E-VOTING UNTUK PEMILU PRESIDEN
(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 146, April 2019, hlm. 74-75– Download)
Pemilu Presiden (Pilpres) yang baru pertama kali dilaksanakan secara serentak dengan Pemilu Legislatif (Pileg) pada 17 April 2019 telah terlewati. Secara umum, pelaksanaannya dapat dikatakan berjalan dengan aman dan lancar. Namun, Pemilu kali ini mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dari petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Tidak kurang dari 144 orang meninggal dunia dan 883 orang jatuh sakit yang utamanya dikarenakan faktor kelelahan ketika melakukan rekapitulasi penghitungan suara.
Pelaksanaan Pemilu serentak ini memang menyebabkan proses penghitungan suara secara manual di TPS menjadi jauh lebih lama dibandingkan Pemilu-Pemilu sebelumnya. Di TPS lokasi Penulis memilih di Jakarta Barat, misalnya, rekapitulasi penghitungan suara baru dapat diselesaikan secara non-stop menjelang waktu subuh keesokan harinya. Padahal, segala sarana dan prasarana serta sumber daya manusia untuk melakukan penghitungan suara telah sangat memadai. Apalagi, lokasi TPS berada di Ibukota negara.
Maka dapat dibayangkan, betapa berat dan lamanya proses penghitungan suara yang dilakukan di berbagai daerah dan pelosok Indonesia, di mana lokasi penghitungan suara, pencahayaan ruangan, tingkat sumber daya manusia, dan alat bantu lainnya masih sangat terbatas.
Pemilu nasional kali ini juga diwarnai dengan banyaknya temuan masyarakat mengenai kesalahan input data formulir C1 yang berisi perolehan suara di tingkat TPS ke Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng). Namun, KPU merilis bahwa kesalahan entry data tersebut sebenarnya sangat sedikit jumlahnya dibandingkan dengan total jumlah TPS sebanyak 813.350 TPS. Terlepas dari hal tersebut, gaung kesalahan input data ini sangat menyita perhatian publik, setelah berbagai temuan kesalahan menjadi viral di berbagai media sosial dan aplikasi pesan dalam smartphone.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, yakni kesalahan hitung oleh petugas KPPS dan juga terjadinya kesalahan input data ke dalam Situng, baik akibat human error ataupun dugaan adanya human design, banyak pihak yang mengusulkan agar Pilpres dan Pileg selanjutnya diterapkan dengan sistem e-voting atau pemungutan suara secara elektronik.
Pertanyaannya, benarkah penggunaan e-voting ini akan mampu mengatasi dua persoalan tersebut? Artikel ini akan membahas mengenai realibitas penggunaan e-voting untuk Pemilu Presiden, sekaligus Pemilu Legislatif.
Pro dan Kontra
Penggunaan e-voting dipercaya dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses pemungutan dan penghitungan suara serta pengumuman hasil Pemilu. Selain itu, e-voting diharapkan akan menghasilkan proses penghitungan rekapitulasi suara dengan sangat cepat, sehingga akan segera diperoleh hasil hitungan riil (real count) sekaligus hitung cepat (quick count). Permasalahan quick count ini memang menjadi isu yang juga kontroversial dalam Pilpres 2019 lalu.
Tak lama berselang dari penyelenggaraan Pemilu 2019, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjadi salah satu pihak yang kembali berusaha untuk meyakinkan publik atas perlunya teknologi e-voting. Menurutnya, penggunaan e-voting akan meminimalisir terjadinya kecurangan, sehingga layak digunakan untuk membantu pelaksanaan Pemilu yang lebih transparan, jujur, dan akuntabel, serta dapat diaudit di tiap tahapannya.
Keyakinan BPPT ini merujuk pada pengalamannya membantu keberhasilan pelaksanaan Pilkades di berbagai daerah dengan menggunakan sistem e-voting. Meskipun, tetap ada beberapa Pilkades yang kemudian dipermasalahkan hasil e-voting-nya oleh para pemilih.
Negara-negara lain tidak seragam pandangannya dalam mempraktikkan e-voting. Estonia, India, dan Swiss merupakan beberapa negara yang telah sukses menggunakan sistem e-voting untuk Pemilunya. Sedangkan sebagian besar negara lainnya masih mengkaji, berpikir-pikir, hingga bahkan ada yang menyatakan secara tegas melarang penggunaan e-voting dalam Pemilu.
Di Jerman misalnya, penggunaan e-voting justru dianggap inkonstitusional berdasarkan Putusan MK Federal Jerman bertanggal 3 Maret 2009. Menurut mereka, sistem e-voting bertentangan dengan prinsip the public nature of elections sebagai nilai fundamental konstitusi dalam kerangka demokrasi dan penegakan hukum. Begitu juga dengan Amerika Serikat, sebagian negara bagiannya justru mulai meninggalkan e-voting dan kembali secara manual karena faktor ketidakpercayaan dan kekurangan anggaran.
Penggunaan perangkat teknologi dan jaringan internet memang tidak akan pernah lepas dari kerawanan risiko atau peluang kejahatan siber. Inilah yang menjadi salah satu kekhawatiran terbesar dari banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, terkait jaminan keamanan data suara hasil Pemilu. Potensi intervensi terhadap keamanan sistem data Pemilu, kini tidak saja datang dari dalam negeri, namun juga bisa dilakukan dari luar negeri.
Mengenai sistem pengamanan ini tentu dapat diperdebatkan oleh para pakar IT. Karenanya, Brasil yang menggunakan sistem e-voting untuk Pilpresnya pada 2018 lalu, harus melakukan uji coba terlebih dahulu secara terbuka dengan menggelar “hackaton”, semacam kompetisi terbuka untuk menguji jaringan keamanan dari prototipe sistem e-voting mereka.
Selain soal tingkat keamanan yang berujung pada tinggi-rendahnya kepercayaan publik terhadap sistem e-voting, Indonesia juga masih memiliki tantangan dari sisi dukungan infrastruktur dasar, seperti jaringan listrik dan internet. Hal ini akan menjadi masalah besar tatkala sistem e-voting digunakan untuk Pemilu nasional di daerah-daerah yang belum terbangun infrastruktur tersebut dengan baik. Dalam skala nasional, ketiadaan infrastruktur dasar ditambah kendala proses pendistribusiannya juga akan sangat menghambat hasil rekapitulasi penghitungan suara secara nasional.
Tantangan lain dalam penerapan e-voting di Indonesia juga terletak pada tingkat pemahaman warga negara dalam penggunaan mesin elektronik, baik bagi petugas KPPS maupun para pemilihnya itu sendiri. Masih segar dalam ingatan kita, perubahan sistem pemungutan suara dari “pencoblosan” menjadi “pencontrengan” saja sudah cukup membuat sebagian para pemilih kebingungan dalam menggunakan hak suaranya di bilik TPS.
Berdasarkan banyak kajian, permasalahan proses Pemilu di Indonesia sebenarnya bukan terletak pada proses pemungutan suaranya, namun dalam tahap penghitungan dan rekapitulasi suara. Sebab, tahapan inilah yang sering memunculkan manipulasi suara dan kecurangan secara berjenjang.
Sedangkan, proses pemunguatan suara secara konvensional dengan cara mencoblos disertai dengan penghitungan secara terbuka di TPS, dinilai oleh para pengamat pemilu internasional sebagai proses yang paling transparan, karena penghitungan dapat disaksikan langsung oleh para saksi dan pemilihnya.
Oleh karenanya, perkembangan sistem e-voting saat ini lebih diarahkan untuk mengganti proses penghitungan dan rekapitulasi suara secara manual menjadi elektronik. Inilah salah satu alasan bagi KPU mulai membangun Situng agar publik dapat ikut memantau akurasi proses rekapitulasi secara berjenjang (e-counting), walaupun belum sepenuhnya dapat dilakukan secara real time.
Alternatif Penerapan e-Voting
Terkait e-voting untuk Pemilu di Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memberikan penafsiran konstitusionalnya. Dalam Putusan Nomor 147/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Maret 2010, MK menyatakan metode e-voting dapat digunakan, namun harus memenuhi syarat kumulatif. Pertama, tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Kedua, daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan.
Dengan melihat berbagai tantangan di atas, penerapan e-voting untuk Pilpres secara nasional nampaknya masih belum terlalu mendesak untuk diterapkan dalam waktu dekat ini. Sebab, proses Pemilu bukan sekadar metode pelaksanaannya, namun juga soal kedaulatan dan kepercayaan rakyat yang harus dijaga dan dilindungi. Adanya kesalahan atau gangguan dalam sistem e-voting dalam Pilpres akan berimbas pada tingkat legitimasi dari Presiden dan Wakil Presiden terpilih, serta munculnya potensi konflik sosial di tengah-tengah masyarakat.
Namun demikian, kita tidak bisa juga cepat-cepat menutup rapat kemungkinan penerapan sistem e-voting di Indonesia. Sebelum menyentuh ranah nasional, demokrasi digital dengan e-voting ini sebaiknya diujicobakan secara bertahap mulai dari sebagian besar pemilihan Pilkades sekaligus sebagai ajang sosialisasi sistem e-voting.
Selanjutnya, tentukan pilot projects untuk Pilkada di beberapa kota besar yang dianggap sudah siap menggunakan e-voting, misalnya Jakarta, Surabaya, Makassar, dan/atau Medan. Dari sini kita dapat mengevaluasi apakah pengunaan e-voting ini berjalan dengan lancar atau tidak.
Jika pilot projects tersebut berhasil, maka e-voting dapat ditingkatkan dalam skala yang lebih luas, yaitu pada gelombang Pilkada di beberapa wilayah Indonesia. Seandainya tahapan e-voting ini juga bisa berjalan dengan baik secara bertahap dan berjenjang, khususnya di wilayah dengan infrastruktur dasar yang dianggap kurang, maka tahapan e-voting terakhir bisa dilakukan untuk tingkat nasional.
Kenapa penerapan secara bertahap ini penting dilakukan? Karena kita tidak ingin tanpa
persiapan dan uji coba yang matang, tiba-tiba e-voting dilakukan secara melompot langsung di tingkat nasional. Terlalu mahal harga kedaulatan rakyat yang harus dibayar apabila e-voting untuk Pilpres gagal diterapkan di tengah-tengah prosesnya. Apalagi, para penyedia mesin dan teknologi e-voting terus bergerilya melobi para legislator untuk memuluskan sistem ini.
Oleh karena itu, uji coba secara bertahap melalui Pilkades dan Pilkada adalah jalan yang harus ditempuh terlebih dahulu. Kesalahan dan kekurangan dalam penerapan e-voting dalam tiap tahapan tersebut akan menjadi pelajaran yang berharga sebelum pada akhirnya kita terapkan untuk tingkat nasional, sebagaimana Bram Stoker dalam Dracula menyampaikan pesan, “We learn from failure, not from success!”.
* Pan Mohamad Faiz, Ph.D., Peneliti Senior di Mahkamah Konstitusi
Memakai sistem e-voting sebenarnya kurang cocok diterapkan di Indonesia. Mengapa? Jangkauan teknologi, sistem e-voting malah banyak kekurangannya. Dan pemanfaatan pemakaian teknologi bisa berpotensi melahirkan masalah baru jika tidak didasarkan pada solusi-solusi untuk menjawab tantangan yang ada. Sehingga intensi Pemerintah maupun DPR yang dirasa bersandar pada selera teknologi ini sangat dipertanyakan.
Iya, sesuai dengan pandangan saya di dalam artikel. Namun, kemungkinan itu tetap saya buka untuk diterapkan, sepanjang secara berjenjang e-voting telah terbukti sukses dilaksanakan dan keamanannya bisa benar-benar terproteksi.
Terima kasih atas pendapatnya.
Sangat informatif sekali pak atas informasi yang diberikan. Sebagai salah satu mahasiswa hukum, merasa sangat terbantu dengan artikel-artikel yang bapak terus update, khususnya terkait hukum tata negara. Selain informatif, pemilihan frasa yang digunakan sangat memudahkan pembaca untuk memahami artikel yang ditulis. Semoga ke depannya dapat terus memposting artikel-artikel hukum yang informatif seperti ini. Sekali lagi, terimakasih.
Jayalah Konstitusi !!
Terima kasih, adinda. Alhamdulillah jika artikel-artikel saya membawa manfaat. Saya mencoba untuk terus menulis dengan bahasa yang mudah dicerna supaya gampang dipahami oleh pembaca dari berbagai kalangan.