Pengadilan dan Pandemi Corona

PENGADILAN DAN PANDEMI CORONA

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 157, Maret 2020, hlm. 74-75 – Download)

Penyebaran virus corona (COVID-19) yang terjadi sejak awal 2020 telah menimbulkan kekhawatiran secara global. World Health Organization (WHO) bahkan menetapkan virus corona ini sebagai pandemi yang didefinisikan sebagai “the worldwide spread of a new disease“. Hingga tulisan ini dibuat, setidaknya telah terdapat 558.458 orang yang positif terpapar virus corona dengan jumlah kematian sebanyak 25.262 orang yang berasal dari 199 negara di seluruh dunia.

Permasalahannya, belum ditemukan vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah penularan virus tersebut. Sedangkan, obat yang dapat menyembuhkan pasien yang telah terinfeksi virus corona juga masih berada dalam tahap penelitian dan uji coba klinis. Karenanya, himbauan untuk menjaga higenitas personal dan physical distancing selalu disampaikan secara terus-menerus, baik oleh pemerintah maupun para pakar kesehatan.

Saking berbahaya dan mudahnya transmisi penularan virus ini dari satu orang ke orang lain, berbagai negara terpaksa menerapkan kebijakan yang sangat ketat guna menekan laju penyebaran virus corona di wilayahnya masing-masing. Hal tersebut dilakukan mulai dari kebijakan work from home (WFH), penutupan akses masuk ke negaranya, karantina penumpang asing, deklarasi keadaan darurat, hingga sistem lockdown atau karantina wilayah, baik untuk kota, kawasan, maupun satu negara.

Penyebaran virus corona ini dapat dikatakan telah melumpuhkan berbagai sektor kehidupan sehari-hari, tidak terkecuali di sektor hukum dan peradilan. Artikel ini akan membahas bagaimana pengadilan di berbagai negara menggelar proses persidangannya, termasuk di Indonesia, di tengah terjadinya pandemi corona.

Penundaan Persidangan

Gelombang virus corona turut mendisrupsi sistem peradilan di Amerika Serikat. Hampir seluruh pengadilan negara bagian dan negara federal memutuskan untuk menunda proses persidangan. Mahkamah Agung Amerika Serikat bahkan untuk kali pertamanya juga menunda pemeriksaan persidangan dalam bentuk oral argument sejak merebaknya pandemi Flu Spanyol yang terjadi pada Oktober 1918 silam. Akibatnya, persidangan di Amerika Serikat untuk sementara waktu hanya digelar terhadap perkara-perkara yang implikasinya sangat tergantung dari kecepatan peradilan dalam mengeluarkan putusan.

Langkah yang tidak jauh berbeda juga diambil oleh Mahkamah Agung India. Untuk menyeimbangkan antara masalah kesehatan masyarakat dengan akses keadilan, Mahkamah Agung India hanya akan memeriksa perkara yang digolongkan sebagai “urgent matters“. Akan tetapi, belum ada instruksi dan pedoman yang jelas bagi pengadilan di India untuk menentukan apa saja yang termasuk ke dalam perkara penting tersebut. Karena itu, terjadi inkonsistensi di antara pengadilan tinggi dalam menerapkan mekanisme yang berbeda-beda selama menghadapi pandemi ini.

Sementara itu, Pengadilan Hong Kong merupakan salah satu pengadilan di dunia yang paling awal mengeluarkan kebijakan untuk menunda persidangan. Pada 28 Januari 2020, Pengadilan Hong Kong langsung memutuskan untuk menunda seluruh proses persidangan hingga 2 Februari 2020. Akan tetapi, dengan melihat perkembangan penyebaran COVID-19 yang masih serius di sebagian dataran Tiongkok, Pengadilan Hong Kong akhirnya memperpanjang penundaan tersebut beberapa kali hingga 23 Maret 2020. 

Pengadilan Hong Kong untuk sementara ini hanya akan memeriksa perkara yang dikategorikan sebagai “urgent and essential hearings and matters“. Namun berbeda dengan di India, Pengadilan Hong Kong telah menetapkan secara rinci apa saja daftar perkara yang memenuhi kriteria “urgent and essential” tersebut. Sehingga, hal tersebut dapat dijadikan pedoman bagi para hakimnya untuk menentukan perkara mana yang harus diprioritaskan pemeriksaannya.

Mahkamah Agung Singapura

Untuk mengurangi transmisi lokal COVID-19, berbagai pengadilan telah mengambil langkah dan kebijakan strategis dalam menggelar proses persidangan jarak jauh dengan bantuan teknologi. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga kesehatan dan keamanan bersama, tidak saja bagi para hakim dan staf pengadilan, namun juga bagi para advokat dan pengguna layanan peradilan lainnya.

Salah satu pengadilan dunia yang dapat dijadikan rujukan dalam menghadapi pandemi corona ini, yaitu Mahkamah Agung Singapura. Dalam waktu singkat, Mahkamah Agung Singapura langsung mengeluarkan kebijakan, baik internal maupun eksternal, mengenai keberlanjutan proses persidangan tanpa dilakukan penundaan. Kebijakan awal ini masuk di dalam dokumen The Singapore Judiciary’s response to COVID-19. Kebijakan tersebut kemudian disusul dengan pembuatan produk hukum berupa Registrar’s Circular No. 3 of 2020 mengenai Information on Measures and Other Matters Relating to COVID-19 (Coronavirus Disease 2019) for Court Users and Visitors to the Supreme Court yang diterbitkan pada 27 Maret 2020.

Registrar’s Circular ini salah satunya berisi rincian jenis-jenis persidangan yang dapat dilakukan melalui video conferencing atau telephone conferencing, baik untuk Court of Appeal, High Court Judge, Singapore International Commercial Court, maupun untuk berkomunikasi dengan Registrar, Duty Registrar, dan Duty Judge. Selain itu, Mahkamah Agung Singapura juga langsung menyusun secara khusus Pedoman tentang Penggunaan Video Conferencing dan Telephone Conferencing yang diperuntukan bagi para pihak yang akan atau sedang berperkara.

Menariknya, Mahkamah Agung Singapura memilih untuk menggunakan aplikasi Zoom meeting untuk menggelar video conferencing. Di dalam pedoman tersebut dijelaskan secara teknis dan rinci, mulai dari bagaimana mengunduh dan menggunakan aplikasi Zoom, merekam jalannya persidangan, jenis pakaian dan etika dalam bersidang saat menggunakan video conference, hingga User ID yang harus digunakan pada tiap-tiap ruang persidangan yang berbeda.

Pemanfaatan ICT

Di tengah situasi pandemi seperti ini, pemanfaatan Information and Communication Technology (ICT) memang sangat krusial. Terlebih lagi, persidangan yang mensyaratkan adanya safe distancing measures amat perlu dilakukan.  Karenanya, lembaga peradilan harus mempertimbangkan penggunaan ICT dengan memperluas lingkup pemeriksaan persidangan dengan mendengarkan keterangan melalui fitur telepon, baik dengan video conference maupun teknologi lainnya yang juga menggunakan suara dan/atau visual.

Sejauh ini, Mahkamah Agung RI memang telah mengeluarkan kebijakan untuk membuka opsi persidangan menggunakan e-Litigasi, khususnya dalam perkara pidana, yang dilakukan secara jarak jauh atau teleconference. Namun, pelaksanaan lebih lanjutnya diserahkan kepada Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tinggi. Hal ini tentunya dapat menimbulkan kesulitan dalam praktik di lapangan. Sebab, kesiapan antara satu pengadilan dengan pengadilan lainnya masih sangat berbeda-beda.

Dalam kondisi dan kesempatan seperti ini, Mahkamah Konstitusi RI seyogianya harus lebih siap dan lebih percaya diri untuk menerapkan video conferencing sebagai bagian dari penerapan e-Court yang telah digadang-gadang sejak 2007. Telah dibangunnya aplikasi permohonan online, banyaknya pengalaman dalam penggunaan video conference dalam proses persidangan, adanya sistem perekaman dan risalah persidangan yang memadai, hingga ketersediaan perangkat teknologi modern lainnya, merupakan beberapa keunggulan yang dapat menjadikan MK tidak terlalu kesulitan dalam menerapkan e-Court secara integratif.

Apalagi, seluruh perangkat Mahkamah Konstitusi hanya berada di dalam satu gedung yang sama. Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi Bavaria di Jerman seringkali dijadikan referensi mengenai bagaimana mereka mampu menggelar proses persidangan secara virtual dan sederhana dengan menghadirkan para hakim dan para pihak yang berperkara di tempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan.

Namun demikian, pemanfaatan ICT perlu dipertimbangkan tidak saja bisa fisibel secara logistik, tetapi juga sah secara hukum didasarkan pada prosedur dan peraturan di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, keamanan dari penggunaan ICT juga harus dijaga sebaik mungkin. Dengan demikian, maksud dan tujuan untuk menggelar persidangan secara efektif dan efisien akan dapat tercapai sesuai harapan dari para pencari keadilan.

* Pan Mohamad Faiz, Ph.D. Peneliti Senior di Mahkamah Konstitusi RI

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s