MK dan Ibu Kota Baru

MK DAN IBU KOTA BARU

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 151, September 2019, hlm. 74-75 – Download)

Cover_Page_2Rencana pemindahan ibu kota negara semakin menguat pasca Komisi Pemilihan Umum mengumumkan Joko Widodo sebagai Presiden terpilih untuk periode kedua (2019-2024). Wacana pemindahan ibu kota sebenarnya bukan hal yang baru. Pada tahun 1950-an, Presiden Soekarno telah merencanakan untuk memindahkan ibu kota dengan rekomendasi lokasi di Palangkaraya atau Samarinda. Namun, konsepnya tidak langsung memindahkan ibu kota secara sekaligus, melainkan dengan cara membagi beban Jakarta ke kota tersebut.

Saat ini, Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan bisnis secara sekaligus memang memikul beban yang sangat berat. Data pertumbuhan urbanisasi yang terkonsentrasi di Jakarta sangat tinggi. Apabila digabungkan, jumlah penduduk di Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur) sebanyak 32.775.966 jiwa atau sekitar 12,4% jumlah penduduk di Indonesia (BPS, 2018).

Selain itu, meningkatnya beban Jakarta juga mengakibatkan terjadinya penurunan daya dukung lingkungan dan besarnya kerugian ekonomi. Hal ini disebabkan, antara lain, wilayahnya yang rawan banjir, terjadinya penurunan tanah dan naiknya muka air laut, tercemarnya air sungai hingga 96%, kemacetan tinggi dengan sistem transportasi sangat buruk yang menyebabkan kerugian ekonomi mencapai Rp 56 triliun per tahun (Pustral-UGM, 2013).

Lokasi pemindahan ibu kota yang selama ini menjadi pertanyaan banyak pihak akhirnya terjawab sudah. Belum lama ini, Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana lokasi ibu kota negara yang baru akan berada di Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara yang keduanya merupakan kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur. Kriteria penentuan lokasi ibu kota tersebut didasarkan pada pertimbangan lokasinya yang strategis, tersedia lahan luas milik pemerintah, bebas bencana alam, tersedia sumber daya air, dekat dengan kota eksisting yang sudah berkembang, potensi konflik sosial yang tendah dan memiliki budaya terbuka terhadap pendatang, serta memenuhi perimeter pertahanan dan keamanan (Bappenas, 2019).

Namun demikian, pemindahan ibu kota bukanlah perkara yang mudah. Selain dari sisi besarnya pembiayaan yang akan menelan sekitar Rp 466 triliun (USD 32,9 billion), pemindahan ibu kota juga memerlukan perubahan dan pembentukan regulasi yang tepat sasaran. Salah satu regulasi yang utama dan sangat penting adalah perlu perubahan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indoensia.

Artikel ini akan membahas mengenai pengalaman Mahkamah Konstitusi (MK) di Korea Selatan dan Jerman terkait dengan rencana pemindahan ibu kota dan pembagian beban pemerintahan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Relokasi Ibu Kota Korea Selatan

Banyak kisah sukses pemindahan ibu kota di negara-negara lain, seperti di Brasil, Kazakhstan, dan Australia. Namun, terdapat juga rencana pemindahan ibu kota yang kandas bukan karena ditolak oleh anggota parlemen, namun dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Pada 2004, Presiden Korea Selatan Roh Moo-Hyun berupaya memenuhi janji kampanyenya dengan membuat Undang-Undang Khusus tentang Pembentukan Ibu Kota Administratif Baru guna merelokasi Seoul sebagai ibu kota Republik Korea Selatan dengan cara membangun ibu kota baru di Provinsi Chungcheong untuk menjalankan fungsi administratif.

Akan tetapi, Undang-Undang Khusus tersebut diuji konstitusionalitasnya oleh warga negara Korea Selatan dari berbagai wilayah dengan alasan belum adanya revisi terhadap Konstitusi. Selain itu, UU Khusus tersebut juga dianggap telah melanggar hak referendum dan hak pembayar pajak. Hakim Mahkamah Konstitusi Korea Selatan dengan Putusan 8:1 menyatakan UU Khusus tersebut inkonstitusional. Alasannya, Seoul yang telah lama menjadi ibu kota Korea Selatan, meskipun tidak secara spesifik disebutkan di dalam Konstitusi, namun pada faktanya penetapan Seoul sebagai ibu kota negara merupakan perwujudan dari “customary constitution” yang memiliki efek yang sama dengan konstitusi yang tertulis.

Menurut MK Korea Selatan, selain dengan menggunakan amendemen konstitusi secara fomal, “customary constitution” dapat kehilangan kekuatan hukumnya jika konsensus nasional mengkhendaki hal tersebut. Berdasarkan Pasal 130 Konstitusi Korea Selatan, referendum secara nasional menjadi mekanisme wajib yang harus dilakukan untuk mengubah Konstitusinya. Dalam hal ini, MK Korea Selatan tidak menemukan adanya mekanisme referendum yang telah ditempuh oleh Pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara yang secara tidak tertulis sebenarnya menjadi bagian di dalam konstitusi mereka (vide Putusan MK Korea Selatan 2004Hun-Ma554).

Menindaklanjuti Putusan MK tersebut, Presiden Roh akhirnya memodifikasi rencana pemindahan ibu kota dengan merelokasi sebagian besar Kementerian dan Lembaga Negara ke Sejong sebagai kota khusus administrasi, dan bukan sebagai ibu kota negara. Rencana ini kemudian diuji kembali ke MK Korea Selatan pada 2005, namun MK menolak permohonan tersebut. Kandas di MK, partai oposisi yang berhasil merebut kursi kepresidenan menolak gagasan kota khusus administratif dengan alasan akan mengurangi daya saing global kota Seoul yang berdampak pada inefisiensi. Presiden Lee Myung-bak menginginkan agar Sejong dijadikan sebagai “industrial, science and education hub”. Namun usulan ini ditolak oleh Majelis Nasional Korea Selatan.

Sejak Juli 2012, Sejong memperoleh status sebagai Kota Otonomi Khusus yang dibangun dengan konsep “Sejong Smart City.” Pada April 2013, Pemerintah Kota Putrajaya, Malaysia menandatangani Letter of Intent (LOI) dengan Pemerintah Kota Sejong sebagai momentum kerja sama antara keduanya.

Kota Hukum di Jerman

Berdasarkan dokumen perencanaan yang dikeluarkan oleh Kementerian PPN/Bappenas, komponen utama pembiayaan fisik pembangunan ibu kota negara meliputi gedung-gedung legislatif, eksekutif, yudikatif, Istana Negara, dan bangunan strategis TNI/POLRI. Estimasi pembiayaan untuk komponen utama ini sebesar Rp 51,1 triliun (10,96%). Artinya, semua fungsi pemerintahan rencnanya akan ditempatkan pada satu lokasi yang sama, sebagaimana umumnya terjadi di negara-negara lain.

Namun, terdapat fakta dan praktik menarik dari negara Jerman yang membedakan pelaksanaan fungsi yudikatif dengan lokasi kota yang terpisah dari fungsi eksekutif dan legislatif. Dengan kata lain, Jerman sengaja memisahkan lembaga-lembaga peradilannya dalam satu kota yang berbeda dengan lembaga parlemen dan eksekutifnya. Adalah Karlsruhe, kota yang dibangun pada 1715 pada masa bangsawan Karl III Wilhelm, yang menjadi “Kota Hukum” di Jerman.

Kota ini berjarak 526 kilometers dari Berlin sebagai ibu kota negara, dan berjarak 297 kilometers dari Munich yang dikenal sebagai salah satu kota bisnis di Jerman. Di Karlsruhe ini, berdiri Mahkamah Konstitusi Federal (Bundesverfassungsgericht) dan Mahkamah Agung Federal (Bundesgerichtsof). Selain itu, terdapat juga Pengadilan Sosial Federal (Bundessozialgericht), Kejaksaan Agung Federal (Generalbundesanwalt beim Bundesgerichtshof), dan beberapa lembaga peradilan lainnya.

Saat Penulis mendampingi Prof. Jimly Asshiddiqie (Ketua MK Indonesia 2003-2008) melakukan pertemuan terbatas pada 2008 di Karlsruhe, Hans-Jürgen Papier (Ketua MK Federal Jerman 2002-2010) memberikan penjelasan makna filosofis dari terpisahnya lembaga-lembaga peradilan Jerman yang berlokasi terpisah. Menurutnya, dengan terpisahnya lokasi Mahkamah Konstitusi dan lembaga peradilan tertinggi lainnya dari legislatif dan eksekutif, maka diharapkan dapat meminimalisir adanya intervensi dari para penguasa ataupun pelaku bisnis. Karlsruhe memang kota yang sangat sepi dan jauh dari keramaian serta hiruk-pikuk aktivitas politik ataupun ekonomi. Dengan demikian, para penegak hukum di Karlsruhe, khususnya para hakim, dapat berkonsentrasi penuh dalam menangani setiap perkara.

Oleh karenanya, dengan pertimbangan memperkuat independensi peradilan dan memberikan kemudahan akses keadilan (access to justice) kepada warga negara, terdapat juga gagasan untuk memisahkan lokasi lembaga-lembaga peradilan dengan lembaga legislatif dan eksekutif di Indonesia. Tentunya gagasan ini perlu disambut dengan tangan terbuka, namun tetap dikaji lebih lanjut dengan mempertimbangkan cost and benefit analysis. Sebab, hal yang berjalan baik di negara lain tidak serta merta dapat diadopsi di Indonesia karena adanya perbedaan latar belakang historis, budaya, sosial-masyarakat, dan sistem hukum.

*Pan Mohamad Faiz, Peneliti Senior di Mahkamah Konstitusi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s