PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PASAL-PASAL KONSTITUSI EKONOMI
* Dimuat dalam Kolom Khazanah, KONSTITUSI No. 94, Edisi Desember 2014 (Hal 62-67)
Salah satu Pasal yang sangat penting di dalam UUD 1945 adalah Pasal 33 yang memuat ketentuan mengenai perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. Pasal ini menjadi landasan konstitusi yang utama terkait bagaimana perekonomian Indonesia seharusnya diatur dan dikelola serta sejauhmana negara berperan dalam menguasai cabang-cabang produksi yang penting dan kekayaan alamnya. Penafsiran kata “menguasai” dalam Pasal ini memang sangat krusial dalam hal pembentukan kebijakan ekonomi pemerintah sehingga selalu menjadi materi perdebatan yang signifikan sejak masa kemerdekaan. Apakah kata “menguasai” tersebut berarti negara harus mengelola dan menangani secara langsung atau cukup sebatas membuat peraturannya saja?
Ruang perdebatan terhadap Pasal 33 UUD 1945 kembali menghangat pasca didirikannya Mahkamah Konstitusi (MK). Berbagai undang-undang yang terkait erat dengan perekonomian nasional diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji konstitusionalitasnya. Bagaimana MK menafsirkan Pasal 33 dalam konteks sistem perekonomian Indonesia saat ini yang mulai mengurangi monopoli penguasaan dari Pemerintah dan menambah investasi privat di berbagai sektor penting? Simon Butt dan Tim Linsdey, pakar hukum Indonesia dari Australia, mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan analisa beberapa Putusan MK dalam tulisannya yang berjudul “Economic Reform When The Constitution Matters: Indonesia’s Constitutional Court and Article 33” yang dimuat dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies (2008). Dalam tulisannya, Simon dan Tim juga menganalisa masalah yang timbul dari adanya intervensi pengadilan (judicial intervention) di dalam penyusunan kebijakan ekonomi. Selain itu, dipaparkan juga strategi Pemerintah dalam menyiasati pelaksanaan Putusan-Putusan MK di ranah ekonomi. Artikel ini akan menguraikan analisa dari Simon dan Tim terkait penafsiran MK terhadap Pasal-Pasal Konstitusi Ekonomi.
Konstitusi Ekonomi
Simon dan Tim memulai analisanya dengan menjelaskan originalitas Pasal 33 UUD 1945. Menurutnya, penyusunan Pasal ini terinspirasi oleh perpaduan dari berbagai macam pemikiran, mulai dari sosialis, nasionalis, dan juga cita-cita anti-kolonialisasi yang sangat berpengaruh pada masa menjelang kemerdekaan 1945. Meskipun menjadi sumber tetap yang sering menimbulkan kontroversi politik, namun Pasal 33 dapat bertahan dari beberapa kali perubahan ketatanegaraan, mulai masa orde lama Soekarno, menuju masa orde baru Soeharto, hingga masa reformasi dalam proses amandemen UUD 1945. Simon dan Tim mencatat bahwa salah satu kontroversi yang cukup besar terjadi pada masa krisis ekonomi 1997, di mana diskursus mengenai ekonomi kerakyatan (people’s economy) yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 harus berhadap-hadapan dengan kebijakan yang dinilai lebih menguntungkan organisasi donor internasional, seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank.
Dalam konteks tersebut, Pemerintah secara bertahap mulai mengurangi keterlibatannya di dalam sektor-sektor ekonomi yang penting dan berupaya mendukung investasi dari sektor privat di bidang infrastruktur. Hal ini kemudian mendapat penolakan luas dari publik dan menumbuhkan ketidakpercayaan dari para pelaku usaha ataupun LSM yang melihat proses reformasi tidak memberikan perbaikan kesejahteraan bagi masyarakat biasa. Keluhan-keluhan dan penolakan tersebut akhirnya diwujudkan dengan pengajuan permohonan perkara di hadapan MK. Konsekuensinya, persidangan di MK menjadi forum terbuka yang menghidupkan kembali perdebatan ideologi terkait dengan hubungan antara kebijakan ekonomi dan pengaturan negara serta subyek hukum di Indonesia. Menurut Simon dan Tim, dilema yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan di Indonesia terkait hal ini yaitu ketika klausul “dikuasai negara” dalam Pasal 33 yang diambil dari terminologi sosialis dianggap sakral, harus berhadapan dengan norma-norma global terkait deregulasi pasar bebas (free-market) dan privatisasi (privatisation).
Dengan kata lain, perkara-perkara yang ditangani MK merupakan kontestasi antara negara dan pendekatan pasar, serta antara ekonomi global dengan diskursus politik lokal. Perdebatan yang terjadi di MK ini dinilai oleh Simon dan Tim berpotensi membawa implikasi besar terhadap politik dan ekonomi Indonesia. Mereka berpendapat bahwa MK mencoba “menggagalkan” upaya-upaya Pemerintah untuk menyediakan cakupan yang lebih luas bagi sektor privat untuk terlibat di dalam cabang-cabang produksi dan kekayaan alam dengan merujuk pada Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:
BAB XIV
PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 33
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
- Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
- Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Pasal di atas merupakan kunci dari ketentuan-ketentuan konstitusional yang berkaitan dengan ekonomi Indonesia yang sering didefinisikan sebagai ekonomi berasaskan kekeluargaan (the family principle of economy) atau ekonomi kerakyatan (the people’s economy). Dalam analisanya, Simon dan Tim kemudian membedah empat Putusan MK dalam tiga tahun pertama sejak berdirinya MK yang terkait dengan pasal-pasal Ekonomi Konstitusi. Dalam perkara-perkara tersebut, para Pemohon mengajukan penolakan terhadap upaya Pemerintah dalam melakukan privatisasi terhadap cabang-cabang produksi atau penggunaan sumber daya alam, dan upaya Pemerintah dalam memberikan peran yang lebih aktif kepada sektor usaha privat yang dinilai oleh para Pemohon bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Pertama, dalam perkara Minyak dan Gas Bumi (Putusan Nomor 002/PUU-I/2003), MK membuat sedikit perubahan terhadap UU agar sejalan dengan persyaratan yang dimuat dalam Pasal 33 UUD 1945. Kedua, dalam pekara UU Kehutanan (Putusan Nomor 003/PUU-III/2005), kelompok Pemohon tidak berhasil meyakinkan MK untuk membatalkan UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ketiga, dalam perkara Sumber Daya Air (Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan Nomor 008/PUU-III/2005), sekitar 3.000 individual dan berbagai LSM mengajukan permohonan kepada MK untuk menguji konstitusionalitas UU Sumber Daya Air. Mayoritas Hakim MK mempertahankan konstitusionalitas UU tersebut, karena MK meyakini bahwa negara akan tetap dapat menguasai sektor penting sumber daya air. Keempat, dalam perkara Ketenagalistrikan (Putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003), tiga pemohon mengajukan permohonan ke MK untuk menguji konstitusionalitas UU Ketenagalistrikan.
Putusan dalam Ketenegalistrikan inilah yang kemudian dianalisa lebih spesifik oleh Simon dan Tim untuk menjawab berbagai pertanyaan penting terhadap kebijakan ekonomi yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945. Misalnya, apa maksud dari “dikuasai negara”? Sejauh mana sektor privat dapat terlibat di dalam sektor-sektor penting negara? Apakah kewajiban negara terhadap “cabang-cabang produksi” sama halnya dengan kewajiban negara terhadap “kekayaan alam”? Bagaimana “cabang-cabang produksi yang penting” didefinisikan? Apa maksud dari “usaha bersama” (common endeavor)? Apa itu “keadilan sosial” (social justice)? Apakah Pasal 33 memperkenankan MK untuk menilai kebijakan Pemerintah? Berbagai pertanyaan ini muncul karena kata-kata kunci di dalam Pasal 33 tidak begitu jelas maknanya. Pertanyaan tersebut juga hadir karena terminologi yang digunakan dalam Pasal 33 tidak pernah memiliki penafsiran definitif atau mengikat, setidaknya sampai dengan adanya perkara judicial review pada 2003. Oleh karenanya, sejak saat itu, baik pembuat kebijakan ataupun MK, kerap menemukan berbagai pertanyaan hukum yang cukup kompleks.
Penafsiran Konstitusi
Penolakan terhadap UU Ketenagalistrikan oleh para Pemohon didasari oleh adanya ketentuan yang membuka peluang untuk melakukan privatisasi dan komersialisasi beberapa elemen penting. Menurut para Pemohon, keberadaan UU Ketenagalistrikan telah menyebabkan perubahan kebijakan dari yang sebelumnya monopoli oleh negara menjadi bersifat kompetisi. Lebih lanjut, adanya usaha penyediaan tenaga listrik yang terpisah-pisah (unbundling), seperti pembangkitan, transmisi, distribusi, penjualan, dan pengelolaan, di mana masing-masing berpotensi diserahkan kepada pihak privat, dapat menghilangkan makna “dikuasai negara”. Alasan lainnya, kompetisi bebas (free competition) dapat menyebabkan krisis listrik di Indonesia yang telah terjadi di luar pulau Jawa.
Merespons penolakan tersebut, Pemerintah memberikan beberapa argumentasi balik. Pertama, pembuatan UU Ketenagalistrikan dilatarbelakangi atas kesulitan Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan listrik bagi warga negaranya; Kedua, kompetisi akan membuat penyediaan listrik menjadi transparan dan efisien serta menjamin tersedianya kebutuhan listrik di seluruh Indonesia; Ketiga, Pemerintah hanya fokus pada regulasi dibandingkan pelaksanaan jenis usaha, sebab fungsi pemerintah adalah untuk memerintah (to govern) sehingga penguasaan akan tetap pada negara; Keempat, Pemerintah tetap memperbolehkan adanya monopoli di berbagai wilayah di mana kompetisi tidak dapat memastikan ketersediaan listrik yang mencukupi; Kelima, Pemerintah akan tetap memiliki penguasaan terhadap jenis usaha distribusi dan transmisi, sedangkan sektor privat dapat terlibat di dalam jenis usaha pembangkitan dan penjualan listrik.
Dalam Putusan UU Ketenagalistrikan, fokus pembahasan MK terletak pada konteks kewajiban negara untuk “menguasai” cabang-cabang produksi berdasarkan Pasal 33. MK menilai bahwa ketentuan di dalam UU Ketenagalistrikan yang memperkenalkan kompetisi dan usaha penyediaan tenaga listrik yang terpisah-pisah (unbundling) di dalam sektor ketenagalistrikan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Sebab, dalam kenyataannya negara telah melepaskan makna “dikuasai” sebagaimana dimaksud dalam Pasal tersebut. Dikarenakan ketentuan mengenai kompetisi dan unbundling merupakan jantung dari UU Ketenagalistrikan maka MK memutuskan untuk mencabut seluruh UU tersebut sehingga tidak lagi mempunyai daya mengikat.
Beberapa pertimbangan hukum yang diambil MK, di antaranya, yaitu: Pertama, upaya untuk peningkatan transparansi dan pengurangan korupsi melalui mekanisme kompetisi tidak dapat mengenyampingkan pentingnya negara untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan Pasal 33; Kedua, dengan melakukan perbandingan negara-negara lain, MK meragukan bahwa privatisasi akan meningkatkan kapasitas, kualitas, dan harga. MK berpendapat bahwa Pemerintah dapat meningkatkan sektor-sektor penting dengan menarik modal sektor privat tanpa harus melakukan privatisasi; Ketiga, MK menilai bahwa kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat belum tentu dapat terpenuhi dengan memperbolehkan kompetisi, sebab sektor privat akan memberikan prioritas terhadap keuntungan yang diperolehnya dan berkonsentrasi pada pasar yang sudah mapan, khususnya di Jawa, Madura, dan Bali.
Terhadap makna “dikuasai oleh negara”, MK menafsirkan bahwa penguasaan tersebut harus lebih tinggi dan lebih luas dari sekedar pemilikan dalam arti perdata (privat), sehingga harus dimaknai sebagai kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Selain itu, “dikuasai oleh negara” tidak dapat dimaknai hanya sebagai hak negara untuk mengatur. Sebab, hak untuk mengatur sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara di dalam paham ekonomi manapun. Dengan demikian, kata “dikuasai oleh negara” menurut MK harus diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan alam, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Konstruksi yang dibuat oleh UUD 1945 adalah memberikan mandate kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Terhadap batasan keterlibatan sektor privat, MK menafsirkan bahwa Pasal 33 tidak melarang sektor privat untuk terlibat dalam cabang-cabang produksi. MK berpendapat bahwa konsep “dikuasai oleh negara” tidak berarti mewajibkan Pemerintah harus memiliki 100% kepemilikan saham sepanjang Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas mutlak ataupun mayoritas relatif dapat tetap “menguasai” pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan. Dengan mengutip pendapat Hatta, MK menjelaskan bahwa Permerintah harus menguasai cabang-cabang produksi yang penting, namun apabila tidak dapat terpenuhi maka Pemerintah dapat meminta bantuan luar negeri, atau jika tidak berhasil juga maka Pemerintah dapat memperbolehkan penguasaha asing untuk menanamkan investasi modalnya di Indonesia. Penafsiran penting lainnya dari MK yaitu Pemerintah bersama DPR dari waktu ke waktu dapat menentukan atau meninjau ulang cabang produksi yang dinilai penting bagi negara dan/atau menguasai hajar hidup orang banyak.
Analisa Perkara
Dalam analisanya, Simon dan Tim memberikan catatan bahwa Putusan MK tidak menjelaskan pedoman apapun dan memberikan sepenuhnya kewenangan kepada Pemerintah untuk menentukan apa saja yang termasuk cabang produksi yang penting. Bagi Simon dan Tim, hal ini berpotensi untuk mengurai kewenangan MK apabila Pemerintah dan DPR menganggap sektor-sektor tertentu dinilai tidak termasuk dalam cabang produksi yang penting dan/atau tidak menguasai hidup orang banyak. Pertanyaan lain yang belum terjawab menurut Simon dan Tim yaitu bagaimana MK dapat menilai bahwa “kemakmuran rakyat” sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) sudah atau belum tercapai.
Selanjutnya, Simon dan Tim berpendapat bahwa MK mengabaikan adanya perbedaan penting terhadap kalimat yang tercantum di dalam Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Akibatnya akan terdapat permasalahan signifikan dalam menentukan dasar pertimbangan di bidang energi dan sumber daya alam di masa mendatang. Kedua Pasal tersebut menegaskan bahwa “cabang-cabang produksi” [ayat (2)] dan “bumi dan air dan kekayaan alam” [ayat (3)] sama-sama harus “dikuasai oleh negara”. Namun demikian, ayat (3) tersebut menentukan bahwa hanya untuk “bumi dan air dan kekayaan alam” saja yang harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Simon dan Tim percaya bahwa perbedaan di dalam dua ketentuan tersebut disengaja dalam pembuatannya. Jikalau pembuat UUD 1945 memang bermaksud untuk menyamakan kedua ketentuan tersebut, namun melakukan kesalahan dalam penulisannya, menurut Simon dan Tim seharusnya kedua ketentuan tersebut bisa dijadikan hanya dalam satu ayat saja dalam konteks “dikuasai oleh negara”. Dalam proses amandemen UUD 1945, Simon dan Tim juga tidak menemukan adanya pembahasan mengenai perbedaan ini sehingga kedua ketentuan tersebut dipertahankan sesuai aslinya.
Menurut Simon dan Tim, ketidakcermatan MK dalam membedakan kedua ketentuan ini terbukti di dalam perkara Migas yang terkait dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam Putusannya, MK tidak fokus dalam memberikan pertimbangan dengan justru membahas apakah minyak dan gas bumi merupakan “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara” sebagaimana dimuat Pasal 33 ayat (2), bukan ayat (3). Kesalahan MK dalam membedakan kedua ketentuan ini melahirkan beberapa pertanyaan bagi Simon dan Tim. Apakah MK sengaja mengabaikan perbedaan di antara keduanya? Apakah diasumsikan bahwa tujuan dari penguasaan cabang produksi yang berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak, seperti listrik atau air, tidak berbeda dengan penguasaan negara terhadap kekayaan alam, sehingga membedakan antara keduanya tidak memiliki arti apapun? Hal ini bagi Simon dan Tim secara logika dapat saja dibenarkan, namun MK sama sekali tidak memberikan justifikasi atau menegaskan pendiriannya.
Simon dan Tim berasumsi bahwa sangat mungkin pembuat UUD 1945 mempertimbangkan adanya perbedaan tingkat “penguasaan negara” yang dipersyaratkan dalam Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) dengan alasan signifikansi yang lebih besar terhadap kekayaan alam dibandingkan dengan cabang-cabang produksi. Sayangnya, menurut Simon dan Tim, MK tidak mendiskusikan hal ini sama sekali. Kebingungan ini akan menimbulkan kontroversi karena meninggalkan sedikit pedoman bagi pembuat kebijakan ataupun legislator dalam membuat peraturan di masa mendatang. Kebingungan ini menurut Simon dan Tim juga diperbesar dengan fakta bahwa semua pihak yang terlibat dalam perkara tersebut sama-sama melakukan kesalahan atau memiliki interpretasi yang sama, padahal terdapat ketidaksamaan kalimat dalam kedua ayat tersebut. Bagi Simon dan Tim, masalah ini akan tetap tidak terpecahkan, kecuali MK memilih untuk membahasnya kembali saat memutus perkara di masa mendatang. Sebaliknya, kemungkinan pertimbangan yang diputus karena ketidakcermatan kadangkala dapat juga menjadi doktrin apabila diterima seiring berjalannya waktu.
Hal lain yang menjadi catatan kritis dari Simon dan Tim yaitu mengenai implementasi dari Putusan-Putusan MK terkait Pasal 33. Dua bulan setelah UU Ketenagalistrikan dibatalkan seluruhnya oleh MK, Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 yang pada intinya tidak jauh berbeda dengan materi yang terdapat dalam UU Ketenagalistrikan yang memasukan klausula sektor privat dan individu untuk dapat berperan dalam usaha penyediaan listrik. Melalui Peraturan Pemerintah ini, secara tidak langsung Pemerintah telah mengenyampingkan Putusan MK. Permasalahannya, MK tidak dapat melakukan pengujian konstitusionalitas terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Kondisi demikian tidak jauh berbeda dalam perkara Sumber Daya Air. Saat MK masih melakukan pemeriksaan perkara, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 yang membolehkan keterlibatan sektor privat di dalam ketentuan terkait penyediaan air minum. Menurut Simon dan Tim, dengan mempelajari pola dan strategi jalan keluar dalam perkara Ketenagalistrikan, Pemerintah kembali membuat Peraturan Pemerintah sebagai antisipasi terburuk apabila MK membatalkan UU SDA yang dapat berimplikasi serius, baik bagi kebijakan pemerintah maupun hubungan kerjasama multilateral dan penyedia bantuan. Simon dan Tim menyebut peraturan tersebut dibuat sebagai “regulatory insurance” yang menyebabkan apapun Putusan MK yang diambil pada saat itu menjadi tidak akan berpengaruh.
Kesimpulan
Pendekatan MK dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya mendapat apresiasi dari Simon dan Tim. Namun demikian, mereka juga mencatat bahwa apabila MK terlalu ambisius dan putusannya terlalu jauh serta dinilai merugikan Pemerintah atau DPR maka terdapat resiko bahwa putusan-putusannya akan diabaikan atau dianggap tidak berarti. Bahkan, terdapat potensi kewenangannya akan dibatasi melalui UU di masa mendatang atau melalui amendemen UUD 1945. Lebih lanjut, Simon dan Tim berpendapat bahwa semakin MK masuk secara langsung ke dalam perdebatan mengenai kebijakan ekonomi, maka semakin besar kemungkinan perlawanan atau penyiasatan kebijakan dari Pemerintah, sebagaimana terjadi di dalam perkara Ketenagalistrikan. Menurutnya, resistensi dan ketidakpatuhan terhadap Putusan MK akan terjadi manakala aspek-aspek Putusan MK beserta implikasinya tidak terlalu jelas atau inkonsisten. Hal yang sama akan terjadi ketika MK masuk ke dalam pembahasan konsep-konsep utama kebijakan ekonomi seperti privatisasi, terutama apabila MK nampak tidak begitu memahami secara penuh isu-isu ekonomi yang kian kompleks, atau tidak mampu mengartikulasikan secara jelas dasar-dasar pemikiran dan pemahamannya terhadap konsep ekonomi yang rumit.
Menurut Simon dan Tim, permasalahan ini tidak saja dialami oleh MK, namun juga lembaga legislatif dan eksekutif yang untuk kali pertamanya dalam sejarah modern Indonesia, di mana konstitusionalitas kebijakan ekonomi diuji oleh pengadilan dengan putusan yang final dan mengikat. Respons Pemerintah terhadap Putusan Ketenagalistrikan mengindikasikan bahwa Pemerintah akan dengan mudah tidak menjalankan Putusan MK. Artinya, MK ke depan akan menghadapi “pertarungan politik” yang mungkin saja menemui kekalahannya. Pasal 33 UUD 1945 memang cukup pelik sehingga memaksa munculnya perdebatan terhadap aturan paling mendasar dari kebijakan ekonomi nasional tersebut ke hadapan MK dan juga ruang-ruang publik. Berbagai masalah terkait Pasal 33 yang muncul saat ini tidak akan tuntas dalam waktu yang cepat dan mudah. Akan tetapi, hal tersebut menurut Simon dan Tim tidaklah buruk. Perdebatan yang terjadi saat ini merupakan realitas dari buah reformasi pasca jatuhnya Soeharto sebagai suatu proses yang membutuhkan waktu beberapa dekade, dan bukan dalam hitungan tahun saja. Kesemuanya itu menurut Simon dan Tim akan terus berkembang melalui kompetisi politik dan kelembagaan, sebagaimana sifat dari negara Indonesia yang tengah berkembang, yaitu selalu diperebutkan, dimurnikan, diuji, dan direvisi. Perkembangan ini bagi Simon dan Tim cukup baik dan mengejutkan karena Indonesia sebenarnya merupakan negara muda yang baru memiliki kehidupan demokrasi pasca peralihan dari kekuasaan otoriter selama tiga dekade.
***
Kolom “Khazanah Konstitusi” merupakan rubrik yang menguraikan hasil penelitian ataupun tulisan akademis yang dilakukan oleh para peneliti di luar Indonesia terkait dengan tema-tema konstitusi. Rubrik ini dimaksudkan untuk mengetahui berbagai pandangan dan perspektif akademis yang berkembang di luar Indonesia terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi ataupun pelaksanaan sistem Konstitusi di Indonesia. Tulisan ini juga ditujukan sebagai materi literature review yang dapat digunakan oleh para mahasiswa, peneliti, ataupun para praktisi hukum konstitusi sebagai bahan referensi akademis ataupun studi lanjutan.
Rubrik ini diasuh oleh Pan Mohamad Faiz Kusuma Wijaya, Peneliti di Mahkamah Konstitusi yang kini tengah menempuh program PhD di bidang Hukum Tata Negara di School of Law, University of Queensland, sekaligus menjadi Research Scholar pada Center for International, Public and Comparative Law (CPICL) di Australia. Untuk informasi dan korespondensi lebih lanjut, Penulis dapat dihubungi melalui email: p.wijaya@uq.edu.au.