Judicial Restraint vs Judicial Activism

JUDICIAL RESTRAINT vs JUDICIAL ACTIVISM

Pan Mohamad Faiz, Ph.D., Peneliti Mahkamah Konstitusi

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom Opini MAJALAH KONSTITUSI No. 130, Desember 2017, hlm. 8-9 – Download)

26114235_1173488886117090_3864334010441051044_n

Setelah melalui 21 kali proses persidangan, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengeluarkan Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 pada 14 Desember mengenai permohonan untuk memperluas delik-delik kesusilaan di dalam KUHP terkait dengan perzinaan (Pasal 284), pemerkosaan (Pasal 285), dan perbuatan cabul (Pasal 292). Dalam amar putusannya, MK menolak permohonan untuk seluruhnya. Putusan ini berakhir dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan Hakim Konstitusi. Empat dari sembilan Hakim Konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinions).

Tulisan ini tidak lagi mengulas mengenai kesalahpahaman sebagian masyarakat dalam membaca Putusan tersebut, karena telah dibahas sebelumnya oleh penulis dalam media yang berbeda (SINDO, 27/12). Kali ini, penulis akan lebih dalam membahas mengenai letak perbedaan pandangan di antara para Hakim dalam memutus perkara ini.

Secara eksplisit terbaca dalam Putusan MK, perbedaan tersebut disebabkan adanya penggunaan pendekatan yang berbeda untuk menjawab isu konstitusionalitas yang dipersoalkan. Mayoritas Hakim berpegang pada pendekatan “pembatasan yudisial” (judicial restraint), sedangkan para Hakim lainnya menggunakan pendekatan “aktivisme yudisial” (judicial activism).

Prinsip dan Justifikasi

Teori mengenai pembatasan yudisial (judicial restraint) pertama kali diperkenalkan oleh James B. Thayer dalam tulisannya “The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law” (1893). Teori ini menggunakan pendekatan dengan menempatkan pengadilan agar membatasi atau menahan diri dalam membuat kebijakan yang menjadi ranah kewenangan legislator, eksekutif, dan pembentuk peraturan perundang-undangan lainnya.

Richard A. Posner (2012) membagi pendekatan ini ke dalam tiga kategori. Pertama, legalism atau formalism sebagai suatu pendekatan bahwa hakim hanya menjalankan hukum dan tidak untuk membuatnya. Kedua, modesty, institutional competence, atau process jurisprudence yang menempatkan hakim untuk menghormati dan tidak memasuki ranah kewenangan legislatif atau eksekutif dalam membuat keputusan atau kebijakan. Ketiga, constitutional restraint yang menempatkan hakim untuk sangat enggan menyatakan inkonstitusional dari suatu keputusan atau tindakan eksekutif maupun legislatif.

Pendekatan terhadap teori ini menuntut agar pengadilan dan para hakimnya memahami batasan-batasan atas kewenangan dan kemampuannya, sehingga mampu menahan diri untuk tidak mengadili atau membuat kebijakan yang bukan menjadi ranah kewenangannya. Dalam proses ajudikasi konstitusional, judicial restraint lebih pada tingkatan atau derajat yang perlu dipahami oleh para hakim mengenai kapan dan sejauh mana mereka harus mengadili keputusan atau kebijakan dari lembaga legislatif dan eksekutif dalam keadaan yang tepat.

Aileen Kavanagh (2009) memberikan empat alasan dan kondisi untuk menggunakan pendekatan judicial restraint ini. Pertama, keterbatasan keahlian peradilan untuk memutus sesuatu yang sangat kompleks dan tidak dapat memprediksi konsekuensi-konsekuensi lain yang akan muncul dari putusannya. Kedua, sifat inkremental dari putusan pengadilan dengan menyadari bahwa reformasi atau pertimbangan parsial justru bisa membawa resiko yang kontraproduktif sehingga akan gagal mencapai harapan atau maksud yang ingin dituju.

Ketiga, adanya legitimasi demokratis dan akuntablitas lembaga pengadilan yang lebih rendah dibandingkan dengan legislator dan eksekutif dalam membuat suatu putusan atau kebijakan. Keempat, menjaga reputasi dan memberikan kepercayaan publik terhadap pengadilan sebagai pemutus yang adil sehingga keputusannya dihormati, baik oleh parlemen, eksekutif, dan masyarakat luas.

Selanjutnya, pendekatan yang berlawanan dengan pembatasan yudisial (judicial restraint) adalah aktivisme yudisial (judicial activism). Arthur Schlesinger adalah cendekiawan pertama yang memperkenalkan istilah ini dalam majalah Fortune (1947). Brian Galligan (1991) memberikan definisi terhadap aktivisme yudisial sebagai pendekatan hakim dan pengadilan untuk mengontrol atau memengaruhi institusi politik dan administraif, baik di legislatif maupun eksekutif, dalam membuat keputusan dan kebijakan.

Dalam hal ini, para hakim cenderung memosisikan dirinya sebagai hakim yang berhak dan berwenang untuk memberikan pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan politik, sosial, dan ekonomi. Dalam membuat putusannya tersebut, kadangkala para hakim juga membuat aturan hukum (judges making law) berdasarkan pandangan-pandangan personalnya (Black’s Law Dictionary, 2010). Para hakim yang sering menggunakan pendekatan ini kemudian dikenal dengan istilah activist judges.

Sama halnya dengan judicial restraint, parameter untuk menentukan batas-batas judicial activism juga tidak tegas. Oleh karenanya, William P. Marshall dalam tulisannya “Conservatives and the Seven Sins of Judicial Activism” (2002) mengatakan bahwa ketidaktepatan dalam menggunakan judicial activism dapat merendahkan atau merusak sistem demokrasi perwakilan melalui otokrasi yudisial. Namun dalam realitanya, aktivisme yudisial ini kadangkala ditempuh justru untuk melindungi hak asasi manusia atau prinsip-prinsip demokrasi.

Dalam konteks ini, Christopher G. Buck (1983) memberi penekanan bahwa judicial activism harus dilandasi pada prinsip hukum, sehingga tidak bisa dilepas hanya berdasarkan diskresi pengadilan semata. Menurutnya, terdapat prinsip-prinsip dari “virtue jurisprudence” yang dapat dijadikan justifikasi ketika hakim menggunakan pendekatan judicial activism. Penulis menyarikannya ke dalam empat prinsip, sebagai berikut.

Pertama, untuk melindungi hak dan kebebasan warga negara, baik yang tersurat maupun tersirat di dalam konstitusi. Kedua, untuk memberikan perlindungan maksimal kepada kelompok minoritas atau rentan yang memperoleh dampak negatif dari proses keputusan yang sekadar didasarkan pada pertimbangan mayoritas. Ketiga, untuk memulihkan dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara yang dilanggar, baik yang bersifat individual maupun kelompok. Keempat, untuk menyesuaikan perkembangan keadilan global dengan menggunakan perbandingan dan hukum internasional.

Argumentasi dan Konsistensi

Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 ini memang sangat layak untuk dikaji secara mendalam. Sebab, baik pertimbangan hukum Putusan MK yang disusun dari pendapat mayoritas Hakim maupun pendapat berbeda yang disampaikan Hakim lainnya, sama-sama memiliki argumentasi yang memadai. Apabila kita hubungkan dengan teori di atas, pendapat mayoritas hakim yang menggunakan pendekatan judicial restraint dapat dikategorikan dalam modesty atau institutional competence. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan hukum yang diuraikan bahwa perluasan delik pidana atau kriminalisasi merupakan bentuk pembatasan hak dan perampasan kebebasan warga negara. Sehingga, MK menilai hal tersebut merupakan kewenangan ekslusif pembentuk undang-undang. Hukum pidana yang memiliki sanksi keras sejatinya datang dari persetujuan rakyat, sedangkan MK memosisikan diri sebagai penguji apakah pembatasan dan perampasan tersebut telah melampaui batasan yang ditentukan oleh Konstitusi atau tidak.

MK selama ini memang seringkali melakukan perluasan norma terhadap suatu ketentuan, baik di ranah pidana maupun non-pidana. Namun, hal tersebut tidak dilakukan untuk memperluas delik pidana atau kriminalisasi. Umumnya, permohonan yang diajukan dalam ranah pidana berupa dekriminalisasi suatu ketentuan pidana. Perluasan norma yang dilakukan MK terhadap hal tersebut ditujukan untuk melindungi atau mengembalikan hak dan kebebasan konstitusional, bukan sebaliknya membatasi hak dan kebebasan warga negara.

Dari Putusan ini dapat ditarik benang merah bahwa salah satu parameter MK untuk tidak memperluas norma dalam konteks judicial restraint adalah tidak memperluas norma pidana atau kriminalisasi serta tidak membuat delik pidana baru. Namun demikian, bagi para dissenters, MK seharusnya tidak mengambil sikap membatasi diri dengan menggunakan pendekatan judicial restraint.

Dalam perkara ini, mereka melihat bahwa norma di dalam KUHP yang mereduksi atau bertentangan dengan nilai agama dapat diperluas. Sebab, perluasan yang dilakukan tersebut sejatinya merupakan mala in se sebagai perbuatan yang merupakan kejahatan secara natural, dan bukan mala prohibita sebagai perbuatan yang merupakan kejahatan karena diatur oleh hukum positif atau undang-undang. Sehingga, mereka berpandangan bahwa aspek persetujuan dari perwakilan rakyat (DPR) bukanlah menjadi aspek yang sangat diperlukan. Pendekatan judicial activism dalam perkara ini diambil dengan bersandar dari moral reading of the Constitution, nilai agama, dan living law masyarakat. Artinya, parameter judicial activism yang digunakan lebih luas dari virtue jurisprudence sebagaimana diuraikan di atas.

Terlepas dari hasil Putusan a quo, perdebatan dan diskusi mengenai teori dan pendekatan para Hakim Konstitusi dalam mengambil suatu putusan, apakah menggunakan judicial restraint ataupun judicial activism, kini memasuki babak baru. Secara bertahap, MK mulai membangun parameter dan kriteria untuk pendekatannya masing-masing. Tantangan MK ke depan kini terletak pada konsistensi dalam menggunakan kedua pendekatan tersebut ketika hendak memutus suatu perkara. Kalau pun ternyata “terpaksa” berubah di kemudian hari, argumentasi hukum dan justifikasinya haruslah benar-benar kuat. Jika tidak, putusan MK akan dapat berkurang nilai legitimasinya. (*)

Artikel Penulis terkait lainnya:

  1. Konstitusi dan Aktivisme Yudisial
  2. Relevansi Doktrin Negative Legislator
  3. Dimensi Judicial Activism dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
  4. Salah Paham Putusan MK

 

1 thought on “Judicial Restraint vs Judicial Activism

  1. Pingback: 222. ASAS NIT AGIT EXPLUM LITEM QUO LITE RESOLVIT, TEPAT? – DISKUSI

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s