PENGUNDANGAN PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI (PMK)
(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 140, Oktober 2018, hlm. 66-67– Download)
Perihal proses pengundangan terhadap Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) menjadi diskursus yang menarik untuk dibahas secara akademis. Sebab selama ini, PMK tidak pernah diundangkan dalam Berita Negara oleh MK melalui Kementerian Hukum dan HAM. Padahal, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut P4) telah mengatur bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus melalui seluruh tahapan dalam pembentukannya, termasuk tahapan akhir berupa pengundangan. Sementara itu, Pasal 8 ayat (1) UU P4 mengklasifikasikan bahwa peraturan yang ditetapkan oleh MK merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimuat dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU P4.
Hingga tulisan ini dibuat, MK telah mengeluarkan sebanyak 53 (lima puluh tiga) PMK sejak 2003. Mayoritas dari PMK tersebut mengatur mengenai hukum acara terkait kewenangannya, yakni 27 PMK atau sekitar 50,9% dari seluruh PMK yang ada. PMK lainnya mengatur mengenai Kode Etik dan perangkatnya, tahapan dan jadwal penanganan perkara, pedoman penysunan berkas persidangan, dan lain sebagainya, sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Jenis dan Jumlah Peraturan Mahkamah Konstitusi
Sumber: Diolah oleh Penulis dari Mahkamah Konstitusi
Hal yang menjadi pertanyaan, apa alasan selama ini yang menyebabkan PMK tidak diundangkan ke dalam Berita Negara? Sebagian ahli ilmu perundang-undangan, termasuk para mantan hakim konstitusi sejak generasi pertama, berpendapat bahwa PMK secara teoritis tidak dapat diklasifikasikan sebagai salah satu jenis peraturan perundangan-undangan. Sehingga, pembentukannya tidak perlu juga melalui tahapan pengundangan menurut UU P4. Oleh karenanya, PMK yang mengatur hukum acara MK tersebut umumnya diberi judul “Pedoman” dengan maksud untuk sekadar menjadi panduan bagi para hakim konstitusi dan administratur peradilan dalam melakukan pemeriksaan perkara.
Namun demikian, sebagian lainnya berpendapat berbeda. PMK harus diundangkan, karena secara norma hukum telah tegas disebutkan di dalam UU P4. Artikel singkat ini akan membahas perbedaan pandangan tersebut dan merumuskan apa yang sebaiknya dilakukan terhadap PMK di masa mendatang.
Tiga Pandangan Berbeda
Adanya perbedaan pandangan terhadap pengundangan PMK ini tidak saja menjadi diskusi hangat di kalangan akademisi, namun juga para praktisi dan pembentuk kebijakan serta pengambil keputusan. Menyikapi isu mengenai pengundangan PMK ini, Penulis mengelompokkan setidaknya 3 (tiga) arus pandangan berbeda sebagai berikut.
Pandangan pertama berpendapat bahwa PMK harus diundangkan karena dikategorikan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan menurut hukum positif sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU P4. Dengan demikian, proses pembentukan PMK harus memenuhi seluruh asas dan mengikuti tahapannya yang dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Selain itu, dasar hukum pembuatan PMK dalam kondiserannya merujuk pada Pasal 86 UU MK yang memberikan kewenangan delegasi bagi MK untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Sehingga, PMK yang dibuat oleh MK haruslah dikategorikan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan menurut UU P4.
Kemudian, pandangan kedua menginginkan agar PMK tidak perlu diundangkan, karena seharusnya PMK tidak dapat digolongkan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Menurut pengikut pandangan ini, kesalahan mendasar justru terletak pada pengaturan Pasal 8 ayat (1) UU P4. Alasannya, materi PMK merupakan materi yang sebenarnya lebih bermuatan ke dalam untuk keperluan internal bagi para hakim dan administratur peradilan untuk menerima, memeriksa, dan mengadili suatu perkara. Sehingga, PMK lebih bersifat internal regeling, karena hanya sebagian kecil materi PMK yang mengatur ke luar. Hal itu pun terbatas hanya kepada para pihak yang akan atau sedang berperkara, bukan berlaku untuk umum bagi setiap orang dan setiap saat.
Alasan berikutnya bagi penganut pandangan ini, produk hukum lembaga yudikatif tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Sebab, ketika peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan dikategorikan sebagai jenis peraturan, maka peraturan tersebut akan menjadi objek permohonan uji materiil yang harus diputus oleh lembaga peradilan yang berwenang. Saat ini, jenis peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat diuji secara materiil di MA. Padahal, para hakim perlu memegang prinsip nemo judex ideoneus in propria causa. Artinya, seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri. Lebih dari itu, telah muncul usulan kuat dari para akademisi hukum tata negara agar pengujian seluruh peraturan perundang-undangan dijadikan satu atap di bawah kewenangan MK. Artinya, PMK pun kelak bisa menjadi objek pengujian di hadapan MK itu sendiri.
Selanjutnya, pandangan ketiga mencoba untuk mencari jalan tengah dengan tidak mengharuskan pengundangan PMK untuk sementara waktu. Alasannya, MK dinilai masih berupaya untuk mencari pola yang tepat dan sesuai mengenai pengaturan hukum acara dalam menangani perkara, sehingga masih memerlukan fleksibilitas dan penyempurnaan hukum acara dari waktu ke waktu. Misalnya, PMK mengenai hukum acara penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum, setiap tahun dan periode selalu mengalami perubahan dan penyempurnaan yang didasarkan dari dinamika praktik hukum acara yang berkembang.
Di masa mendatang, bagi penganut pandangan ketiga ini, ketika hukum acara MK sudah relatif stabil dan tidak banyak mengalami perubahan, maka PMK dapat diundangkan. Permasalahannya, proses pencarian pola tersebut juga tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Artinya, perlu ada kepastian dan batas waktu mengenai kapan hukum acara MK dapat dikatakan telah memuat pengaturan yang tetap dan stabil serta tanpa ada banyak perubahan atau modifikasi dalam praktiknya. Sehingga, hal ini akan dapat memberikan kepastian dan keadilan secara hukum prosedural bagi para pihak yang berperkara.
Pengundangan PMK
Dari ketiga pandangan tersebut, dalam konteks hukum positif saat ini, terutama mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Penulis lebih cenderung pada pendapat pertama, yakni PMK harus segera diundangkan. Terlebih lagi, berdasarkan Pasal 13 PMK Nomor 1 Tahun 2012 tentang Produk Hukum Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah disebutkan sebagai peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum (huruf tebal oleh Penulis), baik di bidang yudisial maupun non-yudisial. Artinya, MK sendiri telah mengategorikan PMK sebagai peraturan yang mengikat umum, tidak sekadar bersifat untuk kepentingan internal semata.
Jikalau PMK yang mengatur hukum acara MK memerlukan perubahan dan penyempurnaan, maka proses yang dilakukan adalah dengan melakukan revisi atau menyusun PMK yang baru dengan berkoordinasi pada Ditjen Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM. Praktik demikian lazim dilakukan oleh lembaga dan kementerian lain dalam menyusun suatu peraturan lembaganya masing-masing. Kalaupun PMK kemudian berpotensi untuk diuji materi, maka MK pun harus siap untuk menghadapinya. Sebab sejatinya, salah satu kewewenangan MK adalah menguji konstitusionalitas UU sebagai bentuk pengawalan konstitusi oleh lembaga yudisial. Oleh karenanya, MK pun perlu untuk menerima kondisi manakala produk hukum yang dikeluarkan juga diuji oleh publik melalui MA sebagai wujud dan bentuk ketaatan asas pembentukan perundang-undangan.
Namun, untuk memberikan kepastian hukum, materi pokok hukum acara MK memang sebaiknya dituangkan di dalam Undang-Undang, bukan di tingkat PMK. Karenanya, pembentuk undang-undang perlu juga didorong agar dapat segera menuangkan materi pokok hukum acara di dalam UU MK. Lebih baik lagi, hukum acara MK dari seluruh kewenangannya dituangkan dalam suatu undang-undang tersendiri yang terpisah dari UU MK.
Terlepas dari hal tersebut, praktik yang selama ini dilakukan oleh MK dengan tidak mengundangkan peraturannya justru sempat dijadikan rujukan oleh lembaga negara lainnya. Misalnya, oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat hendak mengatur larangan bagi caleg mantan terpidana korupsi dalam Peraturan KPU. Padahal, Mahkamah Agung (MA) sekalipun telah sejak lama mengundangkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) di dalam Berita Negara. Menurut Penulis, ketidaksamaan perlakukan dan tindakan dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan ini akan menjadi hal yang tidak baik dalam sistem dan ketaatan asas perundang-undangan di Indonesia. Oleh karenanya, praktik yang berbeda ini harus segera diakhiri.
Langkah pengundangan ini tentunya akan berbeda apabila di kemudian hari disepakati oleh pembentuk undang-undang atau diputus oleh lembaga peradilan konstitusi bahwa peraturan yang dibuat oleh lembaga yudikatif, baik secara teoritis maupun hukum positif, tidak lagi dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, peraturan yang dibuat lembaga peradilan bukan lagi termasuk jenis peraturan perundang-undangan. Sehingga, MK ataupun MA dapat membuat peraturan tanpa perlu melalui tahapan pengundangan di Kementerian Hukum dan HAM. Namun, selama ketentuan pengundangan ini masih berlaku, maka menjadi suatu keharusan bagi MK agar mengundangkan setiap PMK yang dikeluarkannya.
* Pan Mohamad Faiz, Ph.D. Peneliti Mahkamah Konstitusi.