MK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 142, Desember 2018, hlm. 74-75 – Download)
Di penghujung 2018, Mahkamah Konstitusi Indonesia (MK Indonesia) kembali memperoleh dua amanah baru sekaligus di tingkat internasional. Dalam Judicial Conference pertama bagi negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang digelar di Istanbul, Turki pada Sabtu (15/12), MK Indonesia dipilih menjadi salah satu dari lima negara lainnya sebagai Badan Pekerja (Working Committee). Badan ini bertugas untuk mempersiapkan format dan bentuk kerja sama masa depan bagi Mahkamah Konstitusi dan peradilan tertinggi sejenisnya di antara negara-negara OKI.
Selain itu, MK Indonesia juga didaulat menjadi tuan rumah penyelenggaraan Judicial Conference selanjutnya pada 2020 bagi negara-negara anggota dan pemantau OKI. Pada saat penyelenggaraan Konferensi nanti, format dan bentuk kerja sama yang bersifat permanen antara negara-negara OKI akan disepakati.
Kedua amanah tersebut memperpanjang sederet peran dan kiprah MK Indonesia dalam konteks hubungan internasional dengan negara-negara lainnya yang memiliki Mahkamah Konstitusi atau lembaga sejenisnya. Saat ini, MK Indonesia juga merupakan satu-satunya negara dari benua Asia yang terpilih untuk duduk sebagai Anggota Biro di Konferensi MK se-dunia atau lebih dikenal dengan World Conference of Constitutional Justice (WCCJ).
Jika ditelusuri lebih mendalam, sejarah perjalanan MK Indonesia memang tak bisa dilepaskan dari kiprahnya di tingkat internasional. Hanya berselang satu bulan pasca pembentukannya, MK Indonesia dengan dukungan dari Konrad Adenauer Stiftung (KAS) telah menggelar the First Conference of Asian Constitutional Court Judges di Jakarta pada September 2003.
Konferensi itulah yang kemudian menjadi embrio paling awal dari terbentuknya Asosiasi MK dan Institusi Sejenisnya se-Asia (Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions/AACC). Indonesia bersama Korea Selatan menjadi motor utama penggerak pembentukannya. Melalui “Jakarta Declaration” yang ditandatangani oleh 7 (tujuh) negara pendirinya, yaitu Indonesia, Korea, Malaysia, Mongolia, Filipina, Thailand, dan Uzbekistan, AACC resmi terbentuk pada Juli 2010.
Peran Indonesia dalam AACC semakin strategis setelah Board of Members Meeting AACC yang diadakan di Bali pada Agustus 2016 memutuskan dibentuknya Sekretariat Tetap Bersama AACC di Indonesia, Korea, dan Turki. Indonesia mengambil peran sebagai tuan rumah bagi Sekretariat Tetap untuk Perencanaan dan Koordinasi AACC.
Selanjutnya, upaya untuk menggelar Konferensi MK Asia-Afrika di Indonesia pun sudah digagas secara intensif. Lebih dari itu, Indonesia juga berencana untuk mengajukan diri menjadi tuan rumah Konferensi MK se-Dunia (WCCJ). Dengan demikian, MK Indonesia dapat dikatakan sedang “menari” di atas panggung dunia.
Evaluasi dan Refleksi
Dari sekian lama dan panjang keterlibatan aktif MK Indonesia dalam berbagai konferensi internasional dan organisasi MK kawasan, maka terdapat satu pertanyaan yang sangat mendasar. Apa sebenarnya manfaat yang diperoleh bagi MK Indonesia secara institusi dan negara Indonesia secara umum?
Nada-nada yang mempertanyakan manfaat riil dari adanya forum dan organisasi MK dan lembaga sejenisnya ini tidak hanya muncul satu atau dua kali saja. Namun, forum dan organisasi semacam itu juga telah menjadi sorotan dari para akademisi internasional. Misalnya, Prof. Maartje de Visser dari Singapore Management University School of Law memberikan kritik dan evaluasi terhadap keberadaan AACC.
Dalam artikelnya berjudul “We All Stand Together: The Role of the Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions in Promoting Constitutionalism” yang dimuat dalam Asian Journal of Law and Society (2016), Visser mengkritisi berbagai tema yang dipilih dalam Konferensi karena terlalu luas dan tidak sesuai dengan waktu penyelenggaraan yang relatif singkat.
Akibatnya, tidak cukup waktu bagi para hakim untuk bertukar pandangan terhadap hal-hal teknis dan isu hukum tertentu yang relevan. Visser juga khawatir jika pertemuan internasional tersebut tidak terencana dengan baik, maka akan sebatas menjadi ajang dan kesempatan untuk berkunjung ke luar negeri bagi negara-negara tertentu, baik karena adanya keterbatasan finansial atau sebagai pelepas penat dari tugas yudisial keseharian.
Menyelenggarakan dan mengikuti suatu konferensi internasional serta mengelola organisasi MK kawasan tentunya sangat memerlukan curahan energi, pikiran, dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karenanya, Hakim Mogoeng-Mogoeng selaku Presiden Asosiasi MK se-Afrika dan Ketua MK Afrika Selatan seringkali menyampaikan pandangan kritis terhadap hal tersebut.
Ia menegaskan dalam berbagai pertemuan yang dihadirinya agar setiap konferensi internasional dan kegiatan Asosiasi MK kawasan benar-benar harus mampu mendiskusikan secara substantif isu-isu keadilan konstitusional dengan hasil konkret. Lebih dari itu, hasilnya pun harus dapat dimanfaatkan bagi perbaikan dan perkembangan rule of law dan konstitusionalisme, baik di tingkat nasional maupun global.
Optimalisasi Manfaat
Menyadari pentingnya hubungan internasional dengan negara-negara lain, MK Indonesia telah membentuk satu unit kerja yang secara khusus membidani Sekretariat Tetap AACC dan kerja sama luar negeri. Agar pencapaian MK Indonesia dalam forum-forum internasional dapat lebih optimal memperoleh manfaat, maka seyogianya perlu dibuat grand design yang dapat mendukung pelaksanaan VISI dan MISI MK Indonesia.
Menurut Visser, setidaknya ada tiga alasan utama mengapa Mahkamah Konstitusi atau pengadilan tertinggi dari suatu negara terlibat dalam konferensi yudisial dan membentuk organisasi MK kawasan ataupun global, yaitu alasan pragmatis, ideologis, dan strategis.
Pertama, salah satu Misi MK Indonesia adalah meningkatkan kualitas putusan. Konsekuensinya, hilir dari segala program dan kegiatan MK Indonesia harus diarahkan untuk memperkuat dan meningkatkan kualitas putusannya. Oleh karenanya, secara pragmatis MK Indonesia dapat meningkatkan performa dan fungsinya dengan mengumpulkan informasi dan aset intelektual dari negara-negara lain guna membuat putusan yang lebih baik dan komprehensif.
Untuk itu, perlu dibangun sistem dan kerja sama antara unit kerja agar semua hasil konferensi internasional yang mengulas berbagai dinamika putusan dan struktur kelembagaan dari berbagai yuridiksi berbeda, dapat ditelaah lebih lanjut dan menjadi bahan referensi dalam penyelesaian perkara-perkara konstitusional di Indonesia dan penguatan kelembagaan.
Kedua, karakter utama dari kerja sama pengadilan di skala regional ataupun global adalah adanya solidaritas transnasional yang menitikberatkan bahwa mereka tidaklah sendirian dalam menghadapi tantangan yang sejenis, baik berupa tekanan politik ataupun kompleksitas perkara. Artinya, secara ideologis Indonesia akan memperoleh dukungan moral sekaligus tanggung jawab yang sama ketika harus memperjuangkan nilai-nilai universal, seperti pelaksanaan prinsip hukum, perlindungan hak asasi manusia, dan jaminan nilai-nilai demokratis.
Di sisi lain, sebagai negara dengan masyarakat yang sangat plural dari sisi agama, suku, bahasa, budaya, dan wilayah, Indonesia dapat memperkenalkan nilai-nilai partikularistiknya kepada masyarakat internasional. Dengan predikat sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar dan negara demokratis terbesar ketiga di dunia, Indonesia bahkan bisa berperan penting di tengah jejaring Mahkamah Konstitusi dan peradilan tinggi sejenisnya di antara negara-negara OKI.
Ketiga, beberapa Mahkamah Konstitusi di berbagai kawasan melalui kiprah dan reputasinya di forum-forum internasional telah turut memperkuat kedudukannya di mata publik dalam negeri. Misalnya, MK Jerman di Eropa, MK Afrika Selatan di Afrika, dan MK Kolombia di Amerika Latin. Ke depan, MK Indonesia secara strategis harus juga mampu memosisikan dirinya sebagai benchmark dan leading role bagi kawasan Asia dan Timur Tengah. Untuk itu, internasionalisasi seluruh informasi tentang MK Indonesia, khususnya berbagai putusan yang pernah dikeluarkannya, menjadi mutlak untuk dilakukan.
Namun untuk mencapai hal tersebut, membangun reputasi dan kepercayaan tinggi terhadap MK Indonesia di tingkat domestik, menjadi suatu keniscayaan yang harus terlebih dahulu dilakukan. Lebih jauh lagi, soliditas dan kesamaan persepsi dari internal MK juga mutlak diperlukan. Dengan demikian, sebagaimana pepatah mengatakan, MK Indonesia harus mengakar kuat untuk dapat menjulang tinggi. Sebaliknya, manakala akarnya tak kuat, maka tak akan pernah MK Indonesia bertahan lama dari sorot lampu dan gegap gempitanya panggung internasional.
* Pan Mohamad Faiz, Ph.D., Peneliti Mahkamah Konstitusi