PENDEKATAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP KONSTITUSIONALITAS HUKUMAN MATI
* Dimuat dalam Kolom Khazanah, Majalah KONSTITUSI No. 96, Edisi Februari 2015, hal 64-67 (Download)
Pembahasan mengenai konstitusionalitas hukuman mati di Indonesia akhir-akhir ini kembali marak didiskusikan. Pasalnya, di awal masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia kembali mengeksekusi terpidana mati, baik terhadap warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Pada 2007 silam, Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah menjatuhkan putusan terkait konstitusionalitas hukuman mati dalam perkara Pengujian Undang-Undang Narkotika dengan menyatakan jenis hukuman tersebut adalah konstitusional. Putusan MK itu disambut baik oleh sebagian besar penggiat anti-narkotika. Namun, bagi para penggiat hak asasi manusia, putusan tersebut dinilai konservatif.
Berbagai analisa pro dan kontra terhadap Putusan tersebut juga tersebar di berbagai tulisan. Salah satu analisa akademis terhadap Putusan MK terkait hukuman mati ditulis oleh Natalie Zerial di dalam Australian International Law Journal yang berjudul “Decision No. 2-3/PUU-VI/2007 [2007] (Indonesian Constitutional Court”. Saat membuat tulisan tersebut, Natalie merupakan mahasiswi di Harvard Law School dan saat ini sebagai Barrister di Australia.
Natalie tertarik untuk mengkaji Putusan MK Indonesia karena secara tidak langsung Putusan-Putusan MK juga memiliki signifikansi terhadap Australia. Misalnya, Putusan MK terkait konstitusionalitas penjatuhan hukuman bagi para pelaku “Bali Bombings” (2004) yang mengakibatkan 88 warga negara Australia meninggal dunia; dan Putusan MK terkait konstitusionalitas hukuman mati yang di antaranya diajukan oleh tiga orang berkewarganegaraan Australia yang terlibat dalam “Bali Nine”, yaitu Scott Rush, Andrew Chan, dan Myuran Sukumaran.
Berbeda dengan perspektif para penulis lainnya, Natalie lebih memfokuskan analisa terhadap Putusan MK yang dinilainya merefleksikan perspektif budaya dan kawasan terkait dengan hukum internasional hak asasi manusia, termasuk mengenai perdebatan “nilai-nilai Asia” dalam hak asasi manusia. Analisanya juga mendiskusikan mengenai penggunaan dan penafsiran hukum internasional oleh MK yang menurutnya tidak hanya terbatas konteks nasional, namun juga Konstitusi Indonesia secara global. Tulisan berikut ini akan menguraikan argumentasi dan temuan yang dianalisa oleh Natalie Zerial.
Sekilas tentang Bali Nine
Pada 17 April 2005, sembilan warga Australia ditangkap di Bali dan seluruhnya kemudian didakwa melakukan tindak pidana penyelundupan heroin sebanyak 8,3 kg dari Indonesia menuju Australia. Berdasarkan sistem hukum di Indonesia, tindak pidana tersebut dapat dijatuhi pidana mati. Dalam Putusannya, Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada tujuh kurir “Bali Nine”, yaitu Matthew Norman, Si Yi Chen, Tan Duc Thanh Nguyen, Renae Lawrence, Scott Rush, Michael Czugaj, dan Martin Stephens. Sedangkan dua orang lainnya yang dijuluki sebagai ringleaders, yaitu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, divonis hukuman mati.
Kesembilan terpidana tersebut kemudian melakukan berbagai upaya hukum mulai dari proses banding, kasasi, hingga peninjauan kembali. Pada akhirnya, hukuman dua puluh tahun penjara hanya diberikan kepada Lawrence, sedangkan Chen, Czugaj, Nguyen, Norman, Rush, dan Stephens tetap menerima hukuman penjara seumur hidup. Sementara itu, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan tetap dijatuhi hukuman mati. Belum lama ini, permohonan grasi yang diajukan oleh keduanya kepada Presiden Joko Widodo sebagai upaya terakhir juga telah ditolak pada 30 Desember 2014 dan 22 Januari 2015.
Dalam proses menunggu eksekusi hukuman mati oleh regu penembak, Chan dan Sukumaran terus berupaya melakukan upaya-upaya hukum lain melalui kuasa hukumnya. Pemerintah Australia juga memberikan dukungan secara resmi dengan meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk mengubah hukuman mati bagi kedua warganya tersebut.

Keterangan: Bali Nine Members
Pancasila, Hukum, dan HAM di Indonesia
Setelah jatuhnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan rezim orde baru tahun 1998, sistem hukum dan politik Indonesia mengalami reformasi secara besar-besaran. Dalam waktu kurang dari empat tahun, UUD 1945 diamandemen sebanyak empat kali, termasuk diadopsinya perlindungan HAM di dalam konstitusi secara komprehensif. Bagi Natalie, pemuatan HAM tersebut cukup unik dan visioner dalam konteks kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara yang selama ini dikenal penuh curiga dengan model HAM rezim barat.
Begitu pula dengan sistem hukum Indonesia, Natalie mendeskripsikannya sebagai produk yang sangat menarik karena adanya keragaman pengaruh, baik dari hukum sisa-sisa kolonialisasi Belanda, hukum adat, hukum Islam, dan standar hukum internasional. Sistem hukum yang sinkretis ini kemudian didukung dengan adanya Pancasila yang memuat prinsip-prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi perwakilan, dan keadilan sosial. Kelima prinsip ini dibuat untuk membentuk karakter nasional terhadap masyarakat yang heterogen. Pada masa Soeharto, Pancasila ditempatkan sebagai sumber hukum yang tertinggi. Namun pada masa reformasi, Pancasila dimasukan ke dalam UUD 1945 sebagai bagian yang tidak terpisahkan ketika menafsirkan konstitusi.
Menurut Natalie, Pancasila selalu membawa unsur kemanusiaan dan UUD 1945 telah memasukan seperangkat jaminan atas HAM sebagai salah satu dari tiga pilar reformasi, di samping prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum. Ketentuan mengenai HAM terdapat Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J di dalam Bab XA UUD 1945. Dalam konteks analisa terhadap Putusan MK terkait hukuman mati, ketentuan HAM yang terkait langsung terdapat pada Pasal 28A, Pasal 28I, dan Pasal 28J UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut dengan cetak miring oleh Penulis:
Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Pasal 28I ayat (1): “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Pasal 28J ayat (1): “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Pasal 28J ayat (2): “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Formulasi ketentuan dalam Pasal 28J UUD 1945 di atas menurut Natalie merupakan konseptualisasi hak asasi manusia di Indonesia dalam konteks kesimbangan antara hak asasi dan kewajiban yang kemudian menjadi pertimbangan utama bagi MK dalam berbagai putusannya.
Analisa Putusan MK
Terhadap inti Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 terkait pengujian konstitusionalitas hukuman mati yang dijatuhkan pada 30 Oktober 2007, Natalie menyimpulkan dua hal. Pertama, tiga orang pemohon warga negara Australia dinilai oleh MK tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengujian undang-undang. Kedua, penjatuhan hukuman mati terhadap kejahatan narkotika tidak melanggar UUD 1945. Putusan ini tidak diambil secara bulat. Empat Hakim Konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinions).
Hakim Harjono berpendapat seharusnya para Pemohon yang berkewarganegaraan asing diberikan kedudukan hukum; Hakim Roestandi menyatakan hukuman mati seharusnya dinyatakan inkonstitusional; dan Hakim Laica bersama Hakim Maruarar berpendapat para Pemohon warga negara asing memiliki kedudukan hukum dan hukuman mati juga harus dinyatakan inkonstitusional. Menurut Natalie, keputusan mayoritas dan adanya empat pendapat berbeda membuka jendela baru terhadap isu krusial terkait implementasi dan penafsiran hak asasi manusia di Asia Tenggara, bahkan dalam konteks sistem hukum yang sangat dipengaruhi oleh mayoritas pemeluk agama Islam di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, pemohon yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang memang dibatasi bagi warga negara Indonesia. Oleh karenanya, MK menolak untuk memberikan kedudukan hukum bagi para pemohon berkewarganegaraan asing. Walaupun pendapat berbeda yang disampaikan oleh Hakim Harjono, Hakim Laica, dan Hakim Maruarar tidak secara tegas menyatakan warga negara asing dapat diberikan kedudukan hukum untuk menguji konstitusionalitas setiap undang-undang, namun para Hakim Konstitusi tersebut sepakat bahwa ketiga warga negara Australia yang menjadi para Pemohon telah memenuhi syarat kedudukan hukum untuk menguji konstitusionalitas hukuman mati yang termuat di dalam UU Narkotika. Hakim Harjono beralasan bahwa menolak warga asing untuk menguji pasal tersebut akan menimbulkan tertundanya kepastian hukum sebab MK perlu menunggu adanya warga negara Indonesia yang mengujinya terlebih dahulu. Sementara itu, Hakim Laica dan Maruarar lebih mempertimbangkan pendekatan hukum dan instrument internasional tentang hak asasi manusia dengan mengedepankan prinsip equal rights bagi sertiap orang terlepas dari kewarganegaraannya.
Walaupun MK menyatakan ketiga warga negara asing tersebut tidak memiliki kedudukan hukum, namun MK tetap memeriksa dan memutuskan substansi permasalahan konstitusional yang sedang diuji. Alasannya, permohonan juga diajukan secara bersama-sama oleh dua orang wanita Indonesia bernama Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani (Melisa Aprilia) yang telah memenuhi syarat kedudukan hukum. Dengan mempertimbangkan maksud dari pembuat UUD 1945 dan berbagai aspek hukum internasional, MK menyimpulkan bahwa “hak untuk hidup” yang termuat di dalam UUD 1945 tidak melarang hukuman mati yang diatur berdasarkan undang-undang dan setelah menjalani proses hukum yang adil serta hanya untuk kejahatan serius. Sementara itu, tiga Hakim Konstitusi yang berpendapat berbeda menyandarkan argumentasinya juga pada hukum internasional dan praktik bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable).
Natalie Zerial menilai bahwa Putusan MK tersebut memiliki pertimbangan hukum yang kompleks dan beragam, termasuk dari pendapat berbeda Hakim Konstitusi. Beberapa isu penting yang termuat di dalam Putusan tersebut diuraikan oleh Natalie ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) Keseimbangan masyarakat terhadap individu; (2) Peran dan pengaruh dari agama; dan (3) Hukum internasional.
- Kesimbangan masyarakat terhadap individu
Menurut Natalie, kesimbangan antara HAM individu dengan kesejahteraan masyarakat merupakan isu yang sering menjadi karakteristik perdebatan tentang HAM di Asia. Isu inilah yang dinilai oleh Natalie sebagai isu utama yang diambil oleh Hakim mayoritas. Prespektif ini memperhadapkan antara hak untuk hidup dari mereka yang dijatuhi hukuman dengan hak-hak para korban sebagai individu ataupun hak dari ‘masyarakat sebagai korban’ (society as victims). Mengutip pendapat Eldrige (2003), Natalie mengatakan bahwa sistem perlindungan HAM di Indonesia sangat dipengaruhi oleh isu-isu tentang kemiskinan, budaya, agama, stabilitas dan ketertiban nasional. Pentingnya isu-isu tersebut nampak terlihat pada pertimbangan hukum Putusan MK mengenai apakah negara dapat menjatuhkan hukuman mati kepada individu, khususnya dalam konteks kejahatan narkotika.
Natalie juga berpendapat bahwa perhatian MK terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia dapat dilihat ketika MK membantah dalil para Pemohon, yang mengatakan tujuan utama dari hukuman pidana adalah rehabilitasi, dengan argumentasi bahwa setiap kejahatan merupakan serangan terhadap harmoni sosial masyarakat (social harmony of society) yang menimbulkan luka (wound) atau sakit (illness) di masyarakat. Selain itu, MK juga mempertimbangkan bahwa hukuman pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan juga harus dilihat sebagai upaya untuk mengembalikan harmoni sosial yang terganggu akibat dari kejahatan itu. Bagi Natalie, pembahasan yang dilakukan oleh MK terhadap isu-isu terkait HAM dan hukuman mati menunjukan bahwa MK mempercayai HAM haruslah dibatasi, setidaknya untuk sebagian, sepanjang pembatasan tersebut dapat melayani kebutuhan masyarakat sebagaimana terkonseptualisasi di dalam budaya dan sejarah Indonesia.
- Peran dan pengaruh agama
Dalam Putusan a quo, Natalie juga menyimpulkan adanya pengaruh dari ajaran agama dalam pertimbangan hukum yang diambil oleh MK. Natalie memahami bahwa agama memiliki tempat penting dalam hukum dan masyarakat Indonesia. Dengan adanya Pancasila maka tidak dapat dipisahkan antara penafsiran hukum dan konstitusi dari perspektif agama. Walaupun hukum Islam memiliki pengaruh besar dalam hukum Indonesia, namun Islam tidak menjadi agama negara ataupun konstitusi negara. Sebab, ajaran agama-agama lainnya juga memberikan pengaruh terhadap hukum Indonesia.
Pandangan Natalie tersebut ditarik dari pertimbangan hukum MK yang menegaskan bahwa posisi bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup, diambil dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa. MK juga mengakui bahwa sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia merujuk secara khusus pada Deklarasi Kairo tentang Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam yang dalam Pasal 2 huruf a [sic] menyatakan, “Kehidupan adalah berkah Tuhan dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap umat manusia. Adalah tugas dari individu, masyarakat dan negara-negara untuk melindungi hak-hak ini dari setiap pelanggaran apa pun, dan dilarang untuk mencabut kehidupan kecuali berdasarkan syariat”.
Menurut Natalie, baik MK maupun para ahli mencoba untuk ‘mendamaikan’ pertentangan antara kesucian hidup dengan hukuman mati. Salah satu caranya dengan mempertimbangkan adanya prasyarat proses peradilan yang adil. Metode lainnya yaitu dengan memindahkan tanggung jawab dari negara sebagai eksekutor kepada pelaku kejahatan dengan penekanan bahwa hukuman mati lebih merupakan hasil dari keputusan yang dibuat dari seorang individu, bukan dari kebijakan negara.
Pembahasan yang juga menarik perhatian Natalie dalam konteks agama datang dari dissenting opinion yang disampaikan oleh Hakim Roestandi mengenai hubungan antara negara hukum dan hukum Islam. Hakim Roestandi mengakui fakta bahwa hukum Islam membolehkan adanya hukuman mati. Namun demikian, dia menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara norma agama yang bersifat internal terkait dengan motivasi dan niat, dengan norma hukum yang bersifat eksternal terkait dengan pelaksanaan secara lahiriyah. Secara khusus, Hakim Roestandi juga mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sangat pluralistik dan telah membuat kesepakatan nasional di dalam Pancasila dan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Dengan demikian, seharusnya tidak ada kontradiksi antara hukum Islam yang membolehkan hukuman mati dengan hukum sekuler yang melarangnya.
- Hukum Internasional
Menurut Natalie, perspektif mengenai HAM internasional memiliki peran kunci dalam pembuatan Putusan a quo. Seluruh Hakim Konstitusi yang terlibat dalam memutus perkara tersebut sepakat untuk menggunakan pendekatan melalui instrumen internasional guna memperkaya cakrawala dalam menafsirkan UUD 1945. MK juga mempertimbangkan bahwa walaupun penafsiran konstitusi merupakan isu utama dalam perkara ini, namun MK perlu menegaskan posisinya apakah hukuman mati bertentangan dengan kewajiban Indonesia dalam hukum internasional.
Dalam pembahasannya, MK menyimpulkan bahwa hak untuk hidup tidaklah mutlak sebagaimana tertuang di sejumlah instrumen hukum internasional, di antaranya, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR); Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict; Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict; Rome Statute of International Criminal Court; Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights), American Convention on Human Rights, Protocol No. 6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of the Death Penalty. MK juga menyimpulkan bahwa instrumen internasional tersebut memuat ketentuan tentang hukuman mati dengan batasan-batasan tertentu, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa penghapusan hukuman mati telah menjadi norma hukum yang diterima secara universal oleh masyarakat internasional.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK memosisikan diri untuk menilai apakah penjatuhan hukuman mati merupakan pelanggaran bagi negara Indonesia terhadap instrumen hukum internasional, khususnya ICCPR. Walaupun mengakui bahwa semangat dari ICCPR adalah untuk menghapuskan hukuman mati, namun MK berpendapat Pasal 6 ayat (2) ICCPR menyediakan ruang bagi penjatuhan hukuman mati khusus terhadap kejahatan-kejatan yang paling serius (the most serious crimes). Selanjutnya, MK menilai apakah kejahatan narkotika yang dapat dihukum dengan pidana mati merupakan jenis kejahatan paling serius. Menurut MK, frasa “kejahatan yang paling serius” harus dibaca juga dengan frasa “sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan itu dilakukan”. MK menilai bahwa hukum yang berlaku pada saat itu di tingkat nasional adalah adalah UU Narkotika dan untuk tingkat internasional adalah Konvensi Narkotika dan Psikotropika yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada 1997.
Dalam konteks ini, MK merujuk pada Pasal 3 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 24 Konvensi tersebut yang memuat ketentuan bagi negara pihak untuk dapat memaksimalkan efektivitas penegakan hukum terkait tindak pidana narkotika dan psikotropika, termasuk dengan menerapkan langkah-langlah lebih keras yang dalam hal ini menurut Mahkamah termasuk dengan ancaman pidana mati. MK juga merujuk pada Pembukaan Konvensi untuk menyatakan bahwa pada faktanya kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang sangat serius (particularly serious) dengan menyandingkan antara kejahatan narkotika dengan genosida (genocide crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Sebab, menurut MK, ketiga jenis kejahatan tersebut secara negatif dapat memengaruhi “economic, cultural, and political foundation of society and cause a danger of incalculable gravity”.
Kemudian, MK berpendapat bahwa keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika, yang memberikan mandat untuk mengambil langkah nasional secara keras dalam memberantas kejahatan narkotika, memiliki kedudukan lebih tinggi berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional apabila dibandingkan dengan Komisi HAM PBB yang berpendapat bahwa kejahatan terhadap obat-obatan terlarang tidak termasuk dalam kejahatan yang paling serius. Terhadap argumentasi ini, Natalie berpendapat bahwa kesimpulan MK cukup bermasalah untuk beberapa alasan. MK dinilainya telah mengabaikan pendapat dari Komisi HAM PBB yang termuat di dalam General Comment 6 yang diadopsi pada 1982 dan beberapa laporan negara anggota, di mana penafsiran secara langsung terhadap “most serious crimes” merujuk pada ICCPR dan HAM, sedangkan Konvensi Narkotika dan Psikotropika merujuk pada konteks keseriusan kejahatan narkotika secara umum.

Keterangan: Majelis Hakim Konstitusi
Kesimpulan
Walaupun MK memutuskan hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945, namun dalam kesimpulan akhirnya MK berpendapat agar di masa mendatang dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional, beberapa hal harus sungguh-sungguh menjadi perhatian, yaitu:
- pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;
- pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun;
- pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;
- eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.
Dengan menganalisa Putusan a quo, terlepas dari adanya pendapat berbeda yang cukup kuat, Natalie memprediksi bahwa Indonesia akan tetap mempertahankan hukuman mati untuk kejahatan narkotika untuk saat ini. Natalie juga berpendapat bahwa Putusan yang diambil MK sangat menarik karena mencoba untuk menyeimbangkan antara prinsip-prinsip lokal dan kepentingan terhadap sistem HAM internasional. Menurutnya, MK ingin membuktikan bahwa negara dapat bertanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya dalam sistem hukum internasional tanpa harus “membungkuk” (bowing) kepada para abolisionis barat dan kekuatan mantan kolonialis Indonesia.
Putusan ini dinilai oleh Natalie juga memperlihatkan bahwa adopsi HAM di kawasan Asia Pasifik tidak akan selalu membawa hasil yang diharapkan atau dapat diprediksi. Dengan meminjam istilah Harding (2002), Natalie berpendapat Putusan a quo telah mendemonstrasikan bahwa hukum internasional HAM, sebagaimana diperkenalkan di Asia Tenggara oleh para kolonis dan imigran, di satu sisi telah berhasil menemukan tanah yang subur dan berakar, namun di sisi lain juga gagal digunakan untuk tujuan-tujuan lokal atau dimodifikasi dalam aplikasi praktiknya.
***
Kolom “Khazanah Konstitusi” merupakan rubrik yang menguraikan hasil penelitian ataupun kajian akademis yang ditulis oleh para peneliti di luar Indonesia terkait dengan tema-tema konstitusi. Rubrik ini dimaksudkan untuk mengetahui berbagai pandangan dan perspektif akademis yang berkembang di luar Indonesia terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi ataupun pelaksanaan sistem Konstitusi di Indonesia. Tulisan ini juga ditujukan sebagai materi literature review yang dapat digunakan oleh para mahasiswa, peneliti, ataupun para praktisi hukum konstitusi sebagai bahan referensi akademis ataupun studi lanjutan.
Rubrik ini diasuh oleh Pan Mohamad Faiz Kusuma Wijaya, Peneliti di Mahkamah Konstitusi yang kini tengah menempuh program PhD di bidang Hukum Tata Negara di School of Law, University of Queensland, sekaligus menjadi Research Scholar pada Center for International, Public and Comparative Law (CPICL) di Australia. Untuk informasi dan korespondensi lebih lanjut, Penulis dapat dihubungi melalui email: p.wijaya@uq.edu.au.