MEMAKNAI SALUS POPULI SUPREMA LEX
(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 159, Mei 2020, hlm. 68-69 – Download)

Di tengah merebaknya pandemi virus corona, sering kali kita mendengar istilah Salus populi suprema lex. Ada juga yang menyebutnya Salus populi suprema lex esto atau Salus populi suprema est yang bermakna keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi. Adagium latin ini pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Romawi kuno Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dalam bukunya “De Legibus”. Kemudian, Thomas Hobbes (1588-1679) dalam karya klasiknya “Leviathan” dan Baruch Spinoza (1632-1677) dalam karyanya “Theological-Political Treatise” menyebutkan terminologi yang serupa. Selain itu, John Locke (1632-1704 M) juga menggunakan diktum tersebut dalam bukunya “Second Treatise on Government” dengan merujuknya sebagai salah satu prinsip fundamental bagi pemerintah.
Cicero pada saat itu membayangkan, di bawah ancaman situasi dan keadaan darurat maka keselamatan rakyat harus menjadi tujuan yang paling utama, termasuk jika harus menyampingkan aturan hukum. Prinsip ini lalu menjadi jangkar dalam pengambilan keputusan selama berabad-abad dalam teori pemerintahan, khususnya di benua Eropa. Menurut Benjamin Straumann dalam bukunya “Crisis and Constitutionalism: Roman Political Though from the Fall of the Republic to the Age of Revolution” (2016), prinsip Cicero tersebut banyak disalahartikan dengan menempatkan tujuan keselamatan rakyat tanpa mengandalkan hukum dan konstitusi, namun lebih bergantung pada karakter kebajikan dari mereka yang memiliki kekuasaan.
Pandangan inilah yang turut memunculkan konsep raison d’état atau “alasan negara”. Konsep tersebut berpedoman pada alasan politis murni bagi tindakan pemerintah yang mendasarkan pada kepentingan nasional, namun seringkali melanggar prinsip-prinsip keadilan. Inilah yang terjadi sejak masa Niccolò Machiavelli (1469-1527) hingga Carl Schmitt (1888-1985), di mana para ahli teori kedaulatan dan keadaan darurat dari Italia dan Jerman abad ke-20 memandang bahwa pada masa krisis atau darurat, instrumen yang menjadi penting bukanlah tatanan hukum dan konstitusi, tetapi keputusan pemimpin. Akibatnya, tak mengejutkan apabila beberapa negara Eropa mengalami sejarah pahit di bawah kepemimpinan diktator. Penyebabnya, mereka memberikan kekuasaan sangat besar kepada pemimpinnya dengan alasan untuk memudahkan tercapainya tujuan negara.
Pemerintahan Konstitusional
Untuk mencegah terjadinya kediktatoran dan penyalahgunaan kekuasaan maka dikembangkan prinsip-prinsip konstitusionalisme dalam bernegara. Konstitusionalisme ini merupakan filosofi politik yang didasarkan pada gagasan bahwa kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat dan harus dibatasi oleh konstitusi. Konstitusionalisme (constitutionalism) ini kadang kala digunakan secara bergantian dengan istilah pemerintahan konstitusional (constitutional government).
Dalam sejarah konstitusionalisme modern, Magna Charta menjadi salah satu rujukan awalnya. Kala itu, King John of England (1215) dipaksa oleh para bangsawan (wealthy noble) untuk menandatangani perjanjian yang memuat berbagai pembatasan terhadap kekuasaan Raja. Praktik ini kemudian menjadi akar dari perkembangan konstitusionalisme di berbagai negara dan kawasan dunia, termasuk di Amerika Utara dan Asia.
Terhadap kekuasaan pemerintah, Leonard R. Sorenson (1989) membuat premis bahwa ancaman paling mendasar bagi rakyat adalah pemerintah dengan kekuasaan yang terlalu kuat. Sebaliknya, perlindungan rakyat yang paling mendasar adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya (limited government). Pembatasan ini biasanya dituangkan di dalam konstitusi. Namun, menarik untuk merefleksikan pandangan yang disampaikan oleh Suri Ratnapala (2012). Menurutnya, setiap negara di dunia mengklaim memiliki konstitusi, tetapi hanya sebagian saja yang memiliki pemerintahan konstitusional. Mengapa? Sebab, pembatasan kekuasaan sejatinya tidak sekadar tertulis di atas kertas, namun harus tersedia mekanisme yang jelas untuk menegakan ketentuan konstitusinya.
Pemerintahan konstitusional ini memiliki beberapa elemen dasar. Di antara para cendekiawan dunia, seperti Giovanni Sartori (1987), Louis Henkin (1993), Charles Fombad (2005), Hilaire Barnett (2006), dan Scott Guy (2010), masing-masing memiliki perspektif yang berbeda. Namun di antara mereka terdapat sebagian persamaan mengenai elemen dasar dari pemerintahan konstitusional, yaitu: (1) prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers); (2) prinsip negara hukum (rule of law); (3) prinsip demokrasi perwakilan (representative democracy); dan (4) prinsip perlindungan hak dan kebebasan dasar (protection of fundamental rights and freedoms).
Dalam konteks keselamatan rakyat maka keempat elemen tersebut saling berkaitan dan menunjang satu sama lainnya, terutama adanya jaminan perlindungan hak dan kebebasan dasar. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, mengatur hak dan kebebasan dasar tersebut dalam bingkai keselamatan rakyat?
Konstitusi Indonesia
Pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 disebutkan secara jelas dan tegas bahwa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia merupakan salah satu tujuan utama dari pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia. Dengan demikian, adagium Salus populi suprema lex langsung menemukanlandasannya dalam sumber hukum tertinggi di Indonesia (the supreme law of the land), yaitu Undang-Undang Dasar. Membahas mengenai keselamatan rakyat di masa pandemi virus corona, maka perhatian kita akan langsung tertuju pada keselamatan nyawa dan kesehatan warga negara. Bertalian erat dengan kedua hal tersebut, Konstitusi Indonesia telah memberikan jaminan konstitusional terhadap hak hidup (right to life) dan hak atas kesehatan (right to health).
Pasal 28A UUD 1945 menjamin, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya“. Begitu pula dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Secara spesifik terkait kesehatan, Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 memberikan mandat konstitusional kepada negara dengan menyatakan, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak“. Hak-hak konstitusional tersebut harus dimajukan (promoted), dilindungi (protected), dan dipenuhi (fufilled) sebagai kewajiban konstitusional (constitutional obligation) negara, terutama pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap keselamatan rakyat maka pemerintah memiliki dua jenis tugas secara bersamaan, yaitu tugas negatif (negative duties) dan tugas positif (positive duties).Tugas negatif dimaksudkan bahwapemerintah dan pejabat publik tidak boleh secara sewenang-wenang atau sengaja merenggut nyawa seseorang. Sedangkan, tugas positif harus dimaknai bahwa pemerintah wajib memperhatikan dan melindungi hak hidup rakyatnya dalam setiap tindakan dan pengambilan keputusan. Artinya, setiap keputusan dan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah dalam penanganan pandemi virus corona harus menempatkan keselamatan hidup rakyatnya sebagai prioritas dan tujuan utama. Meskipun terdapat faktor-faktor penting lainnya yang juga perlu diselamatkan, misalnya perekonomian negara, namun muara dari semua kebijakan tersebut harus diarahkan seoptimal mungkin untuk mencegah jatuhnya korban jiwa atau bertambah banyaknya jumlah pasien yang terjangkit.
Begitu pula dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Dengan menggunakan pendekatan keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls dalam bukunya “A Theory of Justice” (1971), keputusan yang diambil haruslah diutamakan sedemikian rupa untuk memberikan manfaat terbesar bagi kalangan yang paling tidak beruntung (to the greatest benefit of the least advantaged).
Hal yang paling penting, semua pengambilan keputusan dan kebijakan tersebut tidak boleh keluar dari koridor konstitusi. Di sinilah prinsip-prinsip konstitusionalisme Indonesia akan diuji implementasinya. Apabila keputusan dan kebijakan diambil dengan mengatasnamakan keselamatan rakyat, namun ternyata keluar dari aras konstitusi, apalagi justru membahayakan kehidupan rakyat, maka sudah pasti hal tersebut menyimpang dari tujuan bernegara. Jika ini yang terjadi, quo vadis Salus populi suprema lex?
* Pan Mohamad Faiz, Ph.D. Peneliti Senior di Mahkamah Konstitusi
MAKA DAPAT DISIMPULKAN BAHWA ADIGIUM SPT TSB TETAP HARUS DALAM KORIDOR KONSTITUSI YG SYAH DAN BERLAKU , BUKAN MALAH UNTUK MENABRAK KONSTITUSI DENGAN BERDALIH SPT ADIGIUM TSB….! LALU APA KONSEKWENSINYA APABILA TERNYATA KONSTITUSI TELAH DILANGGAR DAN BERULANG2 OLEH NEGARA , SEDANGKAN PERWAKILAN RAKYAT KURANG BERBUAT SESUATU , MAKA RAKYAT NYA HARUS BAGAIMANA , DAN SI PELANGGAR NYA HRS DI BAGAIMANAKAN….? TRMKSH..! Sedikit tambahan , bila ada seorang pejabat membuat statment ke publik , bahwa dg beradigium spt tsb boleh konstitusi dilanggar , apakah ucapan nya tsb msk ranah pidana …? Trmks..semoga ilmu nya bermanfaat bagi semua orang …,,!