MK DAN KONSOLIDASI DEMOKRASI DI INDONESIA
*Dimuat pada Kolom Khazanah, KONSTITUSI No. 86 – Edisi April 2014 (Hal 70-73)
Dalam banyak literatur, pembentukan Mahkamah Konstitusi dipercayai dapat membantu keberlangsungan proses transisi dari rezim otoriter menuju rezim demokrasi konstitusional. MK di negara-negara Eropa Timur menjadi studi kasus yang paling banyak diulas para akademisi internasional, di antaranya oleh Sólyom (2003), Sadurski (2005), Biagi (2012), dan Scotti (2012). Untuk negara-negara Asia, tidak termasuk Indonesia, Tom Ginsburg juga menguraikannya dalam bukunya yang cukup popular, yaitu “Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases” (2003).
Namun demikian, tidak banyak penulis, yang menjadikan Indonesia sebagai studi kasusnya dalam konteks pembentukan MK dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasi. Kajian pertama mengenai hal ini ditulis oleh Marcus Mietzner, Associate Professor dari Australian National University (ANU) yang memiliki ketertarikan penelitian terhadap partai politik dan demokrasi di Indonesia. Dalam tulisannya “Political Conflict Resolution and Democratic Consolidation in Indonesia: The Role of the Constitutional Court“ yang dimuat dalam Journal of East Asian Studies (2010), Mietzner memasukan elemen keberadaan dan peran MK sebagai salah satu faktor signifikan yang ikut berkontribusi di dalam perkembangan demokrasi di Indonesia, khususnya terhadap resolusi konflik politik dan konsolidasi demokrasi.
Memulai tulisannya, Mietzner menguraikan praktik kekerasan yang seringkali terjadi sebelum dan sesaat setelah terjadinya reformasi. Konflik politik tidak jarang terselesaikan melalui adu kekuatan fisik, di mana partai politik membentuk barisan milisinya masing-masing, organisasi keagamaan memobilisasi kelompoknya, dan bahkan polisi ataupun militer menyewa masa bayaran guna mengintervensi konflik politik yang terjadi. Tidak ada aktor utama yang berupaya untuk menyelesaikan konflik tersebut ke hadapan pengadilan. Mietzner beranggapan bahwa runtuhnya kepercayaan terhadap pengadilan umum disebabkan karena adanya manipulasi dari pemerintah berkuasa selama beberapa dekade, merajalelanya praktik korupsi, dan ketidakmampuan pengelolaan manajemen institusi. Akibatnya, penggunaan kekuatan dan intimidasi menjadi cara yang paling efektif bagi para politisi untuk memenangkan konflik di masa transisi sistem politik.
Sama halnya dengan konflik yang terjadi pada proses dan hasil Pemilu. Tidak adanya mekanisme institusional untuk menyelesaikan sengketa Pemilu pada 1999 menyebabkan 27 dari 48 partai politik tidak ingin menandatangani hasil Pemilu. Tanpa adanya konsensus terhadap validitas penghitungan hasil Pemilu, sengketa Pemilu merebak di mana-mana. Dalam catatan Mietzner, salah satu puncak dari konflik politik yang melibatkan para elit partai politik adalah terjadinya pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid pada 2001. Hampir semua pihak terlibat dalam konflik ini, mulai dari partai politik, militer, pengadilan, hingga kelompok masyarakat yang berada pada posisi dan kepentingannya masing-masing.
Inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan dibentuknya MK pada 2003 melalui amandemen Konstitusi. Merujuk pada teori dari Ginsburg dan Horowitz, Mietzner menilai bahwa pembentukan MK di Indonesia juga didasari atas motivasi para elit politik untuk memiliki lembaga yang dapat menyelesaikan konflik politik dan hukum di masa mendatang. Pembentukan MK ini juga untuk menjawab ketiadaan judicial referee dalam sistem politik di Indonesia.
Resolusi Konflik Politik
Mengikuti pola yang dibuat oleh Linz dan Stepan (1996), Mietzner mengemukakan tiga karakter utama agar terciptanya konsolidasi demokrasi. Pertama, tidak adanya kelompok politik utama yang berusaha untuk menggulingkan pemerintahan demokratis atau memisahkan diri dari negara-bangsa. Kedua, opini publik yang kuat dan mayoritas yang mempercayai bahwa adanya perubahan politik harus sejalan dengan kerangka demokrasi yang ada. Ketiga, seluruh konflik politik diselesaikan melalui undang-undang, prosedur, dan lembaga yang spesifik dari sistem demokrasi yang baru. Menurut Mietzner, karakteristik ketiga ini merupakan kontribusi terbesar dari MK dalam proses konsolidasi demokrasi. MK telah membawa resolusi konflik dari pertentangan yang terjadi di jalanan menuju ke dalam ruang persidangan. Menurutnya, peran MK dalam mengurangi konflik politik terlihat jelas dalam putusannya terkait sengketa hasil Pemilu.
Sejak tahun 2004 atau setahun setelah pembentukannya, MK langsung mengadili sengketa Pemilu secara terbuka. Sebanyak 83 dari 252 permohonan sengketa Pemilu Legislatif yang diajukan oleh partai politik dikabulkan oleh MK. Putusan ini menumbuhkan kepercayaan bagi masyarakat bahwa sepanjang didukung oleh bukti-bukti yang kuat, kini hasil Pemilu dapat digugat dan diterima. Di sisi lain, putusan MK juga melindungi hasil penghitungan suara oleh KPU dalam menjaga kredibilitas proses Pemilu secara nasional. Sementara itu, bagi partai politik yang tidak dikabulkan permohonannya, mereka dapat menerima hasil persidangan tanpa adanya protes yang signifikan, sehingga menjadikan momentum tersebut sebagai preseden penting bagi MK terkait keterlibatannya pertama kali dalam menyelesaikan sengketa Pemilu. Dalam perkara Pemilu Presiden 2004, MK menolak permohonan dari pasangan Wiranto dikarenakan bukti-bukti yang diajukan tidak kuat.
Pemilu Legislatif 2009 juga memiliki kondisi yang serupa dengan Pemilu 2004. MK hanya mengabulkan 70 dari 657 permohonan yang diajukan oleh partai politik. Dalam Pemilu Presiden, MK menerima permohonan dari dua pasangan kandidat Presiden dan Wakil Presiden, yaitu Wiranto-Jusuf Kalla dan Megawati-Prabowo. Pasangan kandidat Jusuf Kalla-Wiranto mengajukan argumentasi atas hilangnya 34,5 juta suara, sedangkan pasangan kandidat Megawati-Prabowo merasa dirugikan karena adanya 28 juta pemilih fiktif. Karena tidak didukung bukti-bukti yang kuat, MK menolak kedua permohonan tersebut. Akan tetapi, MK juga mengkritisi KPU atas rendahnya kinerja dan manajemen Pemilu. Terhadap putusan ini, baik Megawati maupun Prabowo menerima dengan lapang dada dan meminta para pendukungnya untuk menghormati putusan dan kembali ke rumah secara damai. Kekhawatiran besar akan pecahnya konflik horisontal antarmasyarakat akhirnya dapat terhindarkan.
Merujuk pada indeks yang dikeluarkan oleh Freedom House (2008), Mietzner menegaskan penilaian adanya perkembangan signifikan yang membawa Indonesia sebagai satu-satunya negara demokrasi di Asia Tenggara. MK juga dinilai juga telah memberikan kontribusi besar melalui putusan-putusannya terhadap membaiknya indeks dalam kebebasan sipil dan hak-hak politik. Begitu pula dengan beberapa ahli internasional yang menyatakan bahwa transparansi MK dalam proses ajudikasi sengketa Pemilu 2009 menjadi alasan utama yang mengakibatkan terhindarnya potensi kerusakan dan lumpuhnya sistem politik di Indonesia. Demokratisasi Indonesia terus berlanjut.
Ekspansi Hak-Hak Demokratis
Merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh Linz dan Stepan, Mietzner menguraikan beberapa prinsip utama dari sistem demokratis, yaitu adanya kebebasan berserikat dan berkomunikasi serta kontestasi Pemilu yang bebas dan inklusif untuk pembentukan masyarakat sipil dan masyarakat politik. Di dalam kedua ranah ini, Mietzner menilai bahwa MK telah mengeluarkan putusan-putusan penting yang memperkuat hak-hak demokratis. Di saat yang bersamaan, berbagai putusan yang dikeluarkan oleh MK telah memecah kebuntuan politik sekaligus menimbulkan kontroversi. Akibat positifnya, putusan-putusan tersebut ikut memperluas dukungan politik kepada MK dan meningkatkan otonomi kelembagaannya.
Dalam konteks memperkuat kebebasan sipil, MK seringkali menerabas ketentuan yang dulunya tabu untuk dipermasalahkan. Pada Desember 2006 dan Juli 2007, MK membatalkan ketentuan di dalam KUHP terkait dengan pasal-pasal penghinaan terhadap penguasa yang dikenal dengan istilah haatzaai-artikelen dan sowing hatred. Sebelumnya pada Februari 2004, MK juga lebih dulu membatalkan ketentuan yang melarang mantan anggota PKI untuk menjadi kandidat dalam Pemilu. Selain itu, MK telah membatalkan ketentuan di dalam UU Pemerintahan Daerah yang hanya memberikan kesempatan kepada anggota partai politik untuk menjadi kandidat kepala daerah. Dengan dibatalkan ketentuan tersebut, kini calon kepala daerah dari unsur non-partai politik atau lebih dikenal dengan istilah calon independen, dapat ikut ‘bertarung’ di dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah.
Mietzner berpendapat bahwa MK tidak saja telah mengurangi dominasi partai politik di ranah pemilihan eksekutif, tetapi juga dalam ranah pemilihan legislatif, arena di mana partai politik sangatlah protektif. Untuk Pemilu 2009 yang lalu, DPR awalnya telah menyetujui sistem Pemilu legislatif dengan menggunakan sistem proporsional semi-terbuka, di mana jika tidak ada calon legislatif (Caleg) yang memenuhi syarat Bilang Pembagi Pemilih (BPP) untuk mendapatkan kursi maka suara yang diperoleh partai dan seluruh caleg akan dilimpahkan kepada caleg secara berurutan mulai dari nomor urut pertama. Namun kemudian, MK menyatakan ketentuan tersebut inkonstitusional. Majelis Hakim memutuskan bahwa apabila tidak ada Caleg yang memenuhi BPP maka suara partai dan caleg lainnya harus diberikan kepada Caleg dengan perolehan suara terbanyak, terlepas dari berapapun nomor urutnya. Melalui putusan ini, Mietzner menilai bahwa MK telah memberlakukan secara efektif sistem Pemilu yang baru dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan sistem Pemilu Legislatif yang sangat kompetitif.
Dalam memperkuat hak-hak demokratis, MK tidak hanya berhenti pada putusan di atas. Dua hari sebelum pelaksanaan Pilpres 2009, MK kembali mengeluarkan Putusan yang sangat penting, yaitu membolehkan setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih namun belum terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk menggunakan hak suaranya dengan cara memperlihatkan KTP dan Kartu Keluarga (KK) yang masih berlaku. Dalam pertimbangannya, MK sekaligus memberikan panduan teknis dan prosedural terhadap mekanisme pemungutan suara tersebut. Mietzner berpendapat bahwa putusan ini secara politik sangatlah bijak, namun masih berdiri pada landasan yang tidak kokoh. Alasannya, MK tidak membatalkan ketentuan yang spesifik, akan tetapi memberikan pertimbangan hukum yang mengikat untuk menjadi legislasi baru yang bersifat ad hoc. Namun demikian dalam realisasinya kini, pertimbangan MK tersebut telah dimasukkan ke dalam ketentuan UU dan Peraturan KPU terkait dengan penyelenggaraan Pemilu 2014.
Intervensi dan Independensi MK
Walaupun memunculkan kontroversi, kemampuan MK dalam membuat putusan yang strategis dan membawa dampak besar disebabkan oleh beberapa faktor. Mietzner menyandingkan temuan dari Ginsburg (2003) dan Stephenson (2003) dengan studi kasusnya di Indonesia. Menurutnya, tingkat pemencaran kekuatan dan daya saing politik memberi ruang luas bagi MK dalam menjalankan kewenangannya. Berbeda dengan masa Soeharto, kini tidak lagi ada aktor politik tunggal yang sangat berkuasa untuk mengintimidasi atau mengintervensi institusi kunci seperti MK. Walaupun presiden menerima mandat langsung dari rakyat melalui pemilihan umum, namun kewenangannya telah banyak dikurangi pasca reformasi. Menariknya, hal ini bukan berarti presiden atau pejabat lainnya tidak pernah mencoba untuk memengaruhi independensi MK.
Hasil wawancara Mietzner dengan Ketua MK pertama, Jimly Asshiddiqie, menggambarkan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sering menunjukkan ketidakpuasannya terhadap putusan-putusan yang diambil oleh MK melalui komunikasi tidak langsung. Begitu juga dengan Jusuf Kalla yang saat itu menjadi Wakil Presiden, tidak jarang menelpon Hakim Konstitusi untuk menyampaikan kemarahan terhadap putusan MK yang tidak disukainya karena dianggap menghalangi pekerjaan dan tugas pemerintah. Namun demikian, apapun sikap yang disampaikan oleh pemerintah, menurut Mietzner, MK masih dapat bersikap independen.
Selain itu, salah satu institusi yang pernah mencoba untuk mengintimidasi MK adalah kelompok militer, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun. Hal ini dikemukakan oleh mantan Hakim Konstitusi A. Mukthie Fadjar dalam wawancaranya kepada Mietzner. Percobaan intervensi ini terjadi kepada mantan Hakim Konstitusi Roestandi dalam perkara sengketa Pemilu Presiden dan pengujian undang-undang (PUU) terkait hak politik anggota PKI. Dalam perkara PUU tersebut, Hakim Roestandi menerima telepon dari salah satu petinggi senior TNI yang mempertanyakan kenapa MK tidak “berkoordinasi” terlebih dahulu sebelum memutuskan perkara tersebut. Namun MK hanya merespons dingin atas pertanyaan tersebut. Hal ini bagi Mietzner, di satu sisi memperlihatkan adanya penurunan pengaruh militer dalam dunia peradilan, sedangkan di sisi lain adanya peningkatan kepercayaan diri MK dalam memutus perkara.
Sebagaimana dikutip oleh Mietzner, Mukthie Fadjar juga menyampaikan pengalamannya bahwa pada saat proses wawancara oleh Presiden SBY untuk perpanjangan masa jabatannya sebagai Hakim Konstitusi, dirinya disarankan agar berkoordinasi dengan pemerintah terlebih dahulu apabila ingin membuat putusan-putusan yang penting. Namun sebagaimana sifatnya yang tegas selama ini, Mukthie Fadjar menolak himbauan tersebut dan berbalik sikap dengan memberikan ‘kuliah’ mengenai arti pentingnya independensi bagi MK. Presiden SBY kemudian hanya mengangguk dan akhirnya menyetujui pengangkatannya kembali.
Kalaupun MK terpengaruh oleh tekanan eksternal, hal ini kebanyakan karena adanya kekuatan masyarakat sipil dan pemberitaan media massa. Walaupun sebagian Hakim Konstitusi memiliki pandang yang beragam terhadap peran masyarakat sipil, namun pengaruh yang diberikan oleh masyarakat sipil terhadap MK relatif cukup baik. Menurut Jimly Asshiddiqie, kekuatan opini publik dan aktivisme LSM bahkan seringkali lebih kuat dibandingkan ‘intimidasi’ yang diberikan oleh pemerintah, parlemen, ataupun militer. Kepada Mietzner, Jimly mengakui bahwa beberapa Hakim Konstitusi memiliki keinginan untuk menjadi populer dan dikenal. Padahal, MK harus dapat mengisolasi putusannya dari tekanan-tekanan yang membuat dirinya menjadi populis.
Keberhasilan MK selama ini memang tidak terlepas dari Hubungan MK dengan kelompok masyarakat sipil yang direfleksikan oleh Mietzner sebagai ‘love-hate relationship’. Misalnya, kelompok masyarakat sipil menyukai putusan tentang hak politik mantan anggota PKI, namun mereka juga membenci putusan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibatalkan seluruhnya oleh MK pada 2006. Bagi Maruarar Siahaan, mantan Hakim Konstitusi yang dinilai paling liberal dalam memutus perkara, opini publik dan LSM lebih cenderung seperti sekutu bagi MK dan bukan sebagai kekuatan yang dapat mengintimidasi sehingga perlu dihindari. Media juga menjadi sangat vital bagi upaya MK dalam menjaga independensinya terhadap kepentingan dari lembaga negara lainnya. Menurut pandangan Mietzner, MK lebih membuka diri terhadap tekanan publik untuk memengaruhi putusannya. Namun sebagai gantinya, MK akan memperoleh dukungan dari media dan masyarakat sipil yang secara efektif melindungi Hakim Konstitusi dari intervensi yang dilakukan oleh para elit politik di Indonesia.
Faktor Kunci
Selain adanya pemencaran kekuatan politik, Mietzner menganalisa bahwa suksesnya MK di Indonesia juga tidak terlepas dari beberapa faktor kunci lainnya. Luasnya akses untuk berperkara bagi para pemohon, mulai dari perseorangan, masyarakat hukum adat, badan publik, hingga lembaga negara, menjadi keuntungan bagi institusi MK. Otonomi anggaran keuangan MK juga merupakan alasan kuatnya MK secara institusi yang didukung dengan rampingnya struktur birokrasi. Namun demikian, faktor tingginya gaji Hakim Konstitusi yang menurut Mietzner dapat mencegah terjadinya korupsi di tubuh MK, kini dapat dipertanyakan kembali pasca tertangkap tangannya mantan Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK dalam kasus penyuapan sengketa Pemilukada.
Selain itu, pengangkatan hakim konstitusi melalui tiga pintu berbeda juga dianggap memberikan kontribusi terhadap penguatan MK secara institusional, khususnya ketika Hakim Konstitusi ingin melanjutkan masa jabatannya melalui pintu yang berbeda. Menurut Mietzner, sistem perekrutan seperti ini dapat memastikan adanya komposisi yang berbeda di dalam majelis hakim, terutama komposisi akademisi dan hakim non-karir. Perekrutan tersebut juga dapat mengurangi ketergantungan hakim dalam penominasiannya, terutama bagi mereka yang ingin melanjutkan pada masa jabatan kedua. Mietzner memberikan contoh dalam kasus mantan Hakim Konstitusi Harjono, di mana pada masa periode pertama Harjono dipilih dan diangkat oleh mantan Presiden Megawati melalui jalur pemerintah. Namun ketika telah terjadi pergantian kursi kepresidenan, SBY enggan mengangkat kembali Harjono untuk periode kedua karena Harjono dinilai lebih dekat kepada Megawati. Akhirnya, Harjono mengajukan diri melalui jalur DPR dan baru terpilih kembali ketika Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengundurkan diri.
Faktor yang tidak kalah pentingnya menurut Mietzner adalah gaya kepemimpinan personal di dalam MK. Hal ini terlihat dari karakter mantan Ketua Hakim Konstitusi pertama dan kedua, yaitu Jimly Asshiddiqie dan Mahfud Md., yang dapat diterima di tengah-tengah elit politik Indonesia. Sementara itu, popularitas MK yang tinggi merupakan dampak bawaan dari agresivitas Hakim Konstitusi dalam melakukan judicial activism, khususnya dalam menangani kasus-kasus tertentu. Misalnya, setelah MK memutuskan perkara strategis dengan cara mengintervensi perkara korupsi yang cukup besar di akhir 2009, Ketua MK memperoleh banyak penghargaan dari LSM dan universitas. Dalam konteks ini, Mietzner menilai bahwa MK tidak sekedar menggunakan cara-cara yang konvensional dalam melaksanakan kewenangannya, namun determinasi keputusannya melebihi dari kewenangan yang dimilikinya. Hakim Konstitusi pun juga tidak ragu untuk memperluas kewenangannya ketika merasa perlu guna mengatasi hambatan prosedural demi perwujudan demokratisasi.
Kekuatan signifikan yang berasal dari judicial activism yang cukup kuat ini menurut banyak pihak berpotensi membahayakan kredibilitas MK itu sendiri. Namun demikian, berbeda kontras dengan pandangan Horowitz (2006) yang mengingatkan MK terhadap adanya potensi politisasi, Mietzner menilai bahwa berdasarkan putusan dan penerimaannya oleh masyarakat sipil, MK justru dapat menjadi ‘wasit’ yang dihormati dalam konflik-konflik politik yang sebelumnya tidak pernah ada.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, menurut Mietzner, MK telah memainkan peran yang cukup signifikan dalam proses tranformasi dari negara yang sering menggunakan cara-cara kekerasaan menuju negara demokrasi yang paling stabil di Asia Tenggara. Selain menjadi agen demokratisasi, MK juga telah menjadi institusi yang dapat membangun mekanisme resolusi konflik dan perluasan hak-hak demokrasi sebagai indikator utama dalam konteks konsolidasi demokrasi. Dari perspektif ilmu politik, Mietzner menilai bahwa judicial activism yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi memang telah menimbulkan kontroversi, namun hal tersebut justru menjadikan putusan yang diambil oleh MK semakin populer. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan MK memperoleh dukungan luas dari masyarakat sehingga menjadikan MK tahan terhadap intervensi dari kekuatan eksternal. Untuk memecah stagnasi demokrasi atau bahkan penurunan kualitas demokrasi, bagi Mietzner, judicial activism yang mendorong kelanjutan agenda reformasi bukan saja sekedar dapat ditoleransi, namun menjadi kebutuhan bagi Indonesia yang sedang melakukan konsolidasi demokrasinya.
***
“Khazanah Konstitusi” merupakan rubrik yang menguraikan hasil penelitian ataupun kajian ilmiah yang dilakukan oleh para peneliti di luar Indonesia terkait dengan tema konstitusi. Rubrik ini dimaksudkan untuk mengetahui berbagai pandangan dan perspektif akademis yang berkembang di luar Indonesia terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi ataupun pelaksanaan sistem Konstitusi di Indonesia. Tulisan ini juga ditujukan sebagai materi literature review yang dapat digunakan oleh para mahasiswa, peneliti, ataupun para praktisi hukum konstitusi sebagai bahan referensi akademis ataupun studi lanjutan.
Kolom ini diasuh oleh Pan Mohamad Faiz, Peneliti di Mahkamah Konstitusi yang kini tengah menempuh program PhD di bidang Hukum Tata Negara dan menjadi Peneliti pada Center for International, Public and Comparative Law (CPICL) di School of Law, University of Queensland, Australia.