Mencari Sang Negarawati

MENCARI SANG NEGARAWATI

Pan Mohamad Faiz, Ph.D., Peneliti Mahkamah Konstitusi

(Tulisan diterbitkan dalam “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 135, Mei 2018, hlm. 71-72 – Download)

Mencari Sang Negarawati (1)Pada 13 Agustus 2018 mendatang, hakim konstitusi perempuan pertama dan satu-satunya yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Dr. Maria Farida Indrati, akan paripurna menyelesaikan masa baktinya. Maria yang sebelumnya dipilih melalui jalur eksekutif tak lagi dapat diperpanjang masa jabatannya. Sebab, UU MK membatasi seorang hakim konstitusi hanya dapat diperpanjang masa jabatannya satu kali. Sedangkan, Maria saat ini tengah menyelesaikan masa jabatannya untuk periode yang kedua (2013-2018).

Menyikapi hal tersebut, Presiden Joko Widodo telah membentuk Panitia Seleksi (Pansel) untuk mencari pengganti Maria. Langkah pembentukan pansel ini perlu diapresiasi, karena setidaknya sebagai salah satu upaya untuk memenuhi prinsip pencalonan dan pemilihan hakim konstitusi yang menurut UU MK harus bersifat transparan dan partisipatif (Pasal 19) serta objektif dan akuntabel (Pasal 20).

Menurut UUD 1945 dan UU MK, seorang hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Selain itu, seorang calon hakim konstitusi harus berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum, serta mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun.

Dari perspektif usia, calon hakim konstitusi harus berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatannya. Artinya, siapa pun yang memenuhi syarat-syarat tersebut layak menjadi calon hakim konstitusi yang akan diseleksi oleh pansel untuk kemudian dipilih oleh presiden.

Publik tentunya menanti siapa yang kelak akan menggantikan Maria sebagai hakim konstitusi. Namun, ada keinginan dari sebagian masyarakat agar hakim konstitusi yang terpilih nanti juga sosok seorang perempuan. Alasannya, agar hakim konstitusi tersebut juga dapat lebih mempertimbangkan perspektif keadilan bagi kelompok rentan, khususnya terhadap perempuan dan anak-anak.

Pertanyaan mendasarnya, benarkah latar belakang dan perspektif seorang hakim konstitusi perempuan menjadi salah satu faktor dalam memutus isu-isu konstitusional di MK yang terkait dengan kepentingan perempuan dan anak-anak?

Pendapat Berbeda

Dalam berbagai Putusan MK, Maria memang secara eksplisit menunjukkan keberpihakannya terhadap kepentingan perempuan dan anak-anak. Hal tersebut setidaknya tampak terbaca dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) yang kerap dituangkannya dalam Putusan MK. Untuk menjaga kepentingan perempuan dan anak-anak, Maria bahkan tidak jarang menjadi satu-satunya hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda di antara delapan hakim konstitusi lainnya saat memutus perkara.

Misalnya, Maria menyatakan pendapat berbeda seorang diri dalam Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 bertanggal 23 Desember 2008 terkait dengan sistem pemilihan umum. MK memutuskan bahwa sistem proposional terbuka yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut bertentangan dengan UUD 1945. Melalui Putusan ini, MK secara tidak langsung mengubah sistem pemilihan dengan nomor urut menjadi berdasarkan suara terbanyak.

Dalam posisi inilah Maria berbeda pendapat. Menurutnya, perubahan sistem menjadi “suara terbanyak” akan menimbulkan inkonsistensi terhadap tindakan afirmatif bagi perempuan yang menjadi calon anggota legislatif. Sebab, UU Pemilu telah mendesain dari hulu ke hilir dengan mengharuskan partai politik untuk mencalonkan sekurang-kurang 1 (satu) orang perempuan di setiap 3 (tiga) orang calon dalam Pemilu. Menurutnya, dengan adanya pemilihan berdasarkan “suara terbanyak”, maka otomatis akan menafikan tindakan afirmatif tersebut. Akibatnya, menurut Maria, tindakan afirmatif untuk mendapatkan keterwakilan perempuan yang seimbang di lembaga legislatif tidak akan dapat terlaksana.

Selain itu, Maria juga menjadi satu-satunya hakim yang menyatakan pendapat berbeda dalam Putusan MK Nomor 10- 17-23/PUU-VII/2009 bertanggal 25 Maret 2010 terkait dengan UU Pornografi. Mengawali pendapatnya, Maria menyatakan bahwa sebagai seorang perempuan, ibu dari tiga orang anak, dan guru dari ribuan mahasiswa, dirinya tidak rela jika anak-anak Indonesia terpengaruh, terjatuh, atau terperosok ke dalam dunia yang berhubungan dengan pornografi atau hal-hal lain yang melanggar etika dan kesusilaan.

Namun demikian, karena UU Pornografi tidak memberikan definisi yang lengkap, maka hal ini justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya tentang hukum acara terhadap pelanggaran pasal-pasalnya. Menurut Maria, apabila hal tersebut diimplementasikan maka yang terkena langsung oleh larangan-larangan dalam UU Pornografi tersebut justru akan lebih berdampak banyak pada kaum perempuan dan anak-anak. Dengan pertanyaan retoris Maria lalu menyatakan, “Jadi, di mana letak perlindungan terhadap kaum perempuan yang dimaksud?”.

Kemudian, dalam Putusan MK Nomor 30-74/PUU-XII/2014 bertanggal 18 Juni 2015 terkait UU Perkawinan, Maria juga berdiri menjadi menjadi satu-satunya hakim konstitusi yang menyatakan bahwa usia minimum wanita untuk menikah pada usia 16 (enam belas) tahun bertentangan dengan UUD 1945. Mayoritas Hakim konstitusi berpandangan bahwa usia minimum wanita untuk menikah merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang.

Namun, Maria berpendapat bahwa sudah waktunya diperlukan perubahan hukum usia perkawinan bagi wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun. Menurutnya, hal ini dapat dilakukan melalui Putusan MK sebagai suatu bentuk hukum melalui sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Sebab, perkawinan anak akan membahayakan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak serta menempatkan anak dalam situasi rawan kekerasan dan diskriminasi.

Dengan merujuk pada putusan-putusan MK di atas, setidaknya terdapat indikasi adanya faktor latar belakang dari seorang hakim konstitusi perempuan mengenai perspektifnya terhadap kepentingan dan nilai keadilan konstitusional dari kaum perempuan serta anak-anak.

Jejak Negarawati

Apabila masyarakat meyakini bahwa keberadaan hakim konstitusi perempuan akan berdampak signifikan pada kepentingan perempuan dan anak-anak di Indonesia, maka para perempuan yang berprofesi sebagai akademisi, peneliti, praktisi, birokrat, aktivis, dan berbagai profesi lainnya perlu didorong untuk menjadi calon hakim konstitusi. Para Guru Besar perempuan di berbagai universitas juga perlu diajak untuk mendaftar menjadi calon hakim konstitusi. Sepanjang telah memenuhi syarat-syarat pencalonan seperti diuraikan sebelumnya, maka mereka tentunya berhak untuk dipilih dan terpilih oleh panitia seleksi.

Permasalahannya, belum tentu para perempuan Indonesia yang telah memenuhi syarat dan layak menjadi calon Hakim konstitusi bersedia untuk mencalonkan diri. Selain menghindari kesan dalam mengejar jabatan, mereka umumnya juga enggan berkompetisi “keras” dengan calon-calon lainnya, baik secara keilmuan ataupun sosial-politis.

Untuk meminimalisasi hambatan tersebut, Pansel sebenarnya telah membuka kesempatan kepada siapa pun untuk dapat mencalonkan orang lain yang dianggap layak untuk menjadi calon Hakim konstitusi. Dengan kata lain, seorang calon hakim konstitusi tidak diwajibkan mengajukan dirinya sendiri, namun dapat diusulkan oleh pihak lain, termasuk oleh perguruan tinggi tempat mereka mengabdi dan mengajar.

Pansel Hakim Konstitusi memang akan menyetarakan serangkaian tes seleksi terhadap calon hakim konstitusi, baik perempuan maupun laki-laki. Namun, Pansel juga sekilas menyatakan akan lebih mempertimbangkan calon perempuan yang memenuhi persyaratan untuk menjaga keterwakilan hakim konstitusi perempuan di MK. Menurut Penulis, pertimbangan demikian tidaklah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, bahkan sejalan dengan semangat konstitusi yang terkandung di dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945 dan beberapa pasal dalam Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi.

Ketentuan tersebut telah memberi ruang bagi diberlakukannya tindakan afirmatif (affirmative action) bagi perempuan dalam menjamin adanya kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Tentunya Pansel juga tidak akan sembarang memilih calon perempuan, namun akan memilih mereka yang juga memiliki kualitas, integritas, dan kompetensi yang tinggi.

Untuk membuktikan bahwa kaum perempuan juga mampu dan layak untuk dipilih menjadi Hakim Konstitusi, maka saatnya para perempuan kini tampil ke permukaan bersama-sama, guna melanjutkan jejak sang negarawati saat ini, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. (*)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s