Penguatan Kelembagaan: Refleksi 17 Tahun Mahkamah Konstitusi

PENGUATAN KELEMBAGAAN: Refleksi 17 Tahun Mahkamah Konstitusi

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 162, Agustus 2020, hlm. 94-95 – Download)

Pada 13 Agustus 2020, Mahkamah Konstitusi (MK) genap memasuki usia 17 tahun. Sejak masa pembentukannya, MK mengalami dinamika yang panjang dan berliku. Perjalanannya bagaikan roller coaster yang tak jarang membuat para penumpang dan orang-orang yang melihatnya menjadi histeria. Ada kalanya MK disanjung tinggi bak seorang pahlawan konstitusi. Malangnya, MK juga pernah terpuruk hingga ke titik nadir. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap MK bergerak fluktuatif.

Akan tetapi, kedewasaan ini tentunya memerlukan kematangan dalam berpikir dan bertindak. Kebebasan yang dimilikinya juga harus dibarengi dengan rasa tanggung jawab. Lebih penting lagi, ia tak boleh menunda untuk setidaknya menyusun rencana dan jalan hidupnya ke depan, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

Dari perspektif psikologis manusia, usia 17 tahun umumnya menjadi batasan bagi seseorang untuk dianggap telah dewasa. Secara hukum, ia menjadi subjek yang memperoleh kepercayaan dan kebebasan untuk melakukan tindakan hukum. Misalnya, memiliki hak pilih dalam pemilu atau memperoleh SIM untuk mengemudi.

Begitu pula dengan MK yang harus mempersiapkan diri untuk memikul beban tanggung jawab yang bisa jadi akan jauh lebih berat dari sebelumnya. Untuk itu, diperlukan penguatan kelembagaan yang tepat sasaran dan benar-benar sesuai dengan kebutuhannya. Artikel ini akan membahas penguatan kelembagaan yang dibagi ke dalam dua kategori, yaitu institusional dan fungsional.

Penguatan Institusional

Banyak yang mengibaratkan hakim konstitusi seperti manusia setengah dewa. Putusan yang dijatuhkannya menyala bagaikan idu geni (ludah api). Sebab, sifat putusannya yang final dan mengikat memiliki efek yang begitu besar. Karenanya menjadi suatu keniscayaan, sembilan kursi hakim konstitusi harus diisi oleh para negarawan yang berintegritas tinggi dan memiliki keahlian untuk memutus perkara-perkara konstitusi.

Penyempurnaan mekanisme seleksi menjadi pintu pertama untuk memastikan terpilihnya hakim konstitusi yang sesuai dengan kriteria di atas. Hingga saat ini, tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi dari setiap lembaga pengusul belum memiliki standar yang sama. Agar terpenuhinya persyaratan pemilihan yang telah digariskan oleh UU MK, seleksi harus dilakukan secara lebih transparan, partisipatif, obyektif, dan akuntabel. Salah satunya caranya dapat ditempuh dengan membentuk panitia seleksi.

Untuk memperkuat independensi maka masa jabatan hakim konstitusi sebaiknya tidak lagi menggunakan periodisasi. Hal ini diperlukan untuk menghindari adanya intervensi dari lembaga pengusul terhadap hakim konstitusi yang akan diperpanjang masa jabatannya. Dengan demikian, masa jabatannya pun perlu otomatis disesuaikan dengan periode yang tidak terlalu pendek, namun juga tidak terlalu panjang.

Kemudian, untuk menghindari runtuhnya kembali martabat dan kewibawaan MK, keberadaan Dewan Etik harus diperkuat, baik landasan yuridisnya di dalam UU MK maupun sistem pendukungnya. Guna meningkatkan kualitas putusan, hakim konstitusi juga perlu didukung dengan keberadaan justice office yang lebih kuat dan memadai.

Berkaitan dengan proses penanganan perkara, penormaan hukum acara ke dalam UU MK menjadi kebutuhan yang tak kalah pentingnya. Penormaan tersebut akan semakin memberikan kepastian bagi para pihak dalam menjalani pemeriksaan perkara. Salah satu hal yang diharapkan oleh para pencari keadilan dan masyarakat luas, MK juga dapat memberikan batas waktu dalam memutus perkara pengujian undang-undang (PUU).

Dalam setahun terakhir, MK sebenarnya telah mampu menyelesaikan sekitar 86% perkara PUU dalam waktu kurang dari enam bulan. Karena itu, pemberian batas waktu sangat terbuka untuk dilakukan dengan tetap memperhitungkan tingkat kompleksitas perkara, termasuk untuk perkara pengujian Perpu.

Rekonstruksi Kewenangan

Sebagai negara yang menganut supremasi konstitusi, Indonesia harus membangun mekanisme yang memastikan agar setiap keputusan, kebijakan, dan tindakan dari pejabat publik tidak bertentangan dengan konstitusi, UUD 1945. Dalam perspektif studi perbandingan, terdapat beberapa kewenangan penting yang dimiliki oleh banyak peradilan konstitusi di dunia, namun justru tidak dimiliki oleh MK Indonesia.

Kewenangan memeriksa pengaduan konstitusional (constitutional complaint), misalnya, merupakan jenis kewenangan yang justru paling banyak menyumbangkan perkara bagi MK di Turki, Jerman, Korea Selatan, dan peradilan konstitusi lainnya. Selain itu, pertanyaan konstitusional (constitutional question) menjadi kewenangan penting lainnya yang juga tak dimiliki oleh MK Indonesia. Padahal, kewenangan ini bisa menjadi jembatan bagi hakim di peradilan umum untuk memastikan apakah undang-undang atau peraturan yang mereka gunakan sebagai dasar untuk memeriksa perkara adalah konstitusional atau tidak.

Selanjutnya, agar kekosongan mekanisme untuk menguji konstitusionalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat teratasi maka objek pengujian konstitusionalitas di MK perlu diperluas tak lagi sebatas undang-undang. Sebagai contoh, apabila terdapat Peraturan Daerah (Perda) yang bertentangan dengan UUD 1945, saat ini tidak tersedia mekanisme untuk mengujinya. Sebab, Perda hanya dapat diuji terhadap UU di Mahkamah Agung terkait legalitasnya, bukan konstitusionalitasnya.

Gagasan untuk menguji rancangan undang-undang ratifikasi perjanjian internasional di MK juga patut untuk dipertimbangkan. Hal ini diperlukan agar diperoleh kepastian bagi pemerintah tatkala hendak menjadi pihak dalam perjanjian internasional. Selain itu, model constitutional preview terbatas ini juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya implikasi luas manakala UU ratifikasi perjanjian yang telah disahkan kemudian dibatalkan oleh MK di tengah pelaksanaanya. Mekanisme preventif seperti ini telah menjadi kewenangan di banyak peradilan konstitusi, seperti Hongaria, Jerman, Kazakhstan, Kirgizstan, Mongolia, Rusia, dan Tajikistan.

Langkah-langkah penguatan kelembagaan di atas merupakan isu-isu pokok yang sejatinya perlu mendapatkan perhatian dari banyak pihak, khususnya para pengambil kebijakan. Tentunya penguatan kelembagaan terkait dengan kewenangan bisa dilakukan secara bertahap. Sebab, MK juga masih perlu mempersiapkan diri secara struktur dan sumber daya manusia agar mampu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara yang akan diterima dengan sebaik-baiknya.

Pengalaman selama 17 tahun tentunya membuat MK semakin dewasa. Walakin, kedewasaan tak sekadar didasarkan pada faktor usianya. Roy Bernnet mengatakan, “Maturity comes when you stop making excuse and start making changes”. Masih banyak hal yang perlu disempurnakan agar MK bisa berfungsi lebih optimal. Untuk itu, perbaikan mutlak diperlukan secara komprehensif, dan tidak sekadar parsial.

Selamat Hari Ulang Tahun ke-17 Mahkamah Konstitusi. Semoga semakin kokoh sebagai benteng terakhir (the last bastion) dalam menjaga konstitusi.

* Pan Mohamad Faiz, Ph.D. Peneliti Senior Mahkamah Konstitusi

1 thought on “Penguatan Kelembagaan: Refleksi 17 Tahun Mahkamah Konstitusi

  1. Pingback: Penguatan Kelembagaan: Refleksi 17 Tahun Mahkamah Konstitusi - Legal Talk

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s