Quo Vadis 10 Tahun Asosiasi Mahkamah Konstitusi se-Asia

QUO VADIS 10 TAHUN ASOSIASI MAHKAMAH KONSTITUSI se-ASIA

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 161, Juli 2020, hlm. 68-69 – Download)

I blinked my eyes and in an instant, decades had passed”, ujar John Mark Green dalam kumpulan puisinya berjudul Taste the Wild Wonder. Penggalan puisi tersebut mengingatkan penulis pada perjalanan Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC) atau Asosiasi Mahkamah Konstitusi dan Institusi Sejenisnya se-Asia. Tanpa terasa, Asosiasi ini telah memasuki usia satu dekade sejak pendiriannya.

Meskipun kesepakatan untuk mendirikan AACC antara beberapa peradilan konstitusi terjadi di Mongolia pada September 2005, namun embrio awal pendirian tersebut sebenarnya berasal dari 1st Conference of Asian Constitutional Court Judges yang digelar di Jakarta pada September 2003. Saat itu, para Hakim Konstitusi se-Asia berkumpul untuk pertama kalinya guna mendiskusikan tema “Present Status and Future Development of Constitutional Jurisdiction in Asia”.

Setelah melalui serangkaian Preparatory Committee Meetings selama empat tahun berturut-turut (2008-2010), AACC akhirnya terbentuk secara resmi berdasarkan the Jakarta Declaration pada 12 Juli 2010. Deklarasi ini membawa arti penting bagi Indonesia sebagai tuan rumah pembentukan AACC.

Di masa awal, keanggotaan AACC hanya berjumlah tujuh negara, yaitu Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Mongolia, Filipina, Thailand, dan Uzbekistan. Namun kini, AACC telah memiliki anggota sebanyak 18 (delapan belas) negara. Jumlah negara anggota ini diprediksi akan terus bertambah di masa mendatang, baik dari negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi, Dewan Konstitusi, Tribunal Konstitusi, ataupun Mahkamah Agung.

Secara historis, keterlibatan Indonesia di dalam AACC tidak saja terbatas pada persiapan pembentukan ataupun pendeklarasiannya. Tetapi, Mahkamah Konstitusi Indonesia pernah menjadi Presiden AACC periode 2014-2017. Selain itu, Indonesia juga diamanahkan sebagai Sekretariat Tetap AACC untuk Perencanaan dan Koordinasi. Artinya, perputaran roda organisasi AACC banyak dipengaruhi oleh kontribusi dan keputusan Mahkamah Konstitusi Indonesia.

Apabila Indonesia telah banyak memberikan kontribusi bagi eksistensi AACC maka pertanyaan sebaliknya yaitu sejauh mana AACC telah memberikan manfaat bagi Indonesia dalam satu dekade terakhir ini?

Manfaat Balik

Sesuai dengan fungsinya yang tercantum di dalam Pasal 4 Statuta AACC, Asosiasi ini kerap mengadakan Simposium, Seminar, ataupun Kursus Internasional. Dalam berbagai kegiatan tersebut, Mahkamah Konstitusi Indonesia memang mendapatkan banyak pengalaman dan informasi terkini mengenai ajudikasi konstitusional dari kasus-kasus yang diputus oleh peradilan konstitusi di Asia.

Namun demikian, manfaat yang diperoleh tersebut menurut penulis tidaklah cukup. Banyak hal yang sejatinya masih dapat dioptimalkan dan digali lebih dalam, antara lain, untuk memberikan alternatif solusi dan diskursus nasional dan penguatan kelembagaan Mahkamah Konstitusi Indonesia itu sendiri.

Pertama, selama ini para akademisi ataupun pengambil kebijakan lebih banyak merujuk pada peradilan konstitusi di kawasan Eropa sebagai objek studi ataupun kajiannya. Padahal, peradilan konstitusi di Asia juga memiliki berbagai keunggulan. Terlebih lagi, kondisi sosial-politik di sebagian negara-negara Asia memiliki kemiripan satu sama lainnya.

Misalnya, pembentuk undang-undang bisa merujuk pada peradilan konstitusi di Asia sebagai salah satu kajian perbandingan ketika hendak merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, khususnya terkait dengan persyaratan calon Hakim Konstitusi dan masa jabatannya. Begitu pula halnya dengan praktik dan pengalaman negara-negara Asia dalam pembentukan Panitia Seleksi untuk memilih calon Hakim Konstitusi yang bisa dipelajari lebih lanjut.

Selanjutnya, berdasarkan hasil penelusuran penulis, peradilan konstitusi di Asia setidaknya memiliki sembilan varian kewenangan berbeda, yakni: (1) Penafsiran konstitusi (constitutional interpretation); (2) Pengujian konstitusionalitas (constitutional review); (3) Pemakzulan (impeachment); (4) Penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara (state authority dispute); (5) Penyelesaian sengketa pemilihan umum (election dispute); (6) Penilaian terhadap penyelenggaran referendum (referendum); (7) Pembubaran partai politik (political party dissolution); (8) Pengaduan konstitusional (constitutional complaint); dan (9) Pertanyaan konstitusional (constitutional question).

Dalam konteks ini, merekonstruksi kembali kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan variasi kewenangan konstitusional di atas dapat dilakukan apabila Indonesia hendak menegakkan prinsip supremasi konstitusi secara sungguh-sungguh. Beberapa negara di Asia bahkan memiliki kewenangan pengujian yang khusus dan berbeda dengan negara lainnya yang juga dapat dipertimbangkan.

Misalnya, kewenangan untuk melakukan pengujian konstitusionalitas perjanjian internasional yang belum diberlakukan (Kazakhstan, Kirgizstan, Mongolia, Rusia, dan Tajikistan), pengujian rancangan undang-undang secara umum (Kazakhstan, Kamboja, Tajikistan, Thailand, dan Turki), pengujian rancangan undang-undang perubahan konstitusi dan hasil amendemen konstitusi (Kirgizstan, Tajikistan, Rusia).

Kedua, dari perspektif penguatan internal kelembagaan, Mahkamah Konstitusi Indonesia bisa mengambil pengalaman dari berbagai peradilan konstitusi di Asia yang memiliki struktur organisasi yang didominasi oleh fungsi dukungan substantif bagi Hakim Konstitusi dalam penanganan perkara-perkara konstitusional, seperti di Korea Selatan, Taiwan, dan Turki. Mereka membagi keahlian dari masing-masing unit pendukungnya secara khusus, mulai dari para ahli di bidang hukum konstitusi, hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum perdata, hingga hukum internasional.

Kemudian, salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia terletak pada tingkat kepatuhan addressat dalam melaksanakan putusan-putusannya. Terhadap hal ini, perlu kiranya untuk merujuk peradilan konstitusi yang memiliki bagian atau unit khusus terkait dengan analisis dan pengawasan eksekusi putusan, seperti di Azerbaijan, Kirgizstan, dan Uzbekistan. Penyelesaian terhadap permasalahan ini menjadi hal yang krusial dan tidak boleh ditunda-tunda lagi. Sebab, putusan merupakan mahkota dari suatu pengadilan yang hanya akan terjaga apabila putusan tersebut dilaksanakan.

Akses Publik Internasional

Peran dan kiprah Mahkamah Konstitusi Indonesia dapat dikatakan relatif diketahui dengan baik dan secara luas oleh publik di dalam negeri. Akan tetapi, peran dan kiprah tersebut masih dirasa kurang terlihat oleh publik di luar negeri, terlepas dari kesuksesan dalam berbagai penyelenggaraan kegiatan-kegiatan internasionalnya.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Dalam satu dekade terakhir, Mahkamah Konstitusi Indonesia dirasa belum maksimal menyediakan akses bagi publik internasional dalam hal pencarian informasi dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dalam bahasa internasional.

Jendela pertama bagi publik internasional untuk mengetahui dan memahami Mahkamah Konstitusi Indonesia tentunya melalui laman resmi (official website). Apabila laman dalam bahasa Inggris ini tidak tersedia atau tidak terkelola dengan baik maka sulit bagi publik internasional untuk mengetahui perkembangan Mahkamah Konstitusi Indonesia secara berkala. Selain itu, putusan-putusan monumental dan hasil penelitian pilihan dari Mahkamah Konstitusi Indonesia sudah seharusnya tersedia di dalam bahasa internasional, atau setidaknya dalam bahasa Inggris.

Kemudian, penting untuk menjalin kerja sama dengan jejaring akademis di perguruan tinggi guna mendorong terbitnya buku-buku ilmiah dan artikel jurnal dalam bahasa Inggris terkait dengan Mahkamah Konstitusi Indonesia. Pertimbangannya, agar tersedia literatur yang cukup tentang Mahkamah Konstitusi Indonesia bagi para hakim dan akademisi internasional untuk dijadikan sumber rujukan dan bahan bacaan.

Sepuluh tahun bukanlah usia yang muda. Dengan menerapkan langkah-langkah di atas maka Mahkamah Konstitusi diharapkan akan dapat memaksimalkan manfaat balik yang diterimanya selama bergabung di dalam AACC, baik untuk kepentingan nasional maupun penguatan internal kelembagaan.

* Pan Mohamad Faiz, Ph.D. Peneliti Senior di Mahkamah Konstitusi

1 thought on “Quo Vadis 10 Tahun Asosiasi Mahkamah Konstitusi se-Asia

  1. Pingback: Quo Vadis 10 Tahun Asosiasi Mahkamah Konstitusi se-Asia - Legal Talk

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s