Penafsiran MK terhadap Pasal-Pasal Konstitusi Ekonomi

PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PASAL-PASAL KONSTITUSI EKONOMI

* Dimuat dalam Kolom Khazanah, KONSTITUSI No. 94, Edisi Desember 2014 (Hal 62-67)

Majalah_91_Majalah Desember 2014_Page_01Salah satu Pasal yang sangat penting di dalam UUD 1945 adalah Pasal 33 yang memuat ketentuan mengenai perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. Pasal ini menjadi landasan konstitusi yang utama terkait bagaimana perekonomian Indonesia seharusnya diatur dan dikelola serta sejauhmana negara berperan dalam menguasai cabang-cabang produksi yang penting dan kekayaan alamnya. Penafsiran kata “menguasai” dalam Pasal ini memang sangat krusial dalam hal pembentukan kebijakan ekonomi pemerintah sehingga selalu menjadi materi perdebatan yang signifikan sejak masa kemerdekaan. Apakah kata “menguasai” tersebut berarti negara harus mengelola dan menangani secara langsung atau cukup sebatas membuat peraturannya saja?

Ruang perdebatan terhadap Pasal 33 UUD 1945 kembali menghangat pasca didirikannya Mahkamah Konstitusi (MK). Berbagai undang-undang yang terkait erat dengan perekonomian nasional diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji konstitusionalitasnya. Bagaimana MK menafsirkan Pasal 33 dalam konteks sistem perekonomian Indonesia saat ini yang mulai mengurangi monopoli penguasaan dari Pemerintah dan menambah investasi privat di berbagai sektor penting? Simon Butt dan Tim Linsdey, pakar hukum Indonesia dari Australia, mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan analisa beberapa Putusan MK dalam tulisannya yang berjudul “Economic Reform When The Constitution Matters: Indonesia’s Constitutional Court and Article 33” yang dimuat dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies (2008). Dalam tulisannya, Simon dan Tim juga menganalisa masalah yang timbul dari adanya intervensi pengadilan (judicial intervention) di dalam penyusunan kebijakan ekonomi. Selain itu, dipaparkan juga strategi Pemerintah dalam menyiasati pelaksanaan Putusan-Putusan MK di ranah ekonomi. Artikel ini akan menguraikan analisa dari Simon dan Tim terkait penafsiran MK terhadap Pasal-Pasal Konstitusi Ekonomi.

Continue reading

Struktur Dukungan untuk Mobilisasi Hukum di Mahkamah Konstitusi

STRUKTUR DUKUNGAN UNTUK MOBILISASI HUKUM DI MAHKAMAH KONSTITUSI

* Dimuat pada Kolom Khazanah, KONSTITUSI No. 93, Edisi November 2014 (Hal 70-75)

Majalah_90_Majalah Edisi November 2014 _Page_01Kajian akademis yang dilakukan oleh peneliti asing mengenai peran pengadilan di Indonesia terhadap akses keadilan seringkali menekankan pada aktivisme yudisial dan insentif bagi para hakim dalam membuat putusan terkait dengan hak warga negara. Namun, tidak banyak peneliti yang mengkaji peran mobilisasi hukum (legal mobilisation) dalam upaya mempertahankan dan memenuhi hak-hak warga negara yang tercantum dalam UUD 1945 dan Undang-Undang.

Dengan menggunakan teori support structures for legal mobilisation (SSLM), Andrew Rosser dan Jayne Curnow dalam tulisannya “Legal Mobilisation and Justice: Insight from the Constitutional Court Case on International Standard Schools in Indonesia” yang diterbitkan oleh Asia Pacific Journal of Anthropology (2014), menguraikan bagaimana SSLM dapat membentuk kemampuan para pencari keadilan dalam menerjemahkan kebutuhannya terhadap keadilan dan perlindungan hak warga negara. SSLM ini kemudian melahirkan tindakan-tindakan yang dapat ditempuh untuk memberikan tambahan kekuatan dan kekuasaan bagi para pencari keadilan dalam pemenuhan kebutuhannya tersebut.

Continue reading

Quo Vadis Sengketa Pemilukada?

Aside

QUO VADIS SENGKETA PILKADA?
*Dimuat pada Koran SINDO, Kamis (22/5/2014).
 
photo (2)Salah satu putusan penting dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang diputuskan Senin (19/5) lalu tampaknya kurang memperoleh perhatian luas.

Konsentrasi publik masih terserap pada proses pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden. Padahal, Putusan MK tersebut sangat terkait erat dengan proses pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia. Melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, MK menyatakan bahwa penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) oleh MK adalah inkonstitusional. Akibatnya, MK tidak berwenang lagi mengadili sengketa pilkada. Putusan ini tidak diambil secara bulat. 

Tiga hakim konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinions) terhadap pendapat keenam hakim lainnya. Salah satu klausul penting dalam putusan tersebut, kewenangan untuk mengadili sengketa pilkada selama belum ada undang-undang yang mengaturnya tetap berada di tangan MK. Alasannya agar tidak ada keragu-raguan, ketidakpastian hukum, dan kevakuman lembaga yang menyelesaikan sengketa pilkada (hlm. 62). 

Continue reading

Legitimasi Rujukan Hukum Asing dalam Putusan MK

LEGITIMASI RUJUKAN HUKUM ASING DALAM PUTUSAN MK

* Dimuat pada Kolom Khazanah, KONSTITUSI No. 83 – Edisi Januari 2014 (Hal 62-65)

Image

Dalam suatu kuliah umum di Australia, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menyampaikan bahwa untuk memahami Konstitusi Indonesia, para Hakim Konstitusi juga merujuk  pada sumber hukum dari negara-negara lain. Sumber hukum asing tersebut termasuk instrumen internasional dan praktik ketatanegaraan di negara lain. Alasannya, sebagian besar negara memiliki ide-ide bersama yang serupa di dalam pembentukan dan pelaksanaan nilai-nilai konstitusi.

Pernyataan inilah yang kemudian memicu seorang peneliti hukum bernama Diane Zhang dari Australia untuk melakukan studi dan evaluasi terhadap seberapa jauh penggunaan sumber hukum asing dalam putusan Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang tertuang di dalam Minor Thesis pada Department of Law, University of Melbourne dengan judul, “The Use and Misuse of Foreign Materials by the Indonesian Constitutional Court: A Study of Constitutional Court Decision 2003-2008”.

Zhang berupaya untuk menjawab sedikitnya tiga pertanyaan mendasar, yaitu:  Pertama, apakah penggunaan sumber hukum asing dalam ajudikasi konstitusi oleh MK memiliki legitimasi dan taat pada prinsip-prinsip demokrasi? Kedua, apakah MK memiliki pengetahuan yang cukup dalam konteks dan latar belakang penggunaan hukum asing yang akan ditransplasikan ke dalam sistem hukum Indonesia? Ketiga, apakah selektivitas MK dalam penggunaan hukum asing hanya digunakan ketika memperkuat posisi sebuah putusan dan berupaya menghindari hukum asing apabila dapat memperlemah putusannya?

Continue reading