KODE ETIK MANTAN HAKIM KONSTITUSI, PERLUKAH?
Pan Mohamad Faiz, Ph.D., Peneliti Mahkamah Konstitusi
(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 136, Juni 2018, hlm. 67-68 – Download)
Sejak dibentuk pada 2003 hingga saat ini, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memiliki enam belas mantan hakim konstitusi. Dengan ketentuan saat ini, tiga di antaranya masih memiliki peluang dipilih kembali untuk periode yang kedua. Aktivitas yang kini ditekuni oleh keenam belas mantan hakim konstitusi tersebut sangatlah beragam.
Sebagian besarnya masih terbilang sangat aktif. Mulai dari keterlibatannya dalam kegiatan akademis di kampus, organisasi kemasyarakatan, hingga menduduki jabatan-jabatan strategis di lembaga negara lainnya. Terdapat juga mantan hakim konstitusi yang terjun dalam arena politik, terlibat aktif dalam berbagai diskusi publik atas isu-isu nasional yang kontroversial, atau memberikan ceramah dan kuliah umum di berbagai forum publik.
Tak ada batasan atau larangan yang jelas bagi mantan hakim konstitusi di Indonesia mengenai aktivitas, tindakan, dan ucapan mana saja yang dibolehkan atau tidak diperbolehkan untuk dilakukan atau disampaikan. Penilaian mana yang boleh atau tidak boleh itu, pada akhirnya kembali pada penafsiran dari masing-masing mantan hakim konstitusi.
Misalnya, beberapa mantan Hakim Konstitusi memegang prinsip untuk tidak akan menyampaikan keterangan ahli di dalam persidangan MK, kecuali secara resmi diminta oleh Majelis Hakim dalam kasus yang benar-benar khusus dan serius. Sedangkan sebagian mantan hakim konstitusi lainnya memandang tak perlu ada kekhawatiran ataupun halangan untuk tampil sebagai ahli di dalam persidangan MK atau forum-forum publik. Alasannya, hal tersebut merupakan bentuk dari kebebasan berpendapat dan berekspresi seorang warga negara, termasuk untuk menyalurkan keilmuannya.
Namun bagi sebagian masyarakat, keterlibatan mereka dinilai akan menimbulkan kesan munculnya ketidaksetaraan atau keberpihakan dari Majelis Hakim. Sebab, mereka dianggap pernah sama-sama atau bergantian duduk menjadi hakim konstitusi. Dengan kata lain, ada ikatan emosional dan psikologis yang sempat terbangun di antara mereka.
Walaupun MK telah menepis keragu-raguan itu dengan menegaskan independensinya, namun asumsi dan dugaan yang muncul tak kunjung hilang. Ketidaknyamanan juga nampak manakala beberapa mantan hakim konstitusi hadir secara bersamaan sebagai ahli dalam proses persidangan untuk menyampaikan keterangannya. Namun, mereka dalam posisi pendapat yang saling berseberangan. Tak terelakan, adu argumentasi dan bantahan pun terjadi di persidangan.
Di beberapa kesempatan, Majelis Hakim sempat juga silang pendapat secara terbuka di ruang persidangan dengan mantan hakim konstitusi. Atau setidaknya, Majelis Hakim akan merasa ewuh pakewuh untuk mendalami atau mengklarifikasi pendapat yang disampaikan oleh mantan hakim konstitusi.
Bagaimana sebenarnya MK di negara-negara lain menyikapi pola aktivitas para mantan hakim konstitusinya? Sebagian besar MK di dunia juga menghadapi isu yang serupa dengan di Indonesia. Tak ada aturan yang jelas mengenai hal tersebut. Namun, terdapat hal yang menarik dan progresif yang ditempuh oleh MK Federal Jerman dalam menyikapi kontroversi terkait dengan aktivitas dan kegiatan para mantan hakim konstitusinya.
MK Federal Jerman
MK Federal Jerman merupakan MK yang seringkali menjadi rujukan bagi negara-negara dunia. Selain dikenal dari putusan-putusan pentingnya, MK Federal Jerman juga memiliki kewenangan dan kelembagaan yang kuat dalam struktur ketatanegaraannya. Lalu, bagaimana MK Federal Jerman memandang aktivitas para mantan hakim konstitusinya?
MK Federal Jerman belum lama ini telah menyusun dan mengesahkan Kode Etik yang ditujukan secara khusus kepada mantan hakim konstitusinya. Meskipun dibantah oleh MK Federal Jerman, namun para pengamat menyakini bahwa penyusunan Kode Etik tersebut disebabkan atas berbagai kontroversi terhadap aktivitas para mantan hakim konstitusinya.
Misalnya, hubungan antara mantan Hakim Konstitusi Christine Hohmann-Dennhardt dan perusahaan Volkswagen (VW) telah memicu kemarahan publik Jerman, karena Christine menerima uang pesangon sebesar 12 juta Euro atau sekitar Rp 204 miliar setelah bekerja di Volkswagen. Christine diangkat menjadi Compliance Chief di Volkswagen hanya berselang satu tahun sebelum perusahaan raksasa mobil tersebut tersangkut skandal “dieselgate” yang akhirnya dijatuhi denda sebesar $30 miliar atau setara dengan Rp390 triliun.
Begitu pula halnya dengan mantan Ketua MK Federal Jerman, Hans-Jürgen Papier yang menerima berbagai komisi untuk penyusunan pendapat hukum atas kasus-kasus hukum sejak dirinya pensiun pada 2010, termasuk dalam kasus nasional terkait penghentian bertahap pembangkit listrik tenaga nuklir Jerman. Hans-Jürgen juga sering berpendapat keras dalam debat publik terhadap berbagai isu hukum dan politik, seperti kebijakan politik Jerman mengenai para imigran.
Terhadap berbagai kontroversi yang beredar di publik tersebut, MK Federal Jerman akhirnya merevisi Kode Etik yang memasukkan ketentuan bagi para hakim konstitusi yang telah menyelesaikan masa jabatannya. Ketentuan tersebut termuat di dalam Bab III Kode Etik Hakim Konstitusi Federal Jerman mengenai “Conduct after ceasing to hold office”. Terdapat tiga hal pokok yang diatur dalam Kode Etik tersebut.
Pertama, setelah berhenti memegang jabatan, Hakim Konstitusi Federal Jerman harus tetap melanjutkan tindakannya untuk menahan diri dan menjaga kerahasiaan terkait dengan pernyataan-pernyataan dan perilaku yang berkaitan dengan masalah-masalah pengadilan.
Kedua, setelah berhenti memegang jabatan, Hakim Konstitusi Federal Jerman tidak terlibat dalam isu-isu hukum yang menjadi permasalahan dalam persidangan di MK Federal Jerman pada masa yang bersangkutan memegang jabatannya atau terkait erat dengan proses persidangan tersebut. Terhadap hal-hal itu, mereka juga harus menahan diri untuk mengirimkan pendapat ahli, mengambil tanggung jawab sebagai pengacara atau penasihat hukum, dan tampil di pengadilan.
Ketiga, pada tahun pertama setelah berhenti menjabat, Hakim Konstitusi Federal Jerman harus menahan diri untuk melakukan kegiatan memberikan nasihat yang berhubungan dengan bidang dan ranah pekerjaan mereka, mengirimkan pendapat ahli, dan tampil di pengadilan. Setelah itu, mereka masih harus menahan diri untuk tidak mewakili siapapun di hadapan MK Federal Jerman. Setelah meninggalkan jabatannya, para Hakim Konstitusi juga harus menghindari kesan adanya eksploitasi terhadap pengetahuan internal MK secara tidak pantas.
Revisi Kode Etik ini disusun secara sadar dan penuh tanggung jawab oleh seluruh Hakim Konstitusi Federal Jerman yang kelak juga akan mengikat diri mereka sendiri. Penyusunan Kode Etik ini juga didasarkan atas masukan-masukan dari para mantan hakim konstitusinya sebelumnya.
Namun demikian, tidak diatur mengenai ruang lingkup sanksi apabila terdapat mantan hakim konstitusi yang melanggar ketentuan di atas. Presiden MK Federal Jerman saat ini, Andreas Vosskuhle berharap Kode Etik tersebut dapat dijadikan pedoman dan dasar orientasi bagi para mantan hakim konstitusi dalam beraktivitas.
Menjaga Marwah Negarawan
Sebagian dari kita mungkin berpendapat tak perlu untuk mengatur dan membatasi aktivitas para hakim konstitusi pasca mereka menyelesaikan masa jabatannya di MK. Akan tetapi, apabila tak ada kesepakatan bersama atau batasannya sama sekali, maka suatu saat dapat saja terjadi kontroversi yang bisa menciderai muruah kelembagaan MK secara tidak langsung akibat tindakan ataupun ucapan dari para mantan hakim konstitusi.
Misalnya, apakah diperkenankan mantan hakim konstitusi menceritakan pembahasan yang pernah terjadi dalam Ruang Permusyawaratan Hakim (RPH)? Apakah mantan hakim konstitusi boleh memberikan nasihat terhadap permohonan yang akan diajukan ke MK? Apakah mantan hakim konstitusi boleh beracara di MK melalui kantor hukumnya, baik hadir secara langsung maupun tidak?
Kemudian, apakah seorang mantan hakim konstitusi boleh bergabung menjadi pengurus partai politik? Padahal selama menjadi hakim konstitusi seringkali memutus sengketa Pemilu yang melibatkan partai politik tersebut. Atau, apakah mantan Hakim Konstitusi boleh menjadi Komisaris BUMN atau perusahaan yang kasusnya pernah diperiksa di MK? Tanpa batasan dan kesepakatan yang jelas terhadap berbagai kemungkinan ini, maka masing-masing akan memiliki jawaban dan penafsirannya sendiri-sendiri.
Dari semua itu, pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah seorang hakim konstitusi yang dinyatakan memenuhi syarat dan berstatus sebagai negarawan, akan terus dan tetap menyandang status kenegarawanannya ketika telah memasuki usia pensiun? Sementara, banyak yang menilai bahwa negarawan adalah mereka yang telah selesai dengan dirinya sendiri dan hanya tinggal memikirkan kepentingan bangsa dan negara saja.
Idealnya, MK justru menjadi salah satu tempat pengabdian terakhir bagi para negarawan untuk memutus isu-isu strategis yang akan menentukan arah kebijakan negara ke depan. Tentu kita tidak ingin status negarawan hanya disematkan selama seseorang menjabat sebagai Hakim Konstitusi saja.
Oleh karenanya, cukup beralasan ketika banyak pihak yang mengusulkan agar syarat minimum usia menjadi Hakim Konstitusi dari hanya 47 tahun ditingkatkan menjadi 55 tahun. Pertimbangannya, selain agar lebih matang dari sudut pengalaman dan keahlian, seseorang yang telah pensiun dari hakim konstitusi tidak akan terlalu muda usianya. Pada usia yang masih produktif, berbagai kesempatan profesi tentu akan semakin luas. Linear dengan hal tersebut, potensi konflik kepentingan juga akan terbuka lebih lebar.
Terlepas dari hal tersebut, penulis percaya bahwa status negarawan seorang hakim konstitusi sejatinya terus melekat, kendatipun yang bersangkutan telah pensiun sebagai hakim konstitusi. Oleh karenanya, segala upaya untuk menjaga muruah para negarawan dan kelembagaan MK akan menjadi suatu keniscayaan untuk terus dilakukan.