Mahkamah (tidak) Keramat

MAHKAMAH (TIDAK) KERAMAT

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 182, April 2022, hlm. 62-63 – Download)

Artikel yang ditulis jurnalis Kompas pada 10 April 2022 dengan tajuk “MK yang Tak ‘Keramat’ Lagi” sangat menarik untuk diulas. Pertanyaan yang pertama kali muncul di benak kita, mengapa Mahkamah Konstitusi (MK) disematkan sifat keramat. Apakah kesan keramat ini dikarenakan bentuk arsitektur gedung MK yang unik dengan sembilan pilar besarnya dan berbagai ruang persidangannya yang “bernyawa”?

Secara etimologi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan kata “keramat” menjadi dua. Pertama, “keramat” diartikan sebagai suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan (tentang orang yang bertakwa). Kedua, “keramat” juga bisa diartikan sebagai suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada pihak lain (tentang barang atau tempat suci).

Tentu penggunaan istilah “keramat” dalam artikel tersebut hanyalah sebagai konotasi atau kiasan saja. Sang jurnalis bermaksud untuk menggambarkan bahwa saat ini MK bukan lagi tempat “sakral” yang hanya bisa didatangi oleh para elite atau advokat ternama yang kerap hilir-mudik untuk beracara serta bersilat lidah dalam proses persidangan di MK.

Kesakralan tersebut dinilai berkurang karena persidangan di MK tidak lagi didominasi oleh kelompok profesi tertentu saja. Namun, belakangan ini para warga negara biasa, seperti guru honorer, sopir angkot, pedagang pecel lele, turut menjadikan ruang persidangan di MK sebagai arena untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya yang dianggap dirugikan.

Kejelasan Permohonan

Semakin marak dan bervariasinya kelompok masyarakat umum yang menguji undang-undang ke MK bisa dimaknai semakin baiknya tingkat kesadaran konstitusi masyarakat dewasa ini. Terlebih lagi, tidak sedikit para Pemohon yang menguji undang-undang tanpa didampingi oleh kuasa hukum. Praktik seperti ini sebenarnya sudah lama berlangsung.

Tiga belas tahun silam, misalnya, seorang wali murid bernama Fathul Hadie Utsman tanpa diwakili kuasa hukum dalam pengujian UU di MK justru menjadi motor penggerak yang mempermasalahkan ketidakpatuhan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD. Pada akhirnya, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) beramai-ramai menguji UU APBN ke MK pada tahun-tahun setelahnya.

Contoh lain yang terjadi dua belas tahun lalu, Marten Boiliu, seorang petugas keamanan, menguji UU Ketenagakerjaan yang mengatur ketentuan kedaluwarsa pembayaran upah buruh setelah melampaui jangka waktu dua tahun. Menurutnya, ketentuan ini tidak adil dan bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945. Penyebabnya, Marten dan karyawan lain yang diberhentikan dari perusahaannya menjadi tidak diberikan uang pesangon hanya karena tuntutan kompensasi diajukan setelah tiga tahun pasca di-PHK.

Tanpa didampingi kuasa hukum, Marten berhasil meyakinkan Majelis Hakim sehingga ketentuan kedaluwarsa tersebut dibatalkan. Akibatnya, Marten dan seluruh buruh serta karyawan di mana pun bekerja, kini tak lagi diikat dengan ketentuan yang dinilai tidak memberikan rasa keadilan tersebut.

Namun demikian, tidak sedikit permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh masyarakat umum tanpa diwakili kuasa hukum yang kandas tidak diterima oleh MK karena secara persyaratan formilnya pun tidak terpenuhi. Misalnya, banyak pemohon pengujian UU yang awam hukum dan belum pernah beracara di MK ternyata tidak memahami perbedaan antara kedudukan hukum dan posita yang menjadi bagian wajib dalam permohonan. Bahkan, ada juga permohonan yang di dalam petitumnya justru menuntut agar Pemohon diberikan gaji dan fasilitas setingkat Menteri. Alasannya, keahliannya dalam permohonannya tersebut dianggap akan dapat membantu Pemerintah memperbaiki substansi dari undang-undang.

Ketidakjelasan sebagian permohonan pengujian undang-undang ini sempat mengundang tanya dan kritik dari anggota DPR yang sering hadir dalam persidangan di MK. Menurutnya, undang-undang yang dibuat dengan penuh keseriusan seakan-akan dianggap sebagai aturan yang bisa dengan mudah diuji oleh siapa pun yang belum tentu berkompeten.

Untuk sebagian pemohon, menguji undang-undang juga kerap dijadikan ajang coba-coba atau sekadar melatih praktik hukum sebelum benar-benar menggeluti profesi sebagai seorang advokat. Akibatnya, kualitas dan marwah persidangan di MK dinilai berkurang karena Majelis Hakim menyidangkan permohonan yang sejak awal telah diketahui tidak memiliki kejelasan.

Permasalahannya, MK juga tunduk pada asas ius curia novit, di mana hakim dianggap mengetahui semua hukum. Sehingga, pengadilan tidak bisa menolak permohonan agar diperiksa, diadili, dan diputus. Bisa jadi secara sistematika permohonan tidak sesuai dengan pedoman yang telah diatur di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi, namun secara substansi terdapat persoalan konstitusionalitas yang serius dan perlu didalami.

Pro Bono Kuasa Hukum

Kebijakan MK untuk tidak mewajibkan pemohon agar didampingi kuasa hukum sudah diterapkan sejak pertama kali pendiriannya. Jimly Asshiddiqie, Ketua MK saat itu, memberikan pertimbangan ketidakwajiban ini dengan alasan MK sebagai lembaga pengawal konstitusi harus terbuka bagi setiap lapisan masyarakat yang akan memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Selain itu, tidak semua warga negara memiliki akses dan kemampuan untuk menghubungi atau meminta pendampingan dari kuasa hukum, khususnya secara finansial.

Jika menggunakan perspektif studi perbandingan, sebenarnya tidak semua MK di negara-negara lain memberikan kedudukan hukum bagi perseorangan warga negara untuk menguji undang-undang di negaranya. Pengujian undang-undang tersebut harus diajukan melalui lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk itu. Perbedaannya, pengajuan permohonan atas nama perseorangan baru dimungkinkan manakala terkait dengan perkara pengaduan konstitusional (constitutional complaint), suatu kewenangan penting yang tidak dimiliki oleh MK Indonesia.

Di satu sisi, MK yang tidak lagi keramat dapat dimaknai sebagai suatu yang positif karena masyarakat dari berbagai latar belakang dan profesi bisa memperjuangkan haknya dalam bingkai konstitusi. Namun di sisi lain, banyaknya permohonan yang dianggap tidak memadai secara formil ataupun hanya memiliki isu sederhana non-konstitusional turut menjadikan kualitas persidangan dan bobot perdebatan di MK menjadi menurun.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sekaligus guna menjaga marwah dan kualitas persidangan di MK, ada baiknya di masa mendatang mulai diwacanakan untuk mengharuskan adanya pendampingan kuasa hukum bagi pemohon. Hal ini setidaknya dapat meminimalisir permohonan yang dibuat semaunya pemohon di luar pedoman yang telah digariskan. Agar para calon pemohon juga tidak terbebani dengan permasalahan finansial maka MK dapat memberikan daftar lembaga bantuan hukum atau advokat yang telah bersedia memberikan pendampingan beracara di MK secara cuma-cuma (pro bono). Dalam konteks ini, sebagian organisasi advokat telah menganjurkan agar advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma setidaknya 50 (lima puluh) jam kerja setiap tahunnya. Persidangan di MK tentunya bisa juga menjadi ladang “pengabdian” bagi para advokat.

Namun, agar tidak dinilai memiliki konflik kepentingan, tentunya harus tegas dan jelas diatur bahwa MK tidak sama sekali merekomendasikan lembaga bantuan hukum atau advokat tertentu, melainkan sekadar memberikan daftarnya saja yang bebas dipilih oleh para calon pemohon. Untuk selanjutnya, para calon pemohon tersebut bisa menghubungi sekaligus berkonsultasi secara langsung, mulai dari penyusunan permohonan, tata beracara persidangan, hingga persoalan substansi permohonannya. Dengan cara seperti ini, para staf MK di bagian permohonan perkara pun tidak perlu dihujani dengan berbagai pertanyaan substantif dari para calon pemohon akibat ketidakpahamannya sendiri terhadap isu konstitusional yang akan diajukan.

Dengan cara demikian, MK tetap dapat mempertahankan sifat kelembagaannya yang inklusif, tidak “keramat”, dan terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat yang hendak mengajukan permohonan. Namun, permohonan tersebut juga tetap dapat dijaga keterpenuhan fomil dan kejelasan materi permohonannya. Sehingga, MK pun akan dapat memeriksa perkara-perkara tersebut secara lebih efektif dan efisien. (*)

* Pan Mohamad Faiz, Peneliti Senior di Mahkamah Konstitusi

3 thoughts on “Mahkamah (tidak) Keramat

  1. salam pak, bagaimana pandangan konstitusi bapak terkait presiden yang mengeluarkan perppu cipta kerja ? terlepas dari kegentingan yang memaksa.

    terima kasih, pak

Leave a comment