MK DAN e-COURT DI ERA DISRUPTIF
Pan Mohamad Faiz, Ph.D., Peneliti Mahkamah Konstitusi
(Tulisan diterbitkan dalam “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 134, April 2018, hlm. 79-80 – Download)
Dua bulan lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) meluncurkan secara resmi Sistem Informasi MK yang terdiri dari Permohonan Online, Tracking Perkara, Anotasi Putusan MK, e-Minutasi, e-BRPK, Kunjungan MK, Live Streaming, dan Layanan Persidangan Jarak (vide conference). Peluncuran ini tentunya perlu mendapatkan apresiasi tinggi, meskipun sebagian dan beberapa sistem teknologi lainnya sudah lebih dulu diterapkan dalam keseharian manajemen perkara di MK. Dengan seperangkat sistem ICT tersebut, MK dapat dikatakan menjadi pionir peradilan modern di Indonesia yang memanfaatkan teknologi (e-Court) sebagai pendukung business process penanganan perkaranya. Namun demikian, terlalu dini rasanya jika MK harus berpuas diri dengan capaian tersebut. Layaknya sifat alamiah ICT yang terus berkembang, maka masih sangat diperlukan berbagai terobosan untuk menyempurnakan penggunaan dan pemanfaatannya.
Sebagai contoh sederhana, fasilitas permohonan online (eFilling) sudah sejak lama disiapkan oleh MK melalui serangkaian trials and errors. Namun pada kenyataannya, masih sangat sedikit pemohon yang memanfaatkan fasilitas ini. Karena tidak ada keharusan dan apabila tidak terpaksa, misalnya dalam kasus sengketa pilkada yang dibatasi tenggang waktu pengajuan permohonannya, para pemohon masih enggan memanfaatkan sistem ini.
Bandingkan dengan keputusan yang diambil oleh Mahkamah Agung Nigeria, negara yang memiliki human development index di peringkat 152, terpaut 39 peringkat di bawah Indonesia, akan mewajibkan para pihak yang berperkara untuk mengajukan permohonannya secara online. Mereka juga akan memberlakukan komunikasi secara elektronik hanya melalui “legal email” mulai 16 Juli 2018 ini.
Praktik peradilan di Singapura lebih maju lagi. Untuk mengajukan permohonan dan mengakses data peradilan, setiap warga negaranya yang telah memiliki SingPass ID bagi individu atau CorpPass ID bagi badan hukum, harus menggunakannya apabila ingin berperkara di pengadilan.
Langkah-langkah inilah yang kini justru mulai diikuti oleh Mahkamah Agung Indonesia. Melalui PERMA Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan secara Elektronik bertanggal 29 Maret 2018 lalu, MA mulai melakukan serangkaian inovasi dan pembaharuan sistem peradilannya. Setidaknya ada empat hal yang tercermin dari pembaharuan tersebut.
Pertama, para advokat yang akan berperkara harus sudah terdaftar datanya dalam sistem pendataan elektronik. Kedua, pendaftaran perkara mulai diarahkan secara elektronik (online), termasuk untuk pembayaran biaya perkaranya. Ketiga, panggilan bagi para pihak akan dikirimkan secara elektronik berdasarkan database yang didaftarkan. Keempat, Salinan putusan atau penetapan pengadilan juga akan dikirimkan secara elektronik kepada para pihak paling lambat 14 hari sejak putusan atau penetapan diucapkan.
Keempat hal tersebut sebenarnya merupakan hal sederhana yang juga dapat diterapkan oleh MK, karena sistem dasarnya telah terbentuk. Artinya, banyak hal terkait ICT di MK yang masih dapat dioptimalkan pemanfaatan dan diversifikasi implementasinya.
Tren Teknologi Peradilan
Tren peradilan dunia juga mulai mengarah pada pembangunan integrated judiciary (i-Judiciary), dan tidak lagi sebatas e-Court. Artinya, para pengguna manfaat teknologi peradilan tidak hanya terfokus pada pihak yang menjadi pemohon agar mengajukan permohonan dengan cara online, namun juga melibatkan seluruh pihak dan lembaga-lembaga terkait lainnya yang berperkara.
Saat mengikuti Leadership on Court Governance, penulis berkesempatan mempelajari sistem teknologi peradilan Singapura. Sejak 2015, mereka telah selesai membangun Integrated Criminal Case Filing and Management System (ICMS). Sistem ini dapat digunakan bersama oleh para pihak dalam suatu perkara untuk mengirim, mengunggah, mengunduh, dan mengakses berbagai dokumen secara serentak dengan menggunakan akun masing-masing.
Penggantian jadwal sidang, panggilan sidang, dan pengiriman putusan juga dapat dilakukan melalui sistem ini. Lebih kompleks lagi, sistem dan data yang tersimpan juga dapat terhubung dengan pihak kepolisian, kejaksaan, peradilan tingkat banding, hingga lembaga pemasyarakatan. Dengan memodifikasi sesuai kebutuhan MK, untuk menghadapi perubahan dan tantangan masa mendatang maka sudah perlu dipikirkan secara serius penerapan sistem i-Judiciary semacam ini.
Lain lagi dengan terobosan teknologi yang dilakukan lembaga peradilan di negeri Tiongkok. Beijing First Intermediate People’s Court misalnya, telah menggunakan teknologi Virtual Reality (VR) bagi para saksi untuk menyampaikan keterangannya dalam bentuk visual. Para saksi dipasangkan VR headset untuk mensimulasikan apa yang dilihat dan dilakukannya saat terjadi peristiwa hukum. Proyektor layar lebar yang terpasang di dalam ruang sidang memperlihatkan simulasi gambar, keadaan, dan pegerakan di sekitar terjadinya peristiwa hukum berdasarkan apa yang dilihat dan dialami oleh saksi tersebut.
Berangkat dari berbagai tren tersebut, guna mengoptimalkan pemanfaatan ICT, setidaknya dalam waktu dekat ini MK seyogianya segera mengembangkan teknologi peradilan yang kerap disebut sebagai case retrieval system. Gagasan terhadap sistem ini sebenarnya sudah muncul sejak sepuluh tahun yang lalu. Namun, saat ini yang tersedia masih sebatas platform dasar, belum telalu komprehensif dan spesifik. Dalam kesempatan studi lapangan di Mahkamah Agung negara bagian Queensland, Australia, penulis memperoleh pemaparan dan simulasi semacam case retrieval system dari pejabat peradilan di sana.
Menariknya, dengan menggunakan artificial intelligence (AI) dan data analytics, sistem mereka mampu untuk memilah dan mengklasifikasi sangat rinci mengenai hal-hal yang ingin kita cari dari putusan-putusan terdahulu. Misalnya, sistem mereka dapat langsung menemukan putusan terkait dengan tindak pidana kekerasan rumah tangga. Lebih khusus lagi, mereka memfilternya hanya terhadap terdakwa yang merupakan ayah dari anggota keluarga. Secara mendalam, sistem mereka kemudian mampu melacak data spesifik yang vonis putusannya dijatuhkan di bawah lima tahun. Dari sana, langsung tersuguhkan data yang menjadi pertimbangan pengadilan dalam menjatuhkan putusan tersebut.
Penulis membayangkan apabila sistem ICT yang komprehensif seperti ini dapat juga dibangun di MK, maka akan lebih membantu para Hakim Konstitusi dan unit pendukungnya untuk menangani perkara yang sedang berjalan. Dengan demikian, MK akan semakin dimudahkan untuk mencari putusan-putusan terdahulu, misalnya, tentang putusan pengujian konstitusionalitas UU terdahulu terkait sumber daya alam, yang pertimbangannya menggunakan batu uji Pasal 33 UUD 1945, dengan isu terkait privatisasi, dan dalam ranah pertambangan. Sistem ini kemudian akan memunculkan putusan yang relevan bersama dengan pertimbangan hukumnya sesuai dengan apa yang ingin diketahui.
Sistem seperti ini seharusnya dipandang sebagai komponen utama sistem teknologi pendukung dalam proses penanganan perkara di MK. Dengan kata lain, harus dijadikan prioritas pengembangan ICT MK ke depan. Sebab, semakin lama sistem ini terbangun, akan semakin besar beban data yang harus diinput ke dalam sistem.
Tantangan Utama
Berdasarkan pengalaman berbagai pengadilan di banyak negara, tantangan utama yang sering dihadapi dalam penerapan ICT bukanlah pada dukungan finansial. Namun, lebih terletak pada pola pikir (mindset) dari pihak internal ataupun eksternal pengadilan untuk berinisiatif dan mau melakukan perubahan rutinitas yang selama ini dilakukan secara manual atau konvensional menjadi lebih modern, progresif, dan out of the box. Pola pikir yang ingin selalu mempertahankan cara-cara konvensional dapat dipastikan akan menghambat pengembangan dan penerapan teknologi peradilan. Padahal, di era disruptif ini, ide-ide kreatif dan inovatif sangat diperlukan untuk membaca tantangan masa depan (the future) agar dapat diatasi oleh para pembaharu saat ini (the present).
Komitmen pimpinan MK dengan membentuk Pusat Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) menjadi setingkat dengan Eselon II merupakan modal dan ikhtiar awal yang baik. Kini, perancangan dan implementasi dari beragam gagasan pengembangan ICT perlu didukung dan dikawal bersama-sama. Terlebih lagi, MK Indonesia secara perlahan mulai mengambil peran strategis dalam asosiasi peradilan di tingkat internasional, bukan hanya di Asia, namun juga di dunia. Sebagai salah satu barometer peradilan konstitusi di tingkat internasional tersebut, maka MK perlu segera bergabung dengan International Consortium for Court Excellent (ICCE) agar dapat terus mengikuti perkembangan teknologi peradilan di berbagai kawasan dunia. Apabila teknologi peradilan tersebut dirasa sangat bermanfaat, maka tak ada salahnya bagi MK untuk juga mengadopsinya di masa mendatang. (*)
terimakasih bapak atas artikel yang bapak tulis, sangat bermanfaaat dan membuka lebih luas wawasan saya
Terima kasih, semoga bermanfaat.