Menguji Konstitusionalitas Amendemen Konstitusi

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS AMENDEMEN KONSTITUSI

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 164, Oktober 2020, hlm. 90-91 – Download)

Doktrin bernegara yang diterima oleh banyak pihak, konstitusi harus ditaati dan dijalankan dengan sungguh-sungguh, terlepas dari adanya kelemahan dan kekurangan terhadap isinya. Hal yang sama juga berlaku terhadap apapun hasil dari amendemen konstitusi. Lembaga-lembaga negara, khususnya lembaga peradilan, sejatinya turut mengawal dan menjaga konstitusi hasil amendemen tersebut.

Pertanyaannya, bagaimana jika amendemen konstitusi tersebut justru menjauhkan identitas konstitusi (constitutional identity)atau meruntuhkan struktur dasar (basic structure)dari suatu negara? Apakah terbuka peluang untuk membatalkan amendemen konstitusi tersebut melalui jalur pengadilan? Artikel ini akan menganalisis praktik pengujian konstitusionalitas amendemen konstitusi di negara lain dengan menggunakan studi perbandingan konstitusi.

Continue reading

CONSREV, Vol. 4, No. 2 (December 2018)

PUBLISHED: CONSREV, VOL. 4, NO. 2 (December 2018)

foto cover

Constitutional Review (CONSREV) is an international journal published by the Center for Research and Case Analysis and Library Management of the Constitutional Court of Indonesia. The fundamental aim of this journal is to disseminate research and conceptual analysis which focus on constitutional issues.

In the last edition of Year 2018, six articles are presented by constitutional law scholars from various universities and institutions, as follows:

  1. “Megapolitical Cases before the Constitutional Court of Indonesia since 2004: An Empirical Study” by Associate Professor Björn Dressel (Australian National University) and Professor Tomoo Inoue (Seikei University). DOI: https://doi.org/10.31078/consrev421.
  2. “Indonesia’s Judicial Review Regime in Comparative Perspective” by Professor Theunis Roux (University of New South Wales). DOI: https://doi.org/10.31078/consrev422.
  3. “Korean Constitutional Court and Constitutionalism in Political Dynamics: Focusing on Presidential Impeachment” by Jin Wook Kim (The Constitutional Court of Korea). DOI: https://doi.org/10.31078/consrev423.
  4. “Referencing International Human Rights Law in Indonesian Constitutional Adjudication” by Bisariyadi (The Constitutional Court of Indonesia). DOI: https://doi.org/10.31078/consrev424.
  5. “Constitutional Retrogression in Indonesia Under President Joko Widodo’s Government: What Can the Constitutional Court Do?” by Abdurrachman Satrio (University of Padjadjaran). DOI: https://doi.org/10.31078/consrev425.
  6. “Harmonization of Regulation Based on Pancasila Values Through the Constitutional Court of Indonesia” by Tedi Sudrajat (Jenderal Soedirman University). DOI: https://doi.org/10.31078/consrev426.

The Editors expect that this issue might give some new insight and understanding on recent developments on constitutional law and constitutional courts in broader nature to our readers. The full issue of this edition can also be downloaded here: https://bit.ly/2U7sqIQ. Please feel free to share this journal with others.

Best regards,

Pan Mohamad Faiz, Ph.D.

Editor-in-Chief

 

GBHN dan Haluan Ketatanegaraan

GBHN dan HALUAN KETATANEGARAAN[1]

Oleh: Pan Mohamad Faiz[2]

SINDOWacana untuk menghidupkan kembali garis-garis besar haluan negara semakin menguat akhir-akhir ini. Alasannya, Indonesia dirasakan tidak lagi memiliki haluan bernegara di bidang pembangunan dan pemerintahan yang terarah dan berkesinambungan. Terminologi terhadap haluan negara ini masih bervariatif. Ada yang menyebutnya secara umum atau menamakan secara khusus, misalnya Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PSBN) era Soekarno ataupun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) era Soeharto. Penyusunan terhadap haluan negara ini direncanakan akan dimandatkan kepada MPR. Masalahnya, pasca perubahan UUD 1945, MPR tak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara. Untuk mewujudkan itu, UUD 1945 harus diubah dengan menambahkan kembali kewenangan tersebut.

Dalam perspektif hukum tata negara, penyusunan GBHN atau istilah lain sejenisnya akan memiliki implikasi turunan yang tidak sedikit. Apalagi jika hasilnya dituangkan ke dalam Ketetapan MPR. Hadirnya GBHN justru dikhawatirkan tidak sejalan dengan tujuan mendasar dari perubahan UUD 1945 di era reformasi, yaitu penguatan sistem pemerintahan presidensiil dan penegasan pemisahan kekuasaan negara. Continue reading

Pendekatan MK terhadap Konstitusionalitas Hukuman Mati

PENDEKATAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP KONSTITUSIONALITAS HUKUMAN MATI

* Dimuat dalam Kolom Khazanah, Majalah KONSTITUSI No. 96, Edisi Februari 2015, hal 64-67 (Download)

Majalah_93_Edisi Februari 2015 _Page_01Pembahasan mengenai konstitusionalitas hukuman mati di Indonesia akhir-akhir ini kembali marak didiskusikan. Pasalnya, di awal masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia kembali mengeksekusi terpidana mati, baik terhadap warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Pada 2007 silam, Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah menjatuhkan putusan terkait konstitusionalitas hukuman mati dalam perkara Pengujian Undang-Undang Narkotika dengan menyatakan jenis hukuman tersebut adalah konstitusional. Putusan MK itu disambut baik oleh sebagian besar penggiat anti-narkotika. Namun, bagi para penggiat hak asasi manusia, putusan tersebut dinilai konservatif.

Berbagai analisa pro dan kontra terhadap Putusan tersebut juga tersebar di berbagai tulisan. Salah satu analisa akademis terhadap Putusan MK terkait hukuman mati ditulis oleh Natalie Zerial di dalam Australian International Law Journal yang berjudul “Decision No. 2-3/PUU-VI/2007 [2007] (Indonesian Constitutional Court”. Saat membuat tulisan tersebut, Natalie merupakan mahasiswi di Harvard Law School dan saat ini sebagai Barrister di Australia.

Natalie tertarik untuk mengkaji Putusan MK Indonesia karena secara tidak langsung Putusan-Putusan MK juga memiliki signifikansi terhadap Australia. Misalnya, Putusan MK terkait konstitusionalitas penjatuhan hukuman bagi para pelaku “Bali Bombings” (2004) yang mengakibatkan 88 warga negara Australia meninggal dunia; dan Putusan MK terkait konstitusionalitas hukuman mati yang di antaranya diajukan oleh tiga orang berkewarganegaraan Australia yang terlibat dalam “Bali Nine”, yaitu Scott Rush, Andrew Chan, dan Myuran Sukumaran.

Continue reading