Sengketa Pilkada Pasca PSU

SENGKETA PILKADA PASCA PSU

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 171, Mei 2021, hlm. 60-61 – Download)

Dalam penanganan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah tahun 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) meregistrasi dan memeriksa 136 perkara dari 270 daerah yang menggelar Pilkada. Dari seluruh perkara tersebut, sebanyak 19 perkara (14%) dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari pemilihan kepala daerah di dua provinsi, satu kota, dan tiga belas kabupaten berbeda.

Putusan MK yang mengabulkan permohonan dalam sengketa Pilkada kali ini berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya. Meskipun sama-sama memerintahkan untuk dilakukannya pemungutan atau penghitungan suara ulang (PSU), MK tidak lagi menjatuhkan putusan sela, melainkan langsung menjatuhkan putusan akhir.

Dalam putusan sela terdahulu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah umumnya diperintahkan untuk melaporkan kembali kepada MK terhadap hasil pelaksanaan PSU. Sedangkan, dalam putusan akhir secara tegas dinyatakan bahwa hasil PSU tidak perlu dilaporkan kepada MK. Inilah kali pertama MK menjatuhkan putusan akhir tanpa putusan sela untuk seluruh perkara Pilkada yang ditanganinya.

Perbedaan putusan MK ini kemudian memunculkan beberapa pertanyaan penting. Apakah pergeseran model putusan MK ini akan membuka kembali untuk diajukannya permohonan sengketa hasil Pilkada pasca dilakukannya PSU? Apa dasar hukum yang mengaturnya? Bagaimana konsekuensi dari putusan MK pasca PSU?

Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut penting untuk dijawab. Terlebih lagi, KPU di beberapa daerah yang menyelenggarakan PSU ternyata langsung menetapkan pasangan calon terpilih. Bahkan, ada juga pasangan calon terpilih pasca PSU yang telah dilantik oleh Gubernurnya. KPU daerah mengambil keputusan tersebut dengan alasan tidak ada regulasinya dan belum pernah ada dalam praktik ketatanegaraan sebelumnya.

Pemeriksaan Pasca PSU

Saat tulisan ini dibuat, setidaknya terdapat delapan permohonan pasca diadakannya PSU yang telah diregistrasi dan diperiksa oleh MK. Sebagian kecil di antaranya bahkan telah diputus. Jumlah permohonan sengketa Pilkada pasca PSU yang diajukan ke MK ini kemungkinan besar akan bertambah. Sebab, terdapat sebagian daerah yang belum melaksanakan PSU karena memerlukan persiapan yang lebih matang.

Artinya, MK dapat menerima permohonan dan memeriksa sengketa yang diajukan pasca PSU. Alasan MK untuk tetap menerima permohonan tersebut setidaknya dapat ditelusuri dari Putusan Nomor 137/PHP.BUP-XIX/2021 dalam perkara sengketa Pilkada pasca PSU di Kabupaten Sekadau. Menurut Mahkamah, perintah untuk tidak perlu melaporkan hasil PSU kepada MK tidak dapat dimaknai bahwa pihak yang merasa dirugikan dari hasil rekapitulasi PSU menjadi kehilangan haknya untuk mengajukan sengketa hasil ke MK.

Pergeseran model putusan MK ini menurut MK dimaksudkan apabila para peserta Pilkada menerima hasil PSU, misalnya karena menilai proses dan hasilnya telah berlangsung secara jujur dan adil, maka KPU dan para peserta Pilkada tidak perlu melibatkan MK untuk melakukan tindak lanjut sesuai tahapan yang telah ditentukan.

Adapun pemeriksaan perkara yang diajukan pasca PSU oleh MK tetap menggunakan ketentuan dan aturan yang sama dengan pemeriksaan sengketa hasil Pemilu sebelum PSU. Kewenangan MK memeriksa sengketa pasca PSU tetap didasarkan pada Pasal 157 ayat (3) dan ayat (4) UU 10/2016, di mana perselisihan penetapan perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dimohonkan dan diperiksa oleh MK.

Begitu pula dengan penerapan tenggang waktu dan ambang batas mengajukan permohonan, pemeriksaannya tetap dilakukan secara case by case. Apabila ditemukan keadaan khusus, persyaratan tenggang waktu dan ambang batas mengajukan permohonan tetap dapat ditunda atau disimpangi keberlakuannya oleh MK.

Keputusan yang dikeluarkan KPU daerah mengenai hasil pemilihan tentu berbeda antara yang dikeluarkan pasca PSU dengan Keputusan KPU daerah sebelum PSU. Karenanya, tidak tepat untuk mengategorikan permohonan yang diajukan pasca PSU masuk dalam kategori nebis in idem. Sebab, objek perkara dan dalil-dalil permohonannya jelas berbeda.

Perbedaan lainnya, pemeriksaan perkara pasca PSU juga difokuskan hanya pada dugaan pelanggaran atau dalil-dalil yang berkaitan dengan hasil PSU. MK tidak akan memeriksa dalil-dalil yang diajukan di luar PSU, baik yang sudah pernah ataupun belum pernah diajukan pada pemeriksaan perkara sebelum PSU digelar. Dengan kata lain, argumentasi di luar ruang lingkup persiapan, proses, dan hasil PSU tidak lagi diperiksa oleh MK. Hal demikian seharusnya diajukan pada saat pemeriksaan perkara sebelum PSU dilaksanakan.

Satu hal penting yang perlu dievaluasi dari PSU kali ini adalah perlunya KPU menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan hukum dan tindakan administrasi yang terlalu jauh terhadap hasil PSU. KPU tidak perlu menetapkan pasangan calon terpilih atas alasan demi kepastian hukum. Sama seperti ketentuan dan tahapan Pilkada pada umumnya, KPU seyogianya menunggu apakah terdapat permohonan keberatan terhadap hasil pemilihan kepada KPU ke MK atau tidak.

Untuk meluruskan kesalahan KPU daerah tersebut, MK akan membatalkan segala perbuatan hukum dan tindakan administrasi lainnya setelah penetapan rekapitulasi hasil PSU, mulai dari Keputusan KPU terkait penetapan pasangan calon terpilih, Keputusan DPRD terkait usul pengesahan pengangkatan pasangan calon terpilih, Keputusan Mendagri terkait pengesahan pengangkatan kepala daerah, hingga pelantikan pasangan calon kepala daerah oleh Gubernur. Setelah keluar Putusan MK maka proses dan tahapan tersebut harus diulang kembali.

Pilkada Tiada Akhir?

Tantangan terhadap diterimanya permohonan sengketa hasil Pilkada pasca PSU adalah proses penyelenggaraan Pilkada yang terlalu panjang, bahkan kekhawatirannya bisa menjadi tidak pernah berakhir. Asumsinya, jika keberatan pasca PSU yang diajukan nantinya dikabulkan oleh MK maka akan dilakukan kembali PSU kedua, ketiga, dan seterusnya.

Sebenarnya, praktik pengajuan permohonan keberatan pasca PSU sudah terjadi di setiap penanganan Pilkada pada tahun-tahun sebelumnya, dan bukan hanya pada tahun ini saja. Penjatuhan putusan sela di masa lalu juga tidak menutup hak dan kesempatan para pihak untuk menyampaikan keberatan terhadap hasil PSU. Hasilnya, tidak sedikit putusan MK yang kemudian memerintahkan kembali penghitungan atau pemungutan suara ulang untuk kedua atau ketiga kalinya. Misalnya pada Pilkada di Kabupaten Muna, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Perbedaannya, pemeriksaan sengketa pasca PSU melalui putusan sela masih dalam perkara yang sama, sedangkan saat ini diperiksa dalam perkara yang berbeda.

Kelebihan penjatuhan putusan Pilkada tanpa putusan sela justru untuk mengefektifkan tahapan Pilkada dan pemeriksaan sengketa hasil Pilkada di MK. Di satu sisi, KPU tidak perlu melaporkan hasil PSU kepada MK,  sehingga jika dalam batas tenggang waktu tidak ada yang mengajukan permohonan ke MK maka bisa langsung ditindaklanjuti tahapan selanjutnya.

Di sisi MK, para pihak yang berperkara akan menjadi lebih jelas mengenai siapa yang akan duduk sebagai Pemohon dan Pihak Terkait. Sebab, pasca diselenggarakannya PSU tidak jarang mengakibatkan pasangan calon terpilih menjadi berbeda. Akibatnya, pasangan calon yang sebelumnya menjadi Pihak Terkait maka pasca PSU akan menjadi Pemohon manakala mengajukan permohonan ke MK. Ada juga sebelumnya dalam sengketa hasil Pilkada pasca PSU, Pemohon dan Pihak Terkait sama-sama menjadi Pemohon karena pasangan calon yang terpilih justru pasangan calon peraih suara ketiga yang tidak pernah berperkara sebelumnya. Karenanya, pasangan calon ketiga ini akan menjadi Pihak Terkait.

Apabila pemeriksaan perkara pasca PSU dilakukan dengan para pihak yang sama, padahal secara substansial kedudukan dan kepentingannya sudah berbeda, maka menjadi sangat rancu dalam memosisikan para pihak di dalam pemeriksaan untuk nomor perkara yang sama. Karenanya, dengan adanya perkara yang baru justru para pihak yang berperkara akan lebih jelas kedudukan dan kepentingannya masing-masing.

Selanjutnya, sengketa hasil pasca PSU yang tidak diterima atau ditolak oleh MK tentu akan langsung mengakhiri proses Pilkada. Sedangkan apabila MK mengabulkan permohonan, artinya terbukti masih saja terdapat kesalahan dan pelanggaran yang signifikan dalam PSU. Jika hal ini terjadi maka sejatinya perhatian jangan diarahkan pada palu MK.

Namun, perhatian justru perlu diarahkan kepada para penyelenggara Pilkada dan para pasangan calon, mengapa masih terjadi pelanggaran signifikan yang sampai berakibat dilakukannya PSU ulang. Padahal, pelaksanaan PSU sudah di bawah supervisi ketat dari KPU Pusat, Bawaslu Pusat, dan juga pihak Kepolisian RI. Jika persiapan dan proses PSU berjalan dengan baik, MK sebagai pengawal prinsip demokrasi tentunya akan menjatuhkan putusan yang justru turut memperkuat legitimasi hasil Pilkada tersebut.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s