Tafsir Konstitusi “Orang Indonesia Asli”

TAFSIR KONSTITUSI “ORANG INDONESIA ASLI”

Pan Mohamad Faiz *

logo-sindoWacana amandemen kelima UUD 1945 kini bergulir terhadap ketentuan mengenai persyaratan calon presiden dan wakil presiden. Musyawarah Kerja Nasional PPP mengeluarkan salah satu rekomendasi yang mengusulkan agar orang Indonesia asli sebagai syarat kepala negara dimasukkan kembali dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945.

Artinya, menurut pandangan PPP, warga negara Indonesia yang berdarah atau berketurunan asing tidak dapat menjadi presiden atau wakil presiden, setidak-tidaknya terhitung hingga derajat keturunan tertentu. Alasan lainnya, amendemen tersebut akan mengembalikan cita-cita pendiri bangsa.

Pertanyaannya, benarkah para pendiri bangsa memasukan frasa “orang Indonesia asli” sebagaimana makna yang dimaksudkan di atas? Artikel ini akan menjernihkan makna dari “orang Indonesia asli” yang terkandung di dalam UUD 1945 dengan menggunakan penafsiran original intent dan analisis sejarah Konstitusi Indonesia.

Risalah Sidang BPUPKI

Apabila ditelusuri kembali risalah sidang BPUPKI saat penyusunan UUD 1945, tidak banyak ditemukan pembahasan mengenai persyaratan calon presiden. Kendati demikian, pembahasan ketentuan tersebut tidak dapat dilepaskan dari perdebatan yang terjadi terkait penentuan warga negara Indonesia menurut Pasal 26 ayat (1) UUD 1945. Warga negara merupakan salah satu unsur utama dari pembentukan suatu negara.

Dalam buku Risalah Sidang BPUPKI-PPKI (Sekretariat Negara RI 1998) terlihat jelas bahwa para founding fathers menemukan permasalahan dalam menentukan siapa yang akan menjadi warga negara Indonesia sesaat setelah memproklamirkan kemerdekaannya. Rancangan awal UUD 1945 menentukan bahwa  warga negara akan diberikan kepada “orang-orang bangsa Indonesia asli”.

Permasalahannya, banyak juga orang-orang peranakan Tionghoa, Arab, dan Eropa yang juga sama-sama berjuang di masa kolonial Belanda dan kependudukan Jepang serta telah merasa menjadi bagian dari Indonesia. Dalam Susunan Pengurus BPUPKI terdapat keterlibatan nama-nama seperti Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa yang mewakili peranakan Tionghoa; AR Baswedan yang mewakili peranakan Arab; dan Dahler yang mewakili peranakan Eropa.

Dalam sidang BPUPKI telah terdapat pandangan yang sama bahwa orang-orang peranakan harus diakomodasi menjadi bagian dari warga negara Indonesia. Karena itu, muncul usulan agar ketentuan mengenai kewarganegaraan cukup memuat frasa “orang-orang bangsa Indonesia” tanpa menggunakan kata “asli”.

Usulan tersebut sebenarnya hampir disetujui. Namun, Soepomo mengingatkan bahwa akan terdapat masalah yuridis dalam hukum internasional apabila orang-orang peranakan langsung memperoleh status warga negara Indonesia. Sebab pada saat itu, di antara orang-orang peranakan masih ada yang mempunyai status sebagai warga negara lain sesuai Nederlandsch Onderdaan. Dengan demikian, Soepomo ingin mencegah agar tidak terjadi permasalahan dubbele nationaliteit di kemudian hari (AB Kusuma 2004: 388).

Karena itu, Soepomo mengusulkan supaya harus ada orang-orang yang untuk pertama kalinya dapat langsung menjadi warga negara Indonesia dengan mengatakan, “mesti ada satu group yang lebih terang”. Sedangkan peranakan lainnya secara de jure akan disahkan menjadi warga negara dengan undang-undang.

Akhirnya, Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 disepakati dalam sidang PPKI dengan ketentuan, “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”.

Perubahan Konstitusi

Berdasarkan pembahasan terkait kewarganegaraan tersebut maka ketentuan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Presiden ialah orang Indonesia asli” sebenarnya dari perspektif politis hanya diperuntukkan selama masa transisi kemerdekaan. Dalam konteks ini, Soekarno menyebut UUD 1945 sebagai UUD kilat atau UUD revolusi (revolutie grondwet) yang harus disempurnakan kembali.

Selanjutnya, ketentuan tersebut juga dimaksudkan agar tidak terbuka kesempatan bagi orang Belanda ataupun Jepang untuk menjadi presiden Indonesia. Rasionalitas dan suasana kebatinan ini saling berkelindan manakala analisis perbandingan konstitusi dilakukan antara UUD 1945 dengan Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950.

Kedua konstitusi tersebut memperlihatkan bahwa ketentuan “Presiden ialah orang Indonesia asli” sudah dihapuskan dan diganti seluruhnya. Dalam Pasal 69 ayat (3) Konstitusi RIS 1949 dan Pasal 45 ayat (5) UUDS 1950 hanya terdapat dua persyaratan untuk menjadi calon presiden, yaitu usia minimum 30 tahun dan tidak boleh orang yang sedang dicabut haknya untuk dipilih. Dengan kata lain, “orang Indonesia asli” tidak lagi dijadikan prasyarat bagi calon presiden.

Karena itu, sebagaimana tertuang dalam Buku Ketiga Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (MPR: 2008), tidaklah mengejutkan ketika seluruh fraksi bersepakat agar dilakukan amendemen terhadap ketentuan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 pada Era Reformasi. Pertimbangannya, kata “asli” dinilai mengandung makna diskriminatif yang tidak sejalan dengan asas persamaan kedudukan warga negara dalam pemerintahan yang dijamin dalam Pasal 27 UUD 1945.

Selain itu, sangat sulit menentukan keaslian orang Indonesia, terlebih lagi dengan banyaknya perkawinan campuran. Purnomo Yusgiantoro yang mewakili Lemhanas pada saat itu bahkan telah memprediksi bahwa dalam 25-30 tahun ke depan akan semakin banyak warga keturunan campuran (MPR, 2008: 122-123).

Kendati demikian, para pelaku perubahan UUD 1945 juga memberikan batasan yang lebih tegas. Hanya seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri saja yang dapat menjadi calon presiden dan wakil presiden. Status kewarganegaraan ini dikenal dengan istilah natural born citizen, bukan karena naturalisasi atau pewarganegaraan.

Ketentuan tersebut kemudian disepakati menjadi Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 hasil perubahan ketiga. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 2 UU Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan juga menegaskan maksud dari “orang-orang bangsa Indonesia asli”, yaitu orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.

Dalam tulisannya “On the Meaning of Natural Born Citizen” di Harvard Law Review Forum (2015), Katyal dan Clement menjelaskan bahwa natural born citizen termasuk juga orang yang dilahirkan di luar negaranya yang memperoleh status kewarganegaraan sejak lahir berdasarkan kewarganegaraan orang tuanya. Artinya, seseorang yang terlahir dari orang tua berkewarganegaraan Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri.

Berdasarkan penafsiran dan penelusuran di atas, jelas bahwa frasa “orang Indonesia asli” di dalam UUD 1945 tidak dapat dimaknai sekadar untuk mendikotomikan antara orang-orang peranakan dan nonperanakan tanpa memahami konteks yuridis dan politis yang berkembang di masa prakemerdekaan. Karena itu, perdebatan mengenai hal ini seharusnya sudah selesai sejak ada perubahan UUD 1945 di Era Reformasi. Apabila wacana untuk mengembalikan frasa “Indonesia asli” sebagai syarat calon presiden dan wakil presiden diteruskan, hal ini jelas akan menjadi usulan yang ahistoris.

* Peneliti di Mahkamah Konstitusi. Artikel ini adalah pandangan pribadi.

jpg-artikel

1 thought on “Tafsir Konstitusi “Orang Indonesia Asli”

Leave a comment