MASA DEPAN CONSTITUTIONAL COMPLAINT
(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 165, November 2020, hlm. 116-117 – Download)
Kajian mengenai pengaduan konstitusional atau lebih dikenal dengan istilah constitutional complaint bukanlah hal yang baru dalam ranah studi hukum dan konstitusi. Penulis sendiri pertama kali menuliskan artikel mengenai constitutional complaint pada 28 Februari 2006. Saat itu, Penulis membuat artikel dengan tajuk “Menabur Benih Constitutional Complaint”. Tulisan tersebut terinspirasi dari dissenting opinion yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan yang menyayangkan ketiadaan constitutional complaint dalam sistem hukum di Indonesia.
Pertanyaannya, setelah hampir 15 tahun sejak artikel tersebut dipublikasikan, bagaimana perkembangan dari benih yang telah ditaburkan itu? Jangankan mulai berbuah, tunasnya pun mungkin tidak terlalu terlihat. Namun, akar kajian dari constitutional complaint tersebut dapat dikatakan semakin kuat dan saling berkelindan dengan gagasan-gagasan serupa yang disampaikan oleh banyak pihak lainnya.
Secara sederhana, Victor Ferreres Comella (2004) mendefinisikan constitutional complaint sebagai suatu pengaduan kepada Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh perseorangan atau badan hukum yang menganggap hak fundamental atau hak konstitusionalnya telah dilanggar oleh pejabat publik. Setidaknya terdapat empat karakteristik mengenai constitutional complaint yang diungkapkan oleh Gerhard Dannemann (1994), yaitu:
Pertama, tersedia upaya pemulihan melalui pengadilan terhadap pelanggaran hak konstitusional. Kedua, proses persidangan terpisah yang hanya berkaitan dengan konstitusionalitas dari suatu tindakan, bukan isu hukum lain yang berhubungan dengan perkara. Ketiga, dapat diajukan oleh perseorangan yang terkena dampak langsung dari suatu tindakan. Keempat, pengadilan yang memutuskan perkara pengaduan konstitusional memiliki kewenangan untuk mengembalikan hak-hak korban.
Atas pemikiran tersebut, artikel ini akan membahas mengenai perkembangan terkini mengenai kemungkinan diadopsinya constitutional complaint menjadi salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) di masa mendatang.
Perbandingan Kawasan
Berbagai negara di seluruh kawasan dunia yang memiliki MK atau peradilan konstitusi sejenisnya telah memiliki kewenangan untuk mengadili perkara constitutional complaint. Misalnya, Austria, Jerman, dan Spanyol merupakan contoh negara-negara dari kawasan Eropa Barat, sedangkan Hongaria, Kroasia, Poland, Republik Ceko, Rusia, dan Ukraina adalah contoh-contoh negara dari kawasan Eropa Timur.
Sementara itu, di kawasan Amerika Latin terdapat negara-negara seperti Chile, Kolombia, Ekuador, Meksiko, dan Venezuela, sedangkan di kawasan Asia-Afrika terdapat negara seperti Azerbaijan, Korea Selatan, Turki, Thailand, dan Afrika Selatan.
Negara-negara tersebut memiliki karakteristik dan kriteria yang tidak sepenuhnya sama mengenai penerapan constitutional complaint. Dari segi pengaturan dan pemberian kewenangan, terdapat dua model penormaan constitutional complaint, yaitu:
Pertama, terdapat negara-negara yang secara tegas mengatur mengenai constitutional complaint di dalam konstitusinya. Kedua, terdapat juga negara-negara yang sekadar mencantumkan kewenangan umum untuk melindungi konstitusi, namun perihal constitutional complaint tersebut kemudian diatur secara tegas dan rinci di dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya, salah satu perdebatan yang seringkali muncul dalam kajian constitutional complaint adalah mengenai objek yang dapat menjadi perkara. Terkait hal ini, terdapat negara-negara yang memasukan putusan pengadilan menjadi objek yang dapat diperiksa oleh MK, seperti Jerman, Spanyol, dan Turki. Sebaliknya, juga terdapat negara-negara yang mengecualikan putusan pengadilan menjadi objek perkara constitutional complaint, misalnya Austria dan Korea Selatan.
Dari sisi pengadopsiannya, terdapat pandangan dari mantan Hakim Konstitusi dan beberapa pihak yang mengatakan bahwa MK sebenarnya sudah memiliki kewenangan constitutional complaint. Namun, hal tersebut direalisasikan melalui pelaksanaan kewenangan pengujian undang-undang.
Pendapat demikian hendaknya dijernihkan dengan merujuk pada pembagian jenis pengaduan. Venice Commission (2001) membagi jenis pengaduan menjadi: (1) normative complaint;dan (2) full complaint. Perbedaannya, normative complaint ditujukan terhadap undang-undang, sedangkan full complaint ditujukan tidak saja terhadap undang-undang, namun juga tindakan individual pejabat negara.
Dalam konteks ini, pengujian undang-undang masuk dalam kategori normative complaint yang hanya terbatas menguji konstitusionalitas undang-undang, bukan konstitusionalitas tindakan dan keputusan pejabat negara.
Perbandingan Perkara
Tantangan terberat bagi MK yang telah menjalankan kewenangan constitutional complaint adalah tingginya jumlah perkara yang diterima. Sebagai contoh, MK Jerman menerima sekitar 5.000-6.000 permohonan constitutional complaint setiap tahunnya, sedangkan MK Korea Selatan menerima sekitar 1.000-2.000 permohonan constitutional complaint per tahunnya.
Berbeda lagi dengan MK Turki, sejak mengadopsi kewenangan individual application – istilah lain yang sepadan dengan constitutional complaint – pasca amendemen Konstitusi Turki pada tahun 2010, mereka menerima sekitar 45.000 permohonan individual application dalam dua tahun pertamanya.
Jika dibandingkan dengan jumlah perkara yang diterima oleh MK Indonesia, jumlah perkara yang ditanganinya tidaklah seberapa. Setelah 17 tahun pendiriannya pada tahun 2003, MK baru menjatuhkan putusan sekitar 3.047 perkara untuk seluruh jenis kewenangannya. Apabila dirata-ratakan maka MK Indonesia hanya memutus sekitar 180 perkara setiap tahunnya. Perbandingan jumlah perkara yang sangat kontras dengan negara-negara lainnya.
Apabila di masa mendatang constitutional complaint akan diadopsi menjadi kewenangan MK Indonesia, untuk mengantisipasi melonjaknya beban perkara yang begitu besar maka dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut.
Pertama, seluruh permohonan yang diajukan sudah harus melewati terlebih dahulu seluruh upaya hukum yang tersedia (exhausted). Kedua, permohonan harus diajukan oleh pemohon yang terdampak langsung dan menderita kerugian konstitusional (directly suffered). Ketiga, perlu diberikan tenggang waktu untuk mengajukan permohonan constitutional complaint dengan alternatif antara enam minggu sampai dengan dua belas minggu.
Selain ketiga langkah tersebut, MK Indonesia dapat juga mengambil pengalaman dari MK Turki yang memperkuat struktur kelembagaannya terlebih dahulu. Agar dapat menangani individual application dengan sebaik-baiknya, MK Turki menambah jumlah hakim konstitusi dan peneliti hakimnya (judge rapporteurs). Perubahan tersebut terjadidari 11 Hakim Konstitusi menjadi 17 Hakim Konstitusi serta dari 20 peneliti hakim menjadi 77 peneliti hakim dan 25 asisten peneliti hakim.
Dari sisi hukum acara, MK juga harus secara khusus menyiapkan terlebih dahulu prosedur penanganan perkara constitutional complaint. Misalnya, MK Korea Selatan membentuk panel hakim untuk menangani perkara constitutional complaint, sedangkan MK Jerman membuat tahapan semacam dismissal process. Sementara itu, MK Turki membentuk pembagian kamar dan membagi tugas hakim dan asisten peneliti yang khusus menangani perkara individual application.
Secercah Harapan
Bagi para pendukung gagasan pengadopsian constitutional complaint ke dalam sistem hukum Indonesia, terdapat angin segar yang datang dari DPR selaku pemegang kekuasaan legislasi. Dalam salah satu Focus Group Discussion (FGD) mengenai constitutional complaint yang diselenggarakan pada 16 November 2020, beberapa anggota Komisi III DPR secara gamblang dan terbuka menyatakan kesetujuannya di hadapan publik untuk memberikan kewenangan constitutional complaint kepada MK.
Kesetujuan ini nampaknya datang dari pengalaman mereka saat masih menjadi advokat yang sering berperkara di MK dan menemukan banyak perkara yang berkarakteristik constitutional complaint, namun tidak dapat ditangani oleh MK karena bukan menjadi kewenangannya. Padahal, sebagian perkara tersebut sangat berkaitan erat dengan pemenuhan dan perlindungan hak konstitusional warga negara.
Menurut mereka, sebagian besar anggota Komisi III DPR yang membidani bidang hukum sebenarnya telah sepakat untuk menambahkan kewenangan constitutional complaint di dalam revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Namun, muncul beberapa pertanyaan dan kekhawatiran yang belum dapat terjawab secara komprehensif pada saat perumusannya, sehingga usulan tersebut menjadi mentah kembali.
Beberapa isu krusial yang mengemuka dan tak terjawab tuntas pada saat pembahasan tersebut, antara lain, yakni terkait dengan objek perkara constitutional complaint apakah termasuk putusan pengadilan atau tidak, sejauh mana kesiapan MK dalam menerima lonjakan perkara, dan bagaimana mengantisipasi terjadinya overlapping penanganan perkara dengan Pengadilan Tata Usaha Negara, dan bagaimana menjamin bahwa Hakim Konstitusi akan tetap independen dalam menangani perkara constitutional complaint.
Para anggota DPR tersebut bahkan “menantang” para akademisi yang hadir di dalam FGD pada saat itu untuk dapat menyusun satu Bab khusus yang berisi pokok-pokok ketentuan mengenai constitutional complaint beserta hukum acaranya. Bab khusus tersebut pada nantinya akan diusulkan dan dibahas bersama dalam revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi di masa mendatang.
Apabila hal yang disampaikan tersebut memang sungguh-sungguh maka hal ini merupakan suatu kesempatan, tidak saja bagi para akademisi, namun juga bagi para praktisi hukum dan juga penggiat hak asasi manusia, untuk bersama-sama menyusun rancangan terbaiknya berkaitan dengan constitutional complaint. Pepatah asing mengatakan, “Opportunity never knocks twice”. Apabila kesempatan ini tidak direspons oleh publik dengan serius dan segera, bisa jadi kesempatan tersebut tidak akan datang kembali di kemudian hari.
* Pan Mohamad Faiz, Ph.D. Peneliti Senior di Mahkamah Konstitusi
Pingback: Masa Depan Constitutional Complaint | Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L., Ph.D. - Legal Talk