KHITAH PEMBERI KETERANGAN DI MK
(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 145, Maret 2019, hlm. 79-80– Download)
Proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya dalam perkara pengujian undang-undang, memiliki karakter yang berbeda dengan proses persidangan di pengadilan lain. Pertama, perkara pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang di MK tidak bersifat adversarial atau contentious. Artinya, perkara pengujian undang-undang pada prinsipnya tidak terkait dengan kepentingan yang saling bertabrakan antara satu dengan lainnya.
Hal ini berbeda dengan perkara-perkara di pengadilan perdata atau tata usaha negara. Objek yang disengketakan dalam pengadilan tersebut sangat bersentuhan langsung dengan kepentingan dua pihak yang saling bertentangan, yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat. Oleh karenanya, perkara pengujian undang-undang yang diajukan ke MK tidak disebut sebagai gugatan, namun permohonan. Sehingga, pihak yang mengajukan permohonan pun disebut sebagai pemohon, bukan penggugat.
Kedua, objek yang dipermasalahkan di MK adalah undang-undang yang mengikat umum bagi setiap warga negara. Karenanya, kepentingan yang diusung di dalam perkara pengujian undang-undang merupakan kepentingan yang luas dan menyangkut seluruh warga negara dalam kehidupan bermasyarakat.
Karakter pengujian undang-undang ini juga dicerminkan sejak saat mendesain ruang persidangan MK. Berbeda dengan ruang persidangan pada umumnya yang berbentuk kotak atau u-shaped yang kaku dan saling berhadapan, desain ruang persidangan utama MK dibuat agak bulat. Makna filosofisnya, fokus dari proses pemeriksaan persidangan di MK adalah untuk sama-sama menemukan keadilan konstitusional, bukan sekadar mencari menang-kalah dalam berperkara.
Pemberi Keterangan
Untuk menggali keadilan konstitusional dan menjaga kepentingan bersama tersebut, Pasal 54 UU MK memberikan kewenangan kepada MK untuk dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden terkait dengan permohonan pengujian undang-undang yang sedang diperiksa. Dengan kata lain, MK dapat meminta keterangan kepada pembentuk undang-undang apabila diperlukan.
Konsekuensinya, DPR dan Presiden selaku pembentuk undang-undang merupakan dua lembaga yang senantiasa harus bersiap diri dalam setiap persidangan pengujian undang-undang di MK. Oleh sebab itu, lembaga-lembaga tersebut disematkan istilah sebagai pihak pemberi keterangan, bukan sebagai tergugat ataupun termohon.
Mengapa lembaga pembentuk undang-undang ini dibutuhkan oleh MK? Secara das sollen, kehadiran DPR dan Pemerintah di dalam persidangan pemeriksaan pengujian undang-undang ditujukan agar mereka dapat memberikan keterangan dan fakta-fakta kepada MK mengenai pertimbangan dan suasana kebatinan pada saat proses penyusunan undang-undang yang sedang diuji. Selain itu, MK juga perlu mengetahui bagaimana posisi dan pandangan DPR dan Pemerintah saat ini terhadap undang-undang yang tengah diuji tersebut.
Dengan adanya keterangan dan pandangan yang komprehensif dari pembentuk undang-undang, yang dilengkapi Naskah Akademik (NA) dan risalah pembahasan undang-undang yang diuji, maka MK akan memperoleh bahan yang cukup untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara pengujian undang-undang yang kompleks.
Namun secara das sein, tak selamanya mekanisme pemberian keterangan dari pembentuk undang-undang tersebut berjalan dengan ideal. DPR sebagai main legislator masih sering tidak hadir untuk memberikan keterangan di dalam persidangan pengujian undang-undang, meskipun MK telah memanggilnya secara sah dan patut. Akibatnya, tidak ada keterangan dan pandangan dari DPR yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim untuk memutus suatu perkara.
Alasan yang umumnya mendasari ketidakhadiran DPR dalam persidangan di MK adalah padatnya sidang-sidang di DPR ataupun kesibukan aktivitas para anggota DPR. Sementara itu, kehadiran DPR untuk memberikan keterangan tidak dapat diwakilkan kepada non-anggota DPR. Menurut Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005, Pimpinan DPR hanya dapat memberikan kuasa kepada pimpinan dan/atau anggota komisi yang membidangi hukum, komisi terkait dan/atau anggota DPR yang ditunjuk.
Berbeda dengan DPR, Presiden selaku co-legislator menurut UUD 1945 selalu hadir dalam pemeriksaan persidangan dalam perkara pengujian undang-undang di MK. Namun demikian, MK menyadari bahwa Presiden tentu tak mungkin selalu harus hadir langsung dalam persidangan di MK. Sehingga, Peraturan MK menentukan bahwa Presiden dapat memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada Menteri Hukum dan HAM beserta para menteri, dan/atau pejabat setingkat menteri yang terkait dengan pokok permohonan.
Kembali ke Khitah
Menyadari betapa pentingnya kehadiran Pemerintah dalam setiap persidangan pengujian undang-undang di MK, Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 100 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang di Mahkamah Agung oleh Pemerintah.
Skema 1. Proses Penyusunan Keterangan Pemerintah
Sumber: Ditjen PP Kementerian Hukum dan HAM
Peraturan Presiden ini mengatur mengenai proses penyusunan Keterangan Presiden dan pejabat yang dapat mewakili Presiden dalam menangani pengujian undang-undang di MK. Peraturan Presiden ini juga telah menegaskan bahwa pembacaan Keterangan Presiden di dalam persidangan MK dilakukan oleh Menteri, menteri, pejabat setingkat menteri, atau pejabat pimpinan tinggi madya atau pejabat setingkat eselon I.
Ketentuan ini sebenarnya tidak sejalan dengan Peraturan MK yang hanya memberikan batasan pemberian kuasa dengan hak substitusi dari Presiden kepada Menteri Hukum dan HAM beserta para menteri, dan/atau pejabat setingkat menteri yang terkait dengan pokok permohonan, namun tidak sampai dikuasakan pada pejabat pimpinan tinggi madya atau pejabat setingkat eselon I. Dalam praktiknya, penyampaian Keterangan Presiden di MK seringkali dilakukan bukan oleh Menteri atau pejabat setingkat menteri.
Kemudian, filosofi pemberi keterangan dalam perkara pengujian undang-undang nampaknya semakin hari semakin bergeser. Baik DPR maupun Presiden seringkali memosisikan dirinya sebagai pihak yang berlawanan dengan pemohon. Sehingga, substansi keterangan DPR dan Presiden lebih cenderung difokuskan untuk membantah atau mematahkan dalil-dalil permohonan pemohon.
Pasal 6 ayat (3) Peraturan Presiden a quo bahkan telah menentukan agar format Keterangan Presiden juga memberikan penilaian terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi dan kedudukan hukum pemohon. Keterangan demikian menjadi tak ubahnya dengan sidang perkara di pengadilan lain yang memuat eksepsi dari tergugat agar permohonan tak perlu diperiksa hingga pokok permohonan. Akibatnya, persidangan pengujian undang-undang seakan-akan menjadi kehilangan sifat non-adversarial-nya.
Apabila praktik ketidakhadiran dan pergeseran filosofis bagi pemberi keterangan ini dibiarkan terus terjadi, maka akan sangat mungkin praktik tersebut suatu saat akan dianggap sebagai praktik yang wajar dan lumrah. Sebagaimana teori “illusory truth effect” menjelaskan bahwa tendensi untuk memercayai suatu informasi menjadi benar akan terjadi setelah dilakukan berulang kali. Agar tidak tercipta hal demikian, maka pemberi keterangan harus segera kembali pada khitahnya semula.
* Pan Mohamad Faiz, Peneliti Senior di Mahkamah Konstitusi