MENGUJI KONSTITUSIONALITAS AMENDEMEN KONSTITUSI
(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 164, Oktober 2020, hlm. 90-91 – Download)
Doktrin bernegara yang diterima oleh banyak pihak, konstitusi harus ditaati dan dijalankan dengan sungguh-sungguh, terlepas dari adanya kelemahan dan kekurangan terhadap isinya. Hal yang sama juga berlaku terhadap apapun hasil dari amendemen konstitusi. Lembaga-lembaga negara, khususnya lembaga peradilan, sejatinya turut mengawal dan menjaga konstitusi hasil amendemen tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana jika amendemen konstitusi tersebut justru menjauhkan identitas konstitusi (constitutional identity)atau meruntuhkan struktur dasar (basic structure)dari suatu negara? Apakah terbuka peluang untuk membatalkan amendemen konstitusi tersebut melalui jalur pengadilan? Artikel ini akan menganalisis praktik pengujian konstitusionalitas amendemen konstitusi di negara lain dengan menggunakan studi perbandingan konstitusi.
Identitas Konstitusi
Tidak ada definisi tunggal mengenai apa yang dimaksud dengan identitas konstitusi. Michael Rosenfeld (2012), misalnya, mengartikan identitas konstitusi sebagai fitur aktual dan ketentuan khusus di dalam konstitusi. Rosenfeld memberikan contohnya mulai dari sistem pemerintahan dan bentuk negara, hingga hubungan antara konstitusi dan budaya, serta identitas lainnya yang relevan, seperti identitas kebangsaan, agama, dan ideologi.
Biljana Kostadinov (2012) membagi konsep identitas konstitusi ini menjadi dua, yaitu: Pertama, bersifat psikologis dan sosiologis untuk hal-hal yang berkaitan dengan identitas nasional suatu negara serta nilai-nilai kolektif yang menyatukan suatu bangsa dan negara. Kedua, bersifat legal untuk hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip ketatanegaraan yang bersifat pokok, namun bukan berkaitan dengan identitas bangsa atau budaya, melainkan seperti struktur fundamental dalam konstitusi.
Dalam bukunya “Unconstitutional Constitutional Amendment” (2016), Yaniv Roznai menghubungkan identitas konstitusi tersebut dengan klausul yang disebut unamendable provisions, yaituketentuan di dalam konstitusi yang tidak dapat diamendemen. Para perumus atau pengubah konstitusi sengaja memasukan klausul ini agar di kemudian hari ketentuan tertentu tidak dapat diamendemen. Berdasarkan hasil penelitian Roznai, lebih dari 40% konstitusi negara dari berbagai belahan dunia secara eksplisit memiliki unamendable provisions.
Menariknya, manakala amendemen konstitusi telah mengakibatkan hilangnya identitas konstitusi atau diubahnya unamendable provisions, maka amendemen tersebut dapat saja dibatalkan oleh peradilan konstitusi, seperti di Brasil, Chile, Kolombia, Jerman, dan Turki. Pembatalan hasil amendemen tersebut dilakukan melalui mekanisme pengujian konstitusionalitas, baik secara formil maupun materiil.
Doktrin Struktur Dasar
Selain identitas konstitusi, doktrin struktur dasar juga seringkali dijadikan pertimbangan untuk menentukan fitur-fitur dasar di dalam konstitusi yang tidak dapat diubah atau dihilangkan melalui amendemen konstitusi. Fitur-fitur dasar dari konstitusi tersebut tidak secara eksplisit didefinisikan, namun ditentukan dan dikembangkan oleh lembaga pengadilan.
Mahkamah Agung (MA) India merupakan lembaga peradilan yang pertama kali memperkenalkan doktrin ini dalam kasus Kesavananda Bharati v. State of Kerala (1973). MA India memosisikan betapa pentingnya struktur dasar dengan menyatakan, “basic structure of the Constitution could not be abrogated even by a constitutional amendment”.
Beberapa struktur dasar yang dimaksud oleh MA India, antara lain, yaitu supremasi konstitusi, negara hukum, pemisahan kekuasaan, tujuan bernegara di dalam Pembukaan Konstitusi, pengujian peraturan perundang-undangan, dan hak-hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi.
Kemudian, dalam kasus Indira Nehru Gandi v. Raj Narain (1975) dan Minerva Mills v. Union of India (1980), MA India kembali menggunakan doktrin struktur dasar ini untuk membatalkan amendemen Konstitusi India guna membuka jalan bagi pemulihan demokrasi di negaranya.
Doktrin struktur dasar kini terus berkembang dan diadopsi oleh banyak negara, misalnya di Bangladesh, Malaysia, Pakistan, Singapura, dan Sri Lanka. Doktrin serupa dengan istilah yang berbeda juga diterapkan di negara-negara lainnya. Carlos Bernal (2013) menyebutnya sebagai “constitutional replacement doctrine” di Kolombia.
Praktik di Indonesia
Dalam sistem dan praktik ketatanegaraan di Indonesia, kajian terhadap identitas konstitusi dan doktrin struktur dasar belum begitu berkembang. Padahal, Indonesia memiliki banyak ciri khas yang dapat dianggap sebagai identitas konstitusi. Jimly Asshiddiqie (2020) mengidentifikasi Pancasila sebagai salah satu identitas konstitusi berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Konstitusi Indonesia juga memiliki unamendable provision, yaitu pada Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan, “Khusus tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Pertanyaannya, benarkah klausul tersebut tidak dapat diubah sama sekali?
Adanya unamendable provision jelas akan semakin mempersulit terjadinya perubahan tersebut. Sebab, para pengubah konstitusi memiliki tanggung jawab secara moral dan politik apabila akan mengubah ketentuan tersebut.
Namun demikian, menurut Carl Schmitt, secara politis setiap ketentuan di dalam konstitusi bisa saja diubah, hanya saja bergantung pada faktor konfigurasi politik yang berkuasa pada suatu waktu. Akan tetapi secara teknis, diperlukan amendemen secara bertahap dengan mengubah unamendable provision terlebih dahulu.
Apabila identitas konstitusi seperti Pancasila dan bentuk negara kesatuan sampai diubah, lembaga manakah yang dapat menguji konstitusionalitas amendemen konstitusi di Indonesia? Atau misalnya, terjadi amendemen konstitusi di penghujung masa jabatan Presiden untuk mengubah batasan periode masa jabatannya, dari maksimal dua periode menjadi tiga periode atau lebih, sebagaimana peristiwa ini pernah terjadi di Kolombia dan Rusia.
Secara hukum positif, mekanisme untuk menguji konstitusionalitas amendemen konstitusi tidak tersedia. Pun demikian, belum ada yurisprudensi atau doktrin yang dikembangkan dari lembaga peradilan mana pun, termasuk Mahkamah Konstitusi (MK), dalam menguji hasil amendemen konstitusi di Indonesia.
Di banyak negara, pembatalan hasil amendemen konstitusi dapat mudah dilakukan karena dasar hukum untuk mengamendemen konstitusinya dituangkan dalam bentuk produk undang-undang. Sedangkan, dasar hukum perubahan UUD di Indonesia menggunakan produk Ketetapan MPR.
Dalam hierarki perundang-undangan, Ketetapan MPR ini memiliki kedudukan di atas Undang-Undang. Karenanya, MK dianggap tidak berwenang untuk menguji konstitusionalitas Ketetapan MPR. Kecuali, MK melakukan terobosan melalui penafsiran konstitusinya dengan menilai bahwa Ketetapan MPR juga merupakan objek pengujian yang dapat diperiksa, diadili, dan diputus olehnya.
Jika penafsiran konstitusi tersebut dilakukan, maka MK di masa mendatang tidak saja sekadar berfungsi untuk mengawal konstitusi an sich. Namun lebih dari itu, MK juga akan mengawal identitas konstitusi dan struktur dasar bernegara yang hilang atau berubah akibat terjadinya amendemen konstitusi.
* Pan Mohamad Faiz, Ph.D. Peneliti Senior Mahkamah Konstitusi
Pingback: Menguji Konstitusionalitas Amendemen Konstitusi | Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L., Ph.D. - Legal Talk