MENGOPTIMALKAN PERAN ASOSIASI MAHKAMAH KONSTITUSI SE-ASIA
* Dimuat dalam Kolom Khazanah, Majalah KONSTITUSI No. 111, Edisi Mei 2016, hal 72-76 (Download)
Studi terhadap mahkamah konstitusi selama ini umumnya berfokus pada tiga hal, yakni: (1) desain institusional dan kewenangannya; (2) relasi kelembagaan; dan (3) putusan-putusan yang dikeluarkannya. Namun demikian, obyek studi terkait dengan mahkamah konstitusi nyatanya jauh lebih luas dari ketiga hal tersebut. Misalnya, studi yang dilakukan oleh Maartje de Visser, Associate Professor dari Singapore Management University School of Law, dalam artikelnya berjudul “We All Stand Together: The Role of the Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions in Promoting Constitutionalism” yang dimuat dalam Asian Journal of Law and Society (2016).
Dalam artikelnya, Visser mengkaji alasan mengapa para hakim di Asia membentuk suatu aliansi berdasarkan wilayah dan bagaimana mereka bekerjasama untuk merealisasikan tujuan bersamanya. Secara kritis, artikel tersebut juga mengevaluasi pengaruh dan kontribusi the Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC) atau Asosiasi MK se-Asia terhadap isu-isu konstitusionalisme di Asia. Catatannya terhadap kekurangan AACC diuraikan secara gamblang yang diakhiri dengan beberapa saran untuk mengoptimalkan peran AACC.
Artikel Visser ini menjadi penting untuk diulas, setidaknya karena tiga hal. Pertama, para akademisi dan peneliti hingga saat ini belum ada yang menyentuh kajian terhadap hubungan dan interaksi antara mahkamah konstitusi di Asia, sehingga studi Visser mengenai AACC menjadi artikel pertama yang dipublikasikan dalam jurnal internasional. Kedua, berdirinya AACC tidak terlepas dari peran MK Indonesia sebagai salah satu pendirinya berdasarkan the Jakarta Declaration pada 2010. Ketiga, saat ini MK Indonesia merupakan Presiden AACC periode 2014-2016 yang akan menggelar Kongres AACC ke-3 pada 11-12 Agustus 2016 mendatang.
Tulisan ini secara sistematis akan mengulas temuan-temuan yang diperoleh Visser dalam studinya ke dalam lima bagian, yaitu: pembentukan dan komposisi MK se-Asia, alasan aliansi transnasional, evaluasi aktivitas, optimalisasi peran, dan kesimpulan.
Pembentukan dan Komposisi MK se-Asia
Berdasarkan penelusurannya, Visser menjelaskan bahwa terjadinya hubungan yang intensif antara lembaga yudisial lintas negara di Asia dimulai dari peran kunci dari MK Indonesia dan MK Korea Selatan yang kemudian disusul oleh MK Turki untuk bersama-sama membangun jejaring yudisial. Perkembangan tersebut diuraikan sejak digulirkannya seminar pertama kali pada 2003 di Jakarta yang menghadirkan para hakim konstitusi dari berbagai negara untuk mendiskusikan status dan masa depan perkembangan ajudikasi konstitusional di Asia. Seminar serupa digelar kembali pada 2005 dengan pembahasan yang lebih mendalam. Pada 2007, ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia, Korea Selatan, Mongolia, dan Filipina untuk membentuk panitia persiapan pembentukan asosiasi.
Selanjutnya, rancangan statuta asosiasi disusun secara bertahap sejak 2008 s.d. 2010 dengan mempertemukan para hakim konstitusi. Akhirnya, AACC secara resmi terbentuk di Jakarta pada 2010 dengan anggota negara pendiri dari Indonesia, Malaysia, Mongolia, Filipina, Thailand, Uzbekistan, dan Korea Selatan. Hingga akhir 2015, jumlah anggota AACC bertambah lebih dari dua kali lipat dengan menerima anggota baru, yaitu: Azerbaijan, Kazakhstan, Rusia, Tajikistan, Turki, Pakistan, Afganistan, Kirgistan, dan Myanmar.
Keanggotaan AACC dibuat terbuka tidak hanya bagi mahkamah konstitusi saja, namun juga lembaga yudisial yang memiliki kewenangan konstitusional atau setidak-tidaknya mempunyai kemampuan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang yang dibuat oleh parlemen. Oleh karena itu, penamaan Asosiasi juga menambahkan kata “equivalent institutions”, karena banyaknya variasi model ajudikasi konstitusional di Asia, termasuk yang dilakukan oleh mahkamah agung dan pengadilan konstitusi.
Kesamaan identitas dan fungsi sosial sebagai negara Asia menjadi perekat utama AACC. Akan tetapi, syarat untuk menjadi anggota haruslah negara berdaulat di Asia. Menurut Visser, kondisi ini sebagai refleksi dari adanya wilayah-wilayah di Asia yang diokupasi dengan pemahaman konsep kedaulatan. Misalnya, the Hong Kong Court of Final Appeal atau the Taiwanese Council of Grand Justices menahan diri untuk bergabung dengan AACC karena terdapat resiko untuk diminta mengundurkan diri dari keanggotaan AACC manakala the China’s Supreme People’s Court juga berminat untuk bergabung dengan AACC.
Di satu sisi, Visser memetakan definisi dari “Asia” yang begitu luas. Apabila diklasifikasi menurut Divisi Statistik PBB maka pembagian wilayah Asia terdiri dari Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Barat. Namun di sisi lain, terdapat pertanyaan mengapa negara-negara seperti Kamboja, Singapura, dan Jepang tidak bergabung dengan AACC. Menurut penelusuran Visser, beberapa hakim Jepang mengaku tidak mengetahui secara pasti mengenai keberadaan AACC, sedangkan MA Singapura dinilai lebih tertarik untuk meningkatkan hubungan transnasional dalam domain komersil dibandingkan dengan isu-isu konstitusi. Sementara itu, walaupun Dewan Konstitusi Kamboja tertarik untuk membangun hubungan dengan negara-negara lain, namun mereka beranggapan AACC bukan wadah yang tepat untuk saat ini, sehingga mereka lebih memilih untuk bergabung dalam Asosiasi MK yang menggunakan bahasa Prancis.
Alasan Aliansi Transnasional
Membangun jaringan yudisial plurilateral merupakan fenomena yang menjamur untuk menjaga interaksi yang stabil, terstruktur, dan berulang guna memperdalam hubungan antarpengadilan. Menurut Visser setidaknya ada tiga alasan utama yang menjadi motif pengadilan-pengadilan untuk membentuk atau terlibat di dalam aliansi yudisial transnasional seperti AACC, yakni alasan pragmatis, ideologis, dan strategis.
Pertama, secara pragmatis untuk meningkatkan performa dan fungsi dari ajudikasi konstitusional dari negara anggota. Misalnya, dengan mengumpulkan informasi dan gagasan dari berbagai yuridiksi yang berbeda, asosiasi dapat menyediakan kesempatan bagi para anggotanya untuk mendapatkan aset intelektual dalam membuat putusan yang lebih baik. Mempelajari pendekatan yang berbeda dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan konstitusi dapat mempertajam pemikiran para hakim dan memperluas wawasannya. Negara anggota juga dapat memperoleh kejelasan mengenai berbagai jenis tantangan terkait independensi pengadilan, baik yang datang dari ranah politik, kritik media, hingga korporasi besar, dan bagaimana mereka dapat menjaga independensinya tersebut.
Kedua, secara ideologis dan alami untuk menjaga tiga hal utama yang disebut oleh Visser sebagai the holy trinity of constitutionalism, yaitu perlindungan hak asasi manusia, jaminan demokrasi, dan implementasi aturan-aturan hukum. Menurut Visser, AACC cukup atraktif karena bentuknya yang tidak ad hoc, sehingga memberikan kesempatan yang berulang dan terstruktur bagi para hakim untuk mendiskusikan fungsi mereka dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip universal konstitusi dalam konteks lokal. Menurut Visser, karakter utama dari kerjasama pengadilan dalam skala regional atau global ini adalah adanya rasa solidaritas transnasional bahwa mereka tidaklah sendiri dalam menghadapi tekanan publik atau politik, namun bersama dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki pemikiran sama, sehingga dapat memberikan dorongan moral tambahan untuk tetap yakin terhadap nilai-nilai konstitusi yang mereka perjuangkan di dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Ketiga, secara strategis untuk memperkenalkan kewenangan dan reputasi pengadilan kepada kelompok sejenisnya, termasuk memperkuat kedudukan pengadilan di mata publik domestik. Visser memberikan contoh MK Korea Selatan yang berulang kali melakukan klaim sebagai leading role, baik di dalam laman (website) maupun pada berbagai penyelenggaraan kegiatan AACC. Secara implisit MK Korea Selatan ingin memosisikan dirinya sebagai benchmark dari Mahkamah Konstitusi yang berhasil di wilayah Asia, seperti MK Jerman di mata mahkamah konstitusi lainnya di wilayah Eropa Timur dan Tengah.
Pertimbangan suatu mahkamah konstitusi bergabung dengan AACC dapat terdiri dari salah satu ataupun kombinasi ketiga alasan di atas. Visser juga menuliskan bahwa terdapat asumsi bahwa para hakim dapat juga tergoda untuk secara sukarela bergabung dengan AACC karena mereka senang berpergian atau menikmati kesempatan untuk berkunjung ke luar negeri karena keterbatasan finansial yang menghalangi mereka untuk melakukan hal itu; atau menggunakan kehadiran dalam konferensi internasional sebagai pelepas penat dari tugas keseharian yudisialnya. Namun dalam catatan kakinya, Visser percaya bahwa suatu pengadilan tidak akan bergabung dengan AACC atau organisasi internasional tersebut karena alasan yang “selfish” seperti itu.
Evaluasi Aktivitas
Berdasarkan Statuta AACC, Visser menilai bahwa aktivitas yang paling sering dilakukan adalah menjaga komunikasi antara negara anggota secara rutin untuk mendorong pertukaran informasi dan pengalaman. Agenda utama dari AACC adalah Kongres dua tahunan yang terbuka bagi anggota, pemantau, dan undangan. Kongres pertama pada 2012 di Korea Selatan dan Kongres kedua di Turki pada 2014 mengambil topik yang umum. Pemilihan topik ini ditentukan oleh the Board of Members (BOM) yang terdiri dari Presiden dan Anggota penuh AACC. Umumnya, BOM cenderung menerima proposal yang diusulkan oleh penyelenggara Kongres berikutnya. Selain itu, aktivitas AACC juga termasuk menyediakan dukungan teknis untuk meningkatkan independensi pengadilan dan membangun kerjasama dengan organisasi lain yang terkait dengan isu-isu konstitusi.
Berdasarkan hasil penelurusan Visser, AACC pada 2012 membuat perjanjian kerjasama dengan Venice Commission, badan penasihat untuk Council of Europe di bidang hukum konstitusi yang memiliki reputasi internasional. Perjanjian ini dilaksanakan ketika MK Korea Selatan menjadi Presiden AACC, sehingga terdapat hubungan timbal balik ketika Venice Commission memberikan persetujuan kepada MK Korea Selatan untuk menjadi tuan rumah Kongres ketiga dari World Conference of Constitutional Justice pada 2014 di Seoul. Menurut Visser, hal tersebut menjadi alasan bagi MK Korea Selatan untuk memperkuat klaimnya sebagai garda terdepan untuk isu konstitusi di Asia.
Walaupun diuraikan berbagai keberhasilan dari aktivitas AACC, akan tetapi Visser justru mempertanyakan kontribusi riil AACC dalam peningkatan keadilan konstitusional di Asia sebagaimana sering disanjung oleh Ketua MK Korea Selatan ataupun Ketua MK Turki. Bagi Visser, klaim tersebut tidak dapat diterima secara bulat. Sebab menurutnya, sebagai Presiden AACC keduanya memiliki kepentingan untuk memberikan gambaran yang baik dari AACC sekaligus ingin memberikan ucapan selamat kepada dirinya sendiri dan juga anggota lainnya atas manfaat dan prestasi yang telah dicapai bersama.
Sebaliknya, Visser berpendapat bahwa dengan menyandingkan ambisi besar dari tujuan AACC yang tertuang di dalam Statuta dengan aktivitas yang telah dijalankannya selama ini sebenarnya biasa-biasa saja. Misalnya dalam penyelenggaraan Kongres AACC, Visser menilai bahwa durasi waktu pertemuan yang sangat singkat, tema Kongres yang terlalu luas dan umum, dan program yang kurang mengalokasikan waktu cukup bagi setiap pengadilan untuk berbagi pengalamannya, mengindikasikan tantangan yang sedang dihadapi terhadap isu-isu konstitusi tertentu atau tidak menggambarkan suksesnya strategi untuk mencapai tujuan Asosiasi. Selain itu, hingga saat Visser menyelesaikan tulisannya, ia tidak menemukan rekam jejak anggota yang mendapat dukungan dari AACC ketika menghadapi permasalahan terkait independensi pengadilan, misalnya ketika Mahkamah Konstitusi Turki mendapat kritik tajam dari eksekutif. Bagi Visser, hal ini memosisikan AACC tidak berperan optimal di level internasional.
Adanya kerjasama yang dilakukan oleh Venice Commission dinilai sangat baik. Namun, hanya beberapa negara anggota AACC saja yang ternyata aktif menjadi kontributor putusannya dalam basis data CODICES, yaitu Rusia, Turki, dan Korea Selatan. Sedangkan negara anggota AACC lainnya hanya sedikit yang melakukan hal serupa, bahkan lebih dari setengahnya tidak pernah meminta Venice Commission atas putusan yang terdapat di dalam basis data untuk mereka pelajari. Visser melihat hilangnya kesempatan untuk berkontribusi terhadap koleksi putusan-putusan penting dari anggota AACC, sehingga profil internasional AACC menjadi dipertanyakan.
Optimalisasi Peran
Keberadaan AACC menurut Visser jelas memberikan manfaat bagi pengaturan komunikasi dan interaksi secara institusional. Bahkan, desain dasar AACC telah menyediakan landasan yang lebih mudah bagi pengaturan yang lebih mudah bagi para hakim-hakim di Asia. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang menurut Visser perlu dioptimalkan.
Pertama, tema yang dipilih dalam Kongres AACC selama ini masih terlalu luas yang tidak sesuai dengan waktu yang relatif singkat. Dalam memilih tema Kongres, para negara anggota AACC disarankan agar secara hati-hati memilih tema yang lebih mendalam dan fokus, sehingga para peserta dapat bertukar pandangan terhadap hal-hal teknis dan hukum tertentu yang relevan dibandingkan mengusung isu konstitusional yang umum dan hampa. AACC bahkan dapat menggunakan semacam kuesioner untuk mengumpulkan dan mendiseminasi informasi tentang praksis konstitusional dari para anggotanya. Metodologi ini sukses dilakukan oleh asosiasi lainnya, seperti World Conference of Constitutional Justice (WCCJ), di mana 11 dari 14 anggota AACC juga merupakan anggota WCCJ.
Di dalam kuesioner tersebut, Visser menyarankan agar para anggota AACC dapat menjelaskan, antara lain, apakah putusan mereka memiliki efek erga omnes atau inter partes; apakah mereka dapat membuat putusan temporary constitutionality; apakah efek inkonstitusionalitas berupa ex nunc atau ex tunc; apakah mereka dapat menunda pelaksanaan efek dari suatu putusan dan apa saja yang menjadi pertimbangannya; apakah mereka dapat memutuskan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi, namun menolak untuk membatalkannya; dan apakah legislatif dapat atau pernah mengenyampingkan putusan yang menyatakan suatu undang-undang inkonstitusional.
Visser juga menyarakan agar setiap anggota AACC menyiapkan laporan nasional mengenai bagaimana permasalahan-permasalahan tersebut diatur atau diselesaikan berdasarkan kewenangannya yang secara ideal dapat diilustrasikan dengan contoh-contoh kasusnya. Untuk memudahkannya, negara penyelenggara Kongres dapat mengkompilasi, melakukan sintesa, dan menekankan isu-isu yang bervariasi serta belum terpecahkan di dalam laporan nasional guna disirkulasikan kepada para anggota AACC sebelum Kongres berlangsung. Laporan ini kemudian dapat menjadi dasar dari diskusi atau perdebatan selama Kongres berlangsung, sehingga dapat lebih memudahkan para peserta untuk mengidentifikasi dan melihat perbedaan ataupun persamaannya.
Kedua, anggota AACC seharusnya tetap melakukan kontak personal di luar Kongres dua tahunan. Hal ini menurut Visser akan memberikan keuntungan dengan melibatkan para hakim dan staf MK dengan mengambil bagian dalam pertemuan tatap muka dan memperkuat hubungan dengan para hakim dari negara lain. Walaupun beberapa negara telah melakukan hal tersebut, Visser mengidentifikasi adanya kelemahan ketika para hakim yang melakukan kunjungan kerja adalah para hakim senior yang dalam waktu tidak lama lagi akan berakhir masa jabatannya, sehingga intensitas hubungan tersebut bisa menurun kembali. Visser menilai bahwa summer schools selama seminggu yang diselenggarakan oleh MK Turki dengan tema spesifik merupakan langkah yang tepat. Terlebih lagi, delegasi yang hadir dari hampir seluruh anggota AACC adalah para personil pendukung seperti peneliti hakim, asisten, dan juga penasihat.
Namun demikian, terdapat praktik lain yang menurut Visser layak untuk diperkenalkan oleh AACC. Selama satu minggu hingga satu bulan, para hakim atau staf pendukungnya dapat melakukan internship di negara anggota AACC lainnya dan terlibat dalam kehidupan profesional dan sosial dari negara tujuan. Keterlibatan dalam budaya hukum dari yuridiksi yang berbeda akan membuat para hakim atau staf pendukungnya untuk mempelajari metode kerja MK di negara lain yang tidak dapat digantikan melalui seminar atau kunjungan bilateral, sehingga dapat memberi arti penting bagi AACC untuk mencapai tujuannya dalam pertukaran informasi terkait keadilan konstitusional.
Visser menjelaskan lebih lanjut bahwa aktivitas seperti internship ini telah dipraktikkan oleh the Association of the Councils of State and Supreme Administrative Jurisdictions of the European Union secara berkala selama dua minggu yang melibatkan para hakim. Hasil laporan yang dibuat oleh para hakim tersebut menunjukan nilai yang positif. Dengan begitu bervariasinya anggota AACC yang kaya akan aset yang dimilikinya, Visser menyarankan agar kegiatan serupa juga dilakukan untuk lebih memahami sistem dan pendekatan yang ditempuh oleh tiap-tiap pengadilan di Asia.
Ketiga, Visser menyoroti laman (website) AACC yang sepertinya terbengkalai. Dibandingkan dengan laman dari asosiasi sejenisnya, laman AACC dinilai biasa saja dari perspektif kebaruan dan kuantitas materi yang tersedia. Minimnya dokumen-dokumen sejak 2012 tidak memperlihatkan wajah AACC yang dinamis. Sebagaimana alasan yang telah diuraikan sebelumnya, MK Korea Selatan dianggap oleh Visser memiliki komitmen dalam mensukseskan AACC sehingga tidak mengherankan banyak materi yang diunggah di laman resmi AACC ketika MK Korea Selatan menjadi Presidennya. Akan tetapi, Visser membandingkan bahwa dua penerus setelahnya, yaitu Turki dan Indonesia, memperlihatkan perhatian yang berkurang dalam menjaga standar dari pengembangan laman tersebut.
Rendahnya kualitas laman AACC oleh Visser dianggap sangat serius. Sebab, jika AACC ingin menjadi organisasi Asia yang sebenar-benarnya dan berharap lembaga yudisial lainnya untuk bergabung menjadi anggotanya, maka laman tersebut harus dijaga kuantitas dan kualitas materinya. Lebih jauh lagi Visser menambahkan, apabila AACC ingin menjadi saluran yang efektif untuk pengadilan dengan mandat konstitusional di Asia agar didengar suaranya di tingkat global maka ketersediaan dan aksesibilitas informasi dari kegiatan para anggotanya harus jelas tersebarluaskan dengan baik.
Oleh karenanya, Visser menyarankan agar harus lebih banyak informasi tentang aktivitas AACC. Menurutnya, sangatlah memprihatinkan apabila pengumuman tentang hasil pertemuaan AACC dipublikasikan oleh laman Venice Commission dalam bagian “recent and current events”, namun informasi yang sama tidak dapat ditemukan sama sekali di laman AACC itu sendiri. Selain itu, upaya-upaya yang ditempuh oleh para anggota AACC dalam memberikan dampak terhadap penegakan hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi di dalam yuridiksinya masing-masing harus ditampilkan lebih ekstensif lagi.
Dalam konteks ini, Visser membayangkan adanya basis data putusan-putusan penting (landmark decisions) dari negara anggota AACC yang memuat informasi dasar dan analisa terhadap signifikansi putusan tersebut, baik berbentuk ringkasan atapun putusan lengkap yang berbahasa Inggris. Dengan demikian, kawasan Asia dapat menyumbangkan pemikiran yang selama ini tidak tergali dengan baik dalam studi perbandingan konstitusi, termasuk dalam hal yurisprudensi konstitusi di bidang sipil, politik, dan hak sosial-ekonomi, serta interaksi antara kewajiban yang berhadapan dengan hak dan kepentingan dalam konteks liberal ataupun non-liberal.
Menurut Visser, apabila beberapa anggota AACC dapat berkontribusi terhadap katalog dan basis data online CODICES di Venice Commission, artinya mereka juga dapat melakukan hal yang serupa untuk AACC. Untuk permasalahan ini, Visser menyarankan agar dapat dibentuk sekretariat permanen untuk mengelola laman dan portal perkara konstitusi. Data yang sudah terdapat di dalam CODICES dapat langsung dipindahkan, sehingga AACC tidak perlu memulainya dari awal. Dengan cara seperti ini, Visser mengharapkan agar kelak laman AACC yang berbahasa Inggris dapat menjadi “Asian canon” untuk perkara-perkara konstitusi di Asia.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, Visser menyimpulkan bahwa Asosiasi MK se-Asia merupakan contoh terbaru dari fenomena jaringan yudisial di wilayah Asia. Analisa yang dipaparkan dalam artikelnya memperlihatkan adanya dampak positif bagi kultivasi komunitas epistemik di antara pengadilan-pengadilan yang memiliki mandat konstitusi dan membangun diskursus mengenai konstitusionalisme di Asia. Namun demikian, Visser menemukan beberapa titik kelemahan yang dimiliki oleh AACC yang harus segera dibenahi. Sebagai akademisi yang berada di luar jaringan MK di Asia, perspektif Visser untuk mengoptimalkan peran Asosiasi MK se-Asia perlu mendapat perhatian bersama dari seluruh pemangku kepentingan AACC.
***
Kolom “Khazanah Konstitusi” merupakan rubrik yang mengulas hasil penelitian ataupun artikel akademis yang dimuat dalam jurnal internasional terkait dengan tema-tema konstitusi. Rubrik ini dimaksudkan untuk mengetahui berbagai pandangan dan perspektif akademis yang berkembang di luar Indonesia terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi ataupun pelaksanaan sistem Konstitusi di Indonesia. Tulisan ini juga ditujukan sebagai materi literature review yang dapat digunakan oleh para mahasiswa, peneliti, ataupun para praktisi hukum konstitusi sebagai bahan referensi akademis ataupun studi lanjutan.
Rubrik ini ditulis oleh Pan Mohamad Faiz, Peneliti di Mahkamah Konstitusi yang tengah menempuh studi PhD Hukum Tata Negara di School of Law, the University of Queensland, sekaligus menjadi Research Scholar pada the Center for International, Public and Comparative Law (CPICL) di Australia. Untuk korespondensi lebih lanjut, Penulis dapat dihubungi melalui email: p.wijaya@uq.edu.au.