REFORMASI HUKUM DAN SINERGITAS ANTARLEMBAGA NEGARA: Mencegah Ketidakpercayaan Rakyat terhadap Simbol-Simbol Negara[1]
Disampaikan dalam Focus Group Discussion LEMHANAS
Oleh: Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L.[2]
“Masyarakat menghendaki substansi yang lain dengan teriakan supremasi hukum. Rasanya bukan hukum (dalam makna sempit) yang diburu masyarakat, tetapi hal yang lebih substansial, yaitu keadilan”
(Satjipto Rahardjo, 1930-2010)
Pendahuluan
Bangsa Indonesia baru saja melewati perhelatan akbar di tingkat nasional, yaitu Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden serta Wakil Presiden pada 2009. Sebagai ujung tombak demokrasi, proses dan hasil Pemilu tentunya membawa konsekuensi penting bagi kelanjutan kehidupan bernegara dari suatu bangsa. Dalam konteks ini, tahun 2009 seharusnya dinisbatkan menjadi tahun pendidikan berpolitik bagi rakyat Indonesia, namun yang terjadi justru berbeda, sebab yang lebih terekam adalah tahun dimana terjadi carut-marut dalam dunia penegakan hukum.
Alasannya sederhana, sederet peristiwa hukum secara berturut-turut menjadi potret buram di tengah-tengah pandangan masyarakat Indonesia. Mulai dari kisruh terjadinya ribuan sengketa pemilihan umum, penjatuhan bermacam vonis pengadilan yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat kecil, hingga episode silang sengkarut kasus hukum “Bibit-Chandra”.