Respons Konstitusional Larangan Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai Pengurus Partai Politik

RESPONS KONSTITUSIONAL LARANGAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH SEBAGAI PENGURUS PARTAI POLITIK

Pan Mohamad Faiz dan Muhammad Reza Winata

Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Mahkamah Konstitusi RI

* Artikel ini diterbitkan dalam Jurnal Konstitusi, Volume 16, Nomor 3, September 2019, hlm. 532-558

cover jurnalAbstrak: Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 menjadi salah satu putusan penting bagi desain lembaga perwakilan di Indonesia. Dalam Putusan tersebut, MK menyatakan bahwa pengurus partai politik dilarang menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Namun, tindak lanjut dari Putusan ini memicu polemik ketatanegaraan. Sebab, terjadi kontradiksi mengenai waktu pemberlakuan larangan tersebut akibat adanya perbedaan pemaknaan terhadap Putusan MK di dalam Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu. MK menyatakan bahwa Putusannya berlaku sejak Pemilu 2019. Akan tetapi, Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu tersebut menyatakan larangan tersebut berlaku setelah Pemilu 2019. Artikel ini mengkaji kontradiksi Putusan-Putusan tersebut dengan menggunakan tiga pisau analisis, yaitu: (1) finalitas putusan; (2) respons terhadap putusan; dan (3) validitas atau keberlakuan norma. Dengan menggunakan doktrin responsivitas terhadap putusan pengadilan dari Tom Ginsburg, artikel ini menyimpulkan bahwa Keputusan KPU yang tetap kukuh memberlakukan larangan bagi pengurus partai politik sebagai calon anggota DPD sejak Pemilu tahun 2019 sesungguhnya merupakan tindakan formal konstitusional karena telah mengikuti (comply) penafsiran konstitusional yang terkandung dalam Putusan MK. Di lain sisi, tindakan KPU juga merupakan bentuk yang sekaligus mengabaikan (ignore) Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu. Meskipun demikian, respons KPU tersebut dapat dibenarkan karena Putusan MK memiliki objek dan dasar pengujian lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga memiliki validitas hukum lebih tinggi dari Putusan MA, PTUN, dan Bawaslu. Dengan demikian, tindakan KPU yang konsisten mengikuti Putusan MK tersebut merupakan respons konstitusional yang memiliki justifikasi hukum dan konstitusi, sebagaimana juga dikuatkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), baik secara hukum maupun etik.

Kata Kunci: Calon Anggota DPD, Komisi Pemilihan Umum, Mahkamah Konstitusi,
Partai Politik, Respon Konstitusional.

Artikel selengkapnya dapat diunduh di sini atau di sini.

Continue reading

Putusan Sengketa Hasil Pilpres

PUTUSAN SENGKETA HASIL PILPRES

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 148, Juni 2019, hlm. 70-71 – Download)

Majalah_155_1. Edisi Juni 2019 (Academia)_Page_2Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Tahun 2019 pada akhirnya berujung di meja merah Mahkamah Konstitusi (MK). Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno (Pemohon) menempuh jalur konstitusional dengan “menggugat” hasil Pilpres ke hadapan Sembilan Hakim Konstitusi.

Dalam permohonannya, Pemohon menguraikan berbagai dalil dan argumentasi hukum, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang pada pokoknya, antara lain, mengenai status Calon Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebagai Pejabat BUMN; penerimaan dan penggunaan dana kampanye; ketentuan dan praktik cuti Presiden; pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM); serta penyalahgunaan birokrasi dan BUMN.

Continue reading

Mantra Terstruktur, Sistematis, dan Masif

MANTRA TERSTRUKTUR, SISTEMATIS, DAN MASIF

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 147, Mei 2019, hlm. 74-75– Download)

Majalah_154_1. Edisi Mei 2019 - Academia_Page_2Selesai sudah salah satu tahapan penting dalam penyelenggaraan Pemilu serentak 2019, yaitu rekapitulasi dan penetapan hasil Pemilu tingkat nasional. Lebih cepat dari yang direncanakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil Pemilu secara nasional pada Senin, 21 Mei 2019 pukul 01.46 WIB, baik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilu calon anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Sorotan mata publik kini akan beralih dari KPU menuju ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, MK menjadi satu-satunya lembaga yudisial yang diberi kewenangan konstitusional untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu. Para peserta Pemilu yang tidak puas terhadap hasil Pemilu, diberikan hak untuk mengajukan sengketa hasil Pemilu dengan tenggang waktu yang terbatas.

Continue reading

E-Voting untuk Pemilu Presiden

E-VOTING UNTUK PEMILU PRESIDEN

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 146, April 2019, hlm. 74-75– Download)

Majalah_153_1. Edisi April 2019 - Facebook_Page_1Pemilu Presiden (Pilpres) yang baru pertama kali dilaksanakan secara serentak dengan Pemilu Legislatif (Pileg) pada 17 April 2019 telah terlewati. Secara umum, pelaksanaannya dapat dikatakan berjalan dengan aman dan lancar. Namun, Pemilu kali ini mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dari petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Tidak kurang dari 144 orang meninggal dunia dan 883 orang jatuh sakit yang utamanya dikarenakan faktor kelelahan ketika melakukan rekapitulasi penghitungan suara.

Pelaksanaan Pemilu serentak ini memang menyebabkan proses penghitungan suara secara manual di TPS menjadi jauh lebih lama dibandingkan Pemilu-Pemilu sebelumnya. Di TPS lokasi Penulis memilih di Jakarta Barat, misalnya, rekapitulasi penghitungan suara baru dapat diselesaikan secara non-stop menjelang waktu subuh keesokan harinya. Padahal, segala sarana dan prasarana serta sumber daya manusia untuk melakukan penghitungan suara telah sangat memadai. Apalagi, lokasi TPS berada di Ibukota negara.

Continue reading