Yudisialisasi Politik di Mahkamah Konstitusi Indonesia dan Korea

YUDISIALISASI POLITIK DI MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA DAN KOREA

* Dimuat dalam Kolom Khazanah, Majalah KONSTITUSI No. 127, Edisi September 2017, hlm. 74-77 (Download)

Foto CoverSejak berakhirnya Perang Dunia II, kewenangan pengadilan telah berkembang begitu pesat di hampir seluruh belahan dunia. Pada saat itu, pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) merupakan kewenangan utama tambahan yang dimiliki pengadilan. Namun kini, berbagai pengadilan juga mempunyai kewenangan lain, mulai dari membubarkan partai politik, memakzulkan presiden, menyelesaikan sengketa pemilu, hingga membuat putusan-putusan politik strategis. Para politisi bahkan telah mendelegasikan sebagian kewenangannya untuk membentuk kebijakan kepada pengadilan, sehingga para hakim menjadi lebih berani mengambil keputusan-keputusan politik. Ekspansi kewenangan pengadilan ke dalam arena politik seperti ini sering dilabelkan dengan istilah yudisialisasi politik (judicialization of politics).

Walaupun fenomena yudisialisasi politik telah terjadi secara universal, namun ruang lingkup dan kedalaman dari yudisialisasi tersebut berbeda antara negara satu dengan negara lain. Bahkan, tidak terlalu jelas faktor apa saja yang menjadikan perbedaan-perbedaan tersebut. Berdasarkan permasalahan ini, Chien-Chih Lin, sekarang Assistant Research Professor di Institutum Iurisprudentiae, Academia Sinica, Taiwan, melakukan penelitian untuk menyingkap dinamika dari yudisialisasi politik. Penelitian Lin berangkat dari pemahaman konvensional bahwa suatu lingkungan politik sangat berpengaruh penting bagi perkembangan yudisialisasi politik karena tiga alasan sebagai berikut.

Continue reading

Komunikasi Mahkamah Konstitusi kepada Media dan Publik

KOMUNIKASI MAHKAMAH KONSTITUSI KEPADA MEDIA DAN PUBLIK

  * Dimuat dalam Kolom Khazanah, Majalah KONSTITUSI No. 119, Edisi Januari 2017, hlm. 64-67 (Download)

Cover Januari 2017Penelitian dan pengkajian mengenai keberadaan Mahkamah Konstitusi yang lahir dari rahim reformasi selalu menarik untuk dibahas dari berbagai perspektif. Apabila umumnya tema yang dikaji seputar performa dan putusan-putusan MK yang dihasilkannya, Stefanus Hendrianto, Visiting Scholar di the Kellogg Institute of International Studies, University of Notre Dame, justru mengkaji mengenai pola komunikasi Mahkamah Konstitusi (MK) kepada pihak eksternal, khususnya media dan publik.

Hasil kajiannya tersebut dituangkan dalam artikel berjudul “The Puzzle of Judicial Communication in Indonesia: The Media, the Court and the Chief Justice” sebagai bagian buku yang disunting oleh Richard Davis dan David Taras dalam Justice and Journalists: The Global Perspective yang akan diterbitkan oleh Cambridge University Press pada Februari 2017.

Hendrianto menganalisis mengenai bagaimana MK membangun strategi komunikasinya, terutama melalui peran sentral Ketua MK yang mencoba untuk memperkuat citra institusinya. Kajian ini menjadi menarik karena di saat yang bersamaan dengan didirikannya MK, media di Indonesia dapat dikatakan baru memperoleh “kebebasan” pasca tumbangnya rezim Soeharto. Permasalahannya, media-media tersebut menemui tantangan berat untuk menerjemahkan putusan-putusan dan pola kerja MK agar lebih mudah dipahami oleh publik.

Tulisan ini akan mengulas secara sistematis artikel yang ditulis oleh Hendrianto dengan berfokus pada strategi komunikasi MK beserta evaluasinya. Continue reading

Mengoptimalkan Peran Asosiasi Mahkamah Konstitusi se-Asia

MENGOPTIMALKAN PERAN ASOSIASI MAHKAMAH KONSTITUSI SE-ASIA

 * Dimuat dalam Kolom Khazanah, Majalah KONSTITUSI No. 111, Edisi Mei 2016, hal 72-76 (Download)

Khazanah Konstitusi - Edisi Mei 2016Studi terhadap mahkamah konstitusi selama ini umumnya berfokus pada tiga hal, yakni: (1) desain institusional dan kewenangannya; (2) relasi kelembagaan; dan (3) putusan-putusan yang dikeluarkannya. Namun demikian, obyek studi terkait dengan mahkamah konstitusi nyatanya jauh lebih luas dari ketiga hal tersebut. Misalnya, studi yang dilakukan oleh Maartje de Visser, Associate Professor dari Singapore Management University School of Law, dalam artikelnya berjudul “We All Stand Together: The Role of the Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions in Promoting Constitutionalism” yang dimuat dalam Asian Journal of Law and Society (2016).

Dalam artikelnya, Visser mengkaji alasan mengapa para hakim di Asia membentuk suatu aliansi berdasarkan wilayah dan bagaimana mereka bekerjasama untuk merealisasikan tujuan bersamanya. Secara kritis, artikel tersebut juga mengevaluasi pengaruh dan kontribusi the Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC) atau Asosiasi MK se-Asia terhadap isu-isu konstitusionalisme di Asia. Catatannya terhadap kekurangan AACC diuraikan secara gamblang yang diakhiri dengan beberapa saran untuk mengoptimalkan peran AACC.

Continue reading

Pengaruh Hakim “Islam” terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi

PENGARUH HAKIM “ISLAM” TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

 * Dimuat dalam Kolom Khazanah, Majalah KONSTITUSI No. 109, Edisi Maret 2016, hal 58-61 (Download)

Majalah Konstitusi Maret 2016Kekosongan posisi Hakim Agung Amerika Serikat pasca meninggalnya Hakim Antonin Scalia pada 13 Februari 2016 lalu menjadi isu nasional di negeri Paman Sam. Penyebabnya, Mahkamah Agung Amerika Serikat dianggap memiliki posisi dan kewenangan strategis dalam memutuskan kasus-kasus penting dan fundamental, sehingga Presiden dan Senate saling tarik-menarik dalam proses pemilihan Hakim Agung penggantinya.

Para pakar hukum di Amerika Serikat juga tidak ketinggalan dalam memberikan analisis terhadap calon pengganti Scalia. Mereka bahkan menelusuri latar belakang dan konfigurasi politik para Hakim Agung saat ini. Salah satu di antara pakar hukum kenamaan yang membuat analisis tersebut yaitu Richard Posner, Hakim Banding dan Dosen Senior di Chicago Law School. Dalam tulisannya di The Washington Post (9/2) berjudul “The Supreme Court is a political court. Republican’s actions are proof”, Posner mengategorikan para Hakim Agung di Amerika Serikat yang masih menjabat menjadi tiga kelompok berdasarkan keyakinan politiknya (political beliefs).

Pertama, tiga Hakim beragama Katolik yang sangat konservatif, terdiri dari Samuel A. Alito Jr., John G. Roberts Jr., dan Clarence Thomas; Kedua, empat Hakim liberal, terdiri dari Stephen G. Breyer, Ruth Bader Ginsburg, Elena Kagan, dan Sonia Sotomayor; dan Ketiga, seorang hakim yang sebenarnya konservatif namun untuk beberapa kasus dapat berubah sikap menjadi liberal (swing justice), yaitu Anthony M. Kennedy.

Continue reading