebih disederhanakan proses administrasinya,” ungkapnya ketika ditemui Seputar Indonesiadi ruang kerjanya.
Pemerintah saat ini sedang mempersiapkan berbagai langkah untuk menjaga para penelitinya. Langkah ini dilakukan agar ke depan Indonesia tidak lagi kehilangan berbagai kekayaan intelektualnya hanya karena alasan kesejahteraan.
Sementara itu, mantan Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di India yang juga penggagas I-4, Pan Mohamad Faiz, kepada Seputar Indonesia mengatakan, selama ini fenomena brain drain terjadi karena banyak faktor, tetapi disederhanakan menjadi dua faktor bipolar yakni faktor penarik dan pendorong.
Faktor penarik datangnya dari negara tujuan misalnya terkait jaminan prospek kehidupan yang lebih baik. Tersedianya fasilitas pendidikan, penelitian, dan teknologi yang memadai. Di samping itu, kesempatan memperoleh pengalaman kerja juga lebih luas, tradisi keilmuan di luar negeri dinilai lebih tinggi dibanding Indonesia.
Sementara faktor pendorong, datangnya dari dalam negeri sendiri. Alasan klasik yang sering diutarakan peneliti yang hengkang ke luar negeri terkait masalah kesejahteraan. Di mana penghasilan seorang peneliti di Indonesia dinilai ”kurang manusiawi”. Selain itu, masalah kenyamanan bekerja di Tanah Air juga dituding sebagai salah satu faktor pendorong mengapa para ilmuwan lebih memilih negeri asing.
Tetapi, yang lebih mendorong para ilmuwan hengkang justru disebabkan mereka (para ilmuwan) tidak bisa mengaktualisasikan keilmuan mereka di Tanah Air. Tidak jarang seorang ilmuwan justru bekerja bukan pada bidangnya, sebagai staf atau pimpinan departemen HRD misalnya.
Faktor-faktor inilah yang disebut- sebut sebagai alasan utama mengapa para ilmuwan lebih memilih negara lain agar mereka mengaktualisasikan keilmuannya. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah mengambil kebijakan tradisi keilmuan agar para otak cemerlang ini tidak hengkang ke negeri orang. (abdul malik /islahuddin/faizin aslam)
Sumber: Periskop Seputar Indonesia, 15 Agustus 2009
Link: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/262730/