TERJEMAHAN RESMI UUD 1945
(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 137, Juli 2018, hlm. 79-80 – Download)
Sejak satu dekade yang lalu, Indonesia mulai memperingati Hari Konstitusi yang jatuh setiap tanggal 18 Agustus. Peringatan tersebut ditandai dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2008 tentang Hari Konstitusi di masa kepemimpinan Presiden SBY. Keputusan untuk menjadikan 18 Agustus sebagai Hari Konstitusi ini didasari atas momentum penetapan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Oleh karenanya, peringatan Hari Konstitusi ini secara historis dimaksudkan untuk mengingatkan setiap warga negara atas sejarah lahirnya konstitusi dan negara Indonesia. Secara ideologis, peringatan ini juga diharapkan dapat membangun kesadaran dan kepatuhan berkonstitusi dari segenap lapisan masyarakat, mulai dari pejabat negara hingga masyarakat biasa. Lebih jauh lagi, Hari Konstitusi juga dilandasi semangat untuk memajukan dan menyebarluaskan prinsip dasar negara demokrasi konstitusional (constitutional democratic state) di Indonesia, baik bagi masyarakat di dalam negeri maupun luar negeri. Tulisan ini akan berfokus pada konteks terakhir terkait dengan penyebarluasan prinsip negara demokrasi konstitusional di dalam UUD 1945 bagi masyarakat internasional.
Implikasi Perubahan Konstitusi
Empat tahap amendemen UUD 1945 yang terjadi di era reformasi telah membawa perubahan fundamental terhadap sistem ketatanegaraan dan politik di Indonesia. Pada saat proses amendemen tersebut, para anggota MPR bersama tim ahlinya melakukan beragam kajian perbandingan terhadap sistem terbaik yang diterapkan di negara-negara lain. Hasilnya, UUD 1945 yang telah diamendemen tersebut memuat berbagai ketentuan baru, mulai dari penguatan sistem pemerintahan presidensial, jaminan perlindungan hak asasi manusia, mekanisme dan desain baru pemilihan umum, hingga pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Adanya kebutuhan tinggi terhadap evaluasi dan penyempurnaan sistem baru tersebut, baik dalam tataran normatif maupun pelaksanaannya, telah melahirkan berbagai pusat studi dan kajian lintas disiplin ilmu di seluruh penjuru Indonesia. Beragam kajian dan penelitian terhadap isu ketatanegaraan juga semakin tumbuh subur sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi. Lembaga peradilan ini menjadi forum perdebatan ilmiah di antara para ahli mengenai persoalan-persoalan konstitusional. Implikasinya, pasal-pasal di dalam konstitusi yang dahulu terkesan hanya bersifat statis dan normatif semata, kini secara berlahan telah bertransformasi menjadi nilai-nilai yang praktis dan dinamis karena menjadi hidup mengikuti perkembangan masyarakat.
Perkembangan yang begitu cepat terhadap sistem ketatanegaraan dan pemerintahan di Indonesia ini, rupanya menarik perhatian para akademisi dan peneliti dari luar negeri. Semakin tak terhitung besarnya jumlah publikasi internasional yang dihasilkan oleh mereka mengenai isu-isu seputar konstitusi, demokrasi, dan hak asasi manusia di Indonesia. Penelitian dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi di berbagai universitas luar negeri pun mulai merambah secara khusus pada kajian terhadap kelembagaan dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.
Singkatnya, Indonesia tak lagi hanya menjadi subjek yang belajar dari negara lain. Namun, kini semakin menjadi objek yang dipelajari oleh negara-negara lain. Menariknya, penelitian dan kajian yang dilakukan oleh para peneliti dan akademisi di luar negeri terhadap Indonesia, umumnya lebih mendalam, tajam, dan kompleks dibandingkan dengan kajian yang dilakukan oleh profesi sejenis di dalam negeri. Hasil dari penelitian dan kajian mereka tentunya dapat membawa manfaat yang baik sebagai bahan refleksi dan evaluasi terhadap perbaikan sistem yang kita miliki.
Untuk melakukan kajian dan penelitian tersebut, seringkali tantangan utama yang dihadapi adalah ketersediaan bahan dan sumber bacaan yang mudah dipahami. Permasalahannya, banyak dokumen dan bahan bacaan hanya tertulis dalam Bahasa Indonesia. Akibatnya, sedikit akademisi dan peneliti di luar negeri yang bisa memahami teks-teks tersebut, itu pun karena mereka pernah mempelajari Bahasa Indonesia. Alternatifnya, bagi mereka yang tidak mengerti Bahasa Indonesia, maka perlu menerjemahkan berbagai dokumen dan sumber bacaan tersebut ke dalam bahasa ibunya masing-masing. Namun ketika hasil terjemahan tersebut tidak sesuai dengan maksud dan konteks yang sebenarnya, maka dapat berpotensi terjadinya penggelinciran hingga penyesatan makna.
Terjemahan UUD 1945
Kondisi serupa juga seringkali dialami oleh penulis ketika harus mencari dokumen UUD 1945 dalam versi Bahasa Inggris. Ternyata banyak versi terjemahan yang dimuat dalam laman Kementerian dan Lembaga Negara di Indonesia. Belum lagi apabila dibandingkan dengan berbagai versi terjemahan UUD 1945 yang dimuat di laman lembaga internasional. Perbedaan terjemahan terhadap UUD 1945 juga akan ditemukan pada laman lama berbagai Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal RI di banyak negara.
Pertanyaannya, terjemahan manakah yang perlu kita ikuti? Sebab, tak ada satupun terjemahan UUD 1945 yang memuat keterangan sebagai terjemahan resmi negara. Sebaliknya, sebagian terjemahan tersebut justru diberi keterangan tidak bersifat resmi dan akurasinya tidak menjadi tanggung jawab kementerian atau lembaga pengunggah. Keterangan demikian justru semakin membuat ragu-ragu para pembacanya, karena tidak terjamin kesahihannya.
Adanya perbedaan terjemahan dari istilah-istilah penting di dalam UUD 1945 tersebut, baik yang bersifat minor maupun major, tentu akan mengakibatkan penafsiran yang berbeda dalam pemaknaan dan pemahamannya. Sebagai contoh, penulis membandingkan naskah terjemahan UUD 1945 ke dalam Bahasa Inggris yang diunggah pada laman Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Negara, UNESCO, dan ILO. Sebagian perbedaan terjemahan tersebut dapat dilihat pada tabel perbandingan berikut.
Tabel 1. Contoh Perbedaan Penerjemahan UUD 1945
FRASA |
MAHKAMAH KONSTITUSI | SEKRETARIAT NEGARA | UNESCO |
ILO |
Dewan Perwakilan Rakyat
[BAB VII] |
People’s Representative Council | House of Representatives | House of Representatives | People’s Representative Council |
Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial
[Bab XIV] |
National Economy and Social Justice | National Economy and Social Welfare | National Economy and Social Welfare | National Economy and Social Welfare |
negara hukum
[(Pasal 1 ayat (3)] |
a state based on law | a state based on law | a state based on the rule of law | a state based on the rule of law |
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa…”
[Pasal 22 ayat (1)] |
In the event compelling exigency… | In the state of exigencies… | In compelling crisis situations… | Should exigencies compel… |
“…tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
[Pasal 28I ayat (1)] |
…cannot be reduced under any circumstance whatsoever | …may not be prejudiced under any circumstances whatsoever | …shall not be curtailed under
any circumstance |
…cannot be limited under any circumstances |
asas kekeluargaan
[Pasal 33 ayat (1)] |
the principles of kinship | the principle of family system | familial principles | the principles of the family system |
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
[Pasal 34 ayat (1)] |
Destitute people and neglected children | The poor and neglected children | Impoverished persons and abandoned children | Impoverished persons and abandoned children |
Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia memiliki satu naskah dokumen UUD 1945 yang secara resmi diterjemahkan atas nama negara. Terjemahan resmi tersebut kemudian dapat didistribusikan ke seluruh lembaga negara, baik di dalam maupun di luar negeri. Sebagian dari kita mungkin merasa tak perlu apabila hal sepele dan remeh temeh semacam ini untuk diwacanakan. Namun sebaliknya, jika hal ini dianggap sesuatu yang sederhana, maka sudah seyogianya pemerintah atau lembaga-lembaga negara dapat membenahinya dengan mudah dan segera. Bagaimana caranya?
MPR sebagai lembaga negara yang berwenang mengubah Undang-Undang Dasar dapat mengambil inisiatif untuk mulai menggulirkan isu ini. Keterlibatan dari lembaga-lembaga negara lainnya, khususnya Mahkamah Konstitusi dan Kementerian Luar Negeri, akan dapat mengakselerasi prosesnya. MPR dapat mencari dan mengumpulkan para penerjemah tersumpah terbaik di Indonesia. Sejurus dengan itu, MPR dapat pula menghadirkan para pelaku sejarah perubahan UUD 1945 apabila diperlukan konfirmasi berupa original intent terhadap frasa-frasa tertentu di dalam UUD 1945.
Apabila diperlukan, penerjemahan UUD 1945 tidak hanya dilakukan ke dalam Bahasa Inggris saja, namun juga dilakukan ke dalam bahasa internasional lainnya, seperti Bahasa Arab. Negara-negara Timur Tengah seringkali datang dan mempelajari konstitusi Indonesia pasca terjadinya Arab Spring. Mereka ingin mempelajari proses dan terjadinya perubahan UUD 1945 serta implementasinya saat ini. Alangkah akan sangat terbantu bagi mereka dan juga berimplikasi baik bagi citra Indonesia, apabila tersedia naskah resmi terjemahan UUD 1945 ke dalam bahasa ibu mereka.
Terlebih lagi, posisi lembaga-lembaga negara kita semakin strategis di tingkat internasional. Tidak hanya di bidang eksekutif maupun legislatif, tetapi juga yudikatif. Mahkamah Konstitusi misalnya, kini menjadi satu-satunya negara dari Asia yang duduk sebagai anggota Biro dari World Conference on Constitutional Justice (WCCJ) sekaligus menjadi lokasi bagi Sekretariat Tetap Asosiasi Mahkamah Konstitusi se-Asia. Sudah barang tentu, dokumen pertama dan utama yang dicari oleh negara-negara anggota tersebut adalah konstitusi Indonesia yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa internasional.
Dengan demikian, untuk mewujudkan naskah resmi terjemahan UUD 1945 maka diperlukan political dan constitutional will dari para pimpinan lembaga negara. Apabila hal ini dianggap sederhana, namun bernilai penting, maka sejatinya tak ada keraguan untuk sama-sama melangkah dalam memulai program internasionalisasi terhadap UUD 1945 ini.
* Pan Mohamad Faiz, Ph.D. Peneliti di Mahkamah Konstitusi
Penulisan Sitasi:
- Pan Mohamad Faiz, “Terjemahan Resmi UUD 1945”, Majalah Konstitusi, No. 137, Juli 2018, hlm. 79-80.