PERUBAHAN POLITIK HUKUM PENGUJIAN PERATURAN DAERAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pan Mohamad Faiz
Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi RI
Pada medio 2016, Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri mencabut dan merevisi sebanyak 3.143 Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Kepala Daerah (Perkada), dan Peraturan Mendagri (Kemendagri, 2016). Umumnya, Perda dan Perkada yang dicabut atau direvisi tersebut berkaitan dengan investasi, retribusi, dan pajak. Menteri Dalam Negeri dan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dapat membatalkan Perda dan Perkada tersebut karena telah diberikan wewenang berdasarkan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda). Alasan utama Pemerintah untuk melakukan deregulasi Perda dan Perkada tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 250 UU Pemda, karena dinilai bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, khususnya telah menyebabkan terganggunya akses terhadap pelayanan publik dan/atau terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Langkah Pemerintah melakukan deregulasi ribuan Perda dan Perkada ini sangat mengejutkan banyak kalangan, termasuk para Kepala Daerah dan DPRD di banyak wilayah Indonesia. Namun, langkah Pemerintah kini terhenti untuk dapat kembali membatalkan Perda. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan dua Putusan yang mencabut wewenang Mendagri dan Gubernur untuk membatalkan Peraturan Daerah di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi, yakni Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016. Kedua Putusan MK ini juga menghentikan polemik terhadap dualisme mekanisme pengujian Perda, yaitu: Pertama, Perda dapat dibatalkan oleh pemerintah berdasarkan UU Pemda; Kedua, Perda juga dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) berdasarkan UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman.
Dengan dihapuskannya mekanisme pembatalan Perda oleh pemerintah, maka satu-satunya mekanisme pembatalan Perda saat ini harus dilakukan melalui MA. Tulisan ini akan membahas mengenai perubahan politik hukum penggujian peraturan daerah pasca dijatuhkanya Putusan MK beserta implikasinya. Adapun pisau analisis politik hukum yang digunakan merujuk pada pembuatan legal policy dari lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum dan alat untuk menilai serta mengkritisi apakah sebuah hukum atau produk perundang-undangan yang dibuat sudah sesuai dengan kerangka pikir legal policy tersebut atau tidak (Mahfud MD, 2011).
***
Artikel selengkapnya, sila unduh di sini atau di sini.
Penulisan kutipan:
- Pan Mohamad Faiz, “Perubahan Politik Hukum Pengujian Peraturan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, dalam Budy Sugandi dan Ali Rif’an (eds.), Pemerintah Dan Pemerintahan Daerah: Refleksi Pada Era Reformasi (Membaca Momentum 20 Tahun Reformasi Indonesia), Lampung: Penerbit Aura, 2018, hlm. 90-97.