Putusan Ultra Petita di Mahkamah Konstitusi

PUTUSAN ULTRA PETITA DI MAHKAMAH KONSTITUSI

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 168, Februari 2021, hlm. 56-57– Download)

Dalam beberapa kesempatan, penulis kerap mendapatkan pertanyaan mengenai putusan ultra petita yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Di berbagai forum akademik, isu hukum ini seringkali dibahas. Tak sedikit juga yang mengkritisi adanya praktik putusan ultra petita tersebut. Bahkan, ada pula yang menilai MK telah melakukan abuse of power dengan membuat putusan ultra petita.

Larangan untuk menjatuhkan putusan ultra petita oleh MK pernah dimuat dalam Pasal 45A UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU MK Nomor 24 Tahun 2003 (UU 8/2011). Ketentuan tersebut berbunyi, “Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan”.

Artikel kali ini akan membahas dan mendudukkan putusan ultra petita secara lebih jernih dalam konteks peradilan konstitusi.

Karakter Pengujian Undang-Undang

Menurut Black’s Law Dictionary,istilah ulta petita berasal dari bahasa latin yang diterjemahkan sebagai “beyond that which was sought”. Artinya, suatu putusan dikatakan ulta petita apabila pengadilan atau hakim menjatuhkan putusan melebihi dari apa yang diminta atau digugat di dalam permohonannya (John Trayner, 1894).

Dalam sistem hukum Indonesia, putusan ultra petita dikenal pertama kali dalam hukum acara perdata. Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Pasal 189 ayat (2) dan (3) Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg) memuat larangan bagi hakim untuk memutus melebihi dari apa yang diminta (petitum).

Larangan ini dilatarbelakangi dari karakter kerperdataan yang meletakkan hak setiap orang dalam mempertahankan kepentingan individunya masing-masing. Karenanya, akibat putusan yang dikeluarkannya pun hanya mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalam perkara tersebut (inter-partes). Namun demikian, dalam perkembangannya ketentuan ini ternyata tidak lagi secara mutlak diberlakukan pada beberapa putusan Mahkamah Agung.

Lalu, bagaimana dengan praktik di Mahkamah Konstitusi? Karakter hukum acara pengujian undang-undang di MK jelas berbeda dengan hukum acara perdata. MK sebagai peradilan konstitusi memiliki tugas dan fungsi untuk melindungi dan mempertahankan hak serta kepentingan konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945. Walaupun pengujian undang-undang dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama, namun undang-undang yang menjadi objek pengujian konstitusionalitas selalu mengikat dan berlaku umum bagi seluruh warga negara.

Akibat hukumnya, putusan yang dijatuhkan tidak saja mengikat bagi pihak yang berperkara. Namun, putusannya juga mengikat bagi lembaga negara, pejabat negara, penegak hukum, dan seluruh rakyat Indonesia. Sifat putusan yang berdaya laku dan mengikat umum ini dikenal dengan istilah erga omnes.

Dari sisi historis, salah satu momentum sejarah terbesar dalam pengujian undang-undang justru berawal dari putusan ultra petita. Untuk pertama kalinya, Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Marbury vs. Madison pada tahun 1803 menjatuhkan putusan yang membatalkan undang-undang buatan Kongres Amerika Serikat. MA Amerika Serikat memutuskan bahwa Judiciary Act 1978 bertentangan dengan Konstitusinya dan dinyatakan tidak dapat diberlakukan kembali.

Padahal, Marbury sebagai pemohonnya hanya meminta agar MA Amerika Serikat mengeluarkan writ of mandamus untuk memerintahkan Pemerintah baru di bawah Presiden Thomas Jefferson agar menyerahkan surat pengangkatan hakim kepada pemohon agar dapat menjalankan tugasnya. Namun, bukannya mengabulkan permohonan tersebut, MA Amerika Serikat malah membatalkan Undang-Undangnya.

Dalam pertimbangannya, John Marshall sebagai Ketua MA Amerika Serikat pada saat itu berpendapat, “If courts are to regard the Constitution, and the Constitution is superior to any ordinary act of legislature, the Constitution […] must govern the case to which they both apply.” Singkatnya, putusan yang ultra petita ini justru menjadi embrio terbangunnya sistem judicial review di berbagai negara dunia dengan sifat yang selalu mengutamakan konstitusi dibanding peraturan perundang-undangan lainnya.

Pertimbangan Putusan Ultra Petita

Dalam Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 bertanggal 18 Oktober 2011, MK pada akhirnya membatalkan ketentuan mengenai larangan putusan ultra petita yang termuat di dalam UU 8/2011. MK menilai bahwa format pembentukan MK dengan kewenangan pengujian undang-undang adalah untuk membenahi hukum, termasuk membentuk aturan baru yang dibutuhkan untuk dapat menutup kekosongan hukum yang terjadi.

Menurut MK, adanya larangan tersebut akan menyebabkan terjadinya pembatasan untuk memberikan keadilan substantif dan konstitusional. Sebab, MK bertugas untuk melindungi hak-hak konstitusional yang tidak hanya tertulis pada teks UUD 1945, namun juga merujuk pada nilai-nilai yang tersirat di dalamnya (implied values). Karenanya, MK terkadang tidak cukup hanya mempertimbangkan petitum yang “dihidangkan” oleh pemohon semata.

Alasan-alasan di atas tentunya tidak dapat dilepaskan dari konsep dasar mengenai konstitusi sebagai suatu organisme hidup (constitution as a living organism). Konsekuensinya, konstitusi harus dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Secara filosofis, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Hakim Konstitusi juga diwajibkan untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Oleh karena itu, Hakim Konstitusi tidak seyogianya terbelenggu dengan apa yang sekadar diminta oleh pemohon guna menghadirkan rasa kehadiran. Akan tetapi, perlu juga mempertimbangkan tujuan dan pencapaian keadilan itu sendiri, tidak saja terbatas bagi para pihak yang berperkara, namun juga seluruh masyarakat Indonesia.

Terlebih lagi, apabila pemohon memasukan petitum “sapu jagat” yang berbunyi, “Apabila Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)”, maka hal ini dapat dianggap bahwa pemohon telah menyerahkan sepenuhnya kepada MK, baik untuk memutus hal-hal yang diminta ataupun tidak diminta, berdasarkan permohonan Pemohon.

Secara teori dan praktik, ultra petita memiliki legitimasi untuk dilakukan, sebagaimana juga terjadi pada MK di negara-negara lain. Namun demikian, hakim konstitusi tentunya tidak bisa secara serampangan memutus secara ultra petita sesuai dengan kehendaknya masing-masing. Karenanya, agar putusan MK yang berkarakter ultra petita memiliki justifikasi maka setidaknya harus dipenuhi dua prasyarat utama.

Pertama, putusan MK harus memiliki penalaran hukum (legal reasoning) yang kuat di dalam pertimbangan hukumnya manakala MK harus menjatuhkan putusan di luar dari apa yang dimohonkan oleh pemohon. Umumnya, putusan ultra petita ini dibuat untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia atau mengisi terjadinya kekosongan hukum (legal vacuum).

Kedua, harus terdapat akuntablitas peradilan (judicial accountability) dalam penyelesaian perkara, termasuk keterbukaan dalam proses persidangannya dan akses terhadap dokumen putusan lengkap. Apabila terdapat alasan atau pendapat berbeda (concurring or dissenting opinion) di antara para Hakim Konstitusi dalam penjatuhan putusan, maka hal tersebut perlu juga disampaikan kepada publik.

Dengan demikian, putusan ultra petita dalam peradilan konstitusi sejatinya tidak lagi menjadi perdebatan dari sisi teoritis. Akan tetapi, secara kasus per kasus, ruang argumentasi dan perdebatan masih terbuka guna menilai apakah putusan ulta petita yang dijatuhkan oleh MK dalam kasus tertentu sudah tepat dilakukan atau tidak.

* Pan Mohamad Faiz, Ph.D. Peneliti Senior di Mahkamah Konstitusi

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s