Relevansi Doktrin Negative Legislator

RELEVANSI DOKTRIN NEGATIVE LEGISLATOR

Oleh: Pan Mohamad Faiz

* Artikel dimuat dalam Kolom Opini Majalah Konstitusi No. 108 Februari 2016, hlm. 6-7 (Download)

Cover-page-001Dalam praktik ketatanegaraan pasca reformasi Konstitusi, kita sering mendengar istilah negative legislator. Istilah tersebut kali pertama diperkenalkan oleh Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State (1945: 268-9). Sebagai penggagas Mahkamah Konstitusi modern pertama di dunia, Kelsen merujuk doktrin tersebut untuk membedakan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dengan Parlemen di Austria.

Menurutnya, pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk memiliki kewenangan sebagai negative legislator. Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya dapat membatalkan undang-undang dan tidak dapat mengambil kewenangan Parlemen dalam membuat undang-undang atau peraturan. Sebaliknya, Parlemen disebutnya sebagai positive legislator karena memiliki kewenangan aktif untuk membuat undang-undang.

Doktrin ini kemudian berkembang dan terus-menerus digunakan sebagai salah satu teori pendukung dalam konteks pemisahan kekuasaan negara di Indonesia, khususnya antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan kata lain, kewenangan MK ditafsirkan hanya terbatas membatalkan undang-undang, dan tidak untuk membuat undang-undang atau ketentuan lain. Benarkan doktrin negative legislator dalam sistem ketetanegaraan di Indonesia berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Kelsen?

Continue reading