Krisis Nuklir Iran

KRISIS NUKLIR IRAN:
Perspektif Hukum dan Geopolitik

Pendahuluan

Setelah melakukan penyerangan terhadap Irak, Amerika Serikat kini mengalihkan perhatiannya kepada Iran dan Korea Utara. Sebagaimana telah diberitakan sebelumnya di berbagai media massa, salah satu alasan utama penyerangan terhadap Irak adalah adanya dugaan keras kepemilikan senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction/WMD) oleh Irak. Akan tetapi meskipun setelah berakhirnya perang di Irak, hingga saat ini WMD sama sekali tidak pernah ditemukan. Pada kenyataannya kebijakan Amerika Serikat sendiri ternyata telah memutuskan untuk menyerang Irak terlepas dari ditemukannya WMD atau tidak.

Setelah penyerangan di Irak, Amerika kini memutar perhatiannya kepada Iran dengan mengklaim bahwa Iran telah mengembangkan program pengayaan uranium untuk memproduksi bom atom. Di lain pihak, Iran menyangkal hal tersebut dan menjelaskan bahwa program pengayaan uranium tersebut dijalankan semata-mata untuk tujuan damai.

Persoalan mengenai program pengayaan uranium yang dikembangkan oleh Iran telah lama menjadi isyu utama pada Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA). Namun perlu digarisbawahi di sini bahwa IAEA tidaklah memiliki kekuataan yang sama sebagaimana dimiliki oleh Dewan Keamanan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa/DK-PBB (Security Council of the United Nations). Amerika Serikat berusaha untuk membawa permasalahan ini kepada Dewan Keamanan dengan tujuan agar Iran dijatuhkan sanksi sehingga Iran menghentikan seluruh program pengayaan uraniumnya. Disebabkan penyerangan terhadap Irak oleh Amerika dan sekutunya telah melahirkan banyak kritikan tajam dari berbagai kalangan, oleh karenanya dalam kasus Iran ini Amerika tidak lagi menggunakan tindakan unilateral sebagaimana dilakukan dalam kasus penyerangan Irak. Amerika ingin memanfaatkan peran Dewan Keamanan dan meyakinkan anggotanya bahwa sanksi terhadap Iran amatlah diperlukan dan kemudian barulah mereka dapat melakukan berbagai tindakan untuk menyerang Iran.

IAEA dan Amerika Serikat

Krisis Iran semakin hari kian memanas dikarenakan bahwa IAEA mempunyai kemungkinan yang cukup besar untuk membawa permasalahan ini kepada Dewan Kemanan, maka Parlemen Iran mengeluarkan kebijakan untuk tidak mengizinkan IAEA untuk melakukan inspeksi ataupun pemeriksaan di Iran. Kebijakan tersebut disetujui mayoritas hampir dari seluruh anggota Parlemen Iran, di mana dari 197 suara 183 diantaranya mendukung pemberlakuan kebijakan tersebut. Sementara Amerika mengklaim bahwa program pengayaan uranium Iran adalah untuk memproduksi bom atom, namun Iran menyangkal dengan tegas hal tersebut dan menyatakan bahwa program tersebut digunakan untuk pengembangan tenaga listrik. Iran juga menyatakan bahwa seandainya negara mereka diserang, maka mereka pun tidak segan untuk melakukan penyerangan balik yang sepatutnya. Dikarenakan kondisi yang demikian, maka Cina dan Rusia tidaklah setuju dengan rencana dari Amerika Serikat dan mereka menginginkan adanya solusi diplomatik dan politik terhadap krisis berkepanjangan ini.

Dengan demikian dapat kita analisa bahwa Amerika Serikat bersama dengan sekutunya telah berencana untuk membawa isyu mengenai Iran ini kepada Dewan Keamanan. Hal ini dapat kita baca dari pernyataan Menteri Luar Negeri Inggris, Jack Straw yang menyatakan kepada Menteri Luar Negeri Iran, Manouchehar Mottak bahwa sebelum permasalahan ini dibawa di hadapan Dewan Keamanan, maka Iran mempunyai kesempatan terakhir untuk membuktikan kepada dunia bahwa program nuklirnya adalah benar-benar diperuntukan untuk tujuan yang damai.

Dalam rangka memberikan tekanan kepada Rusia dan Cina, Amerika Serikat dan Inggris juga berusaha memberikan beberapa bukti baru dengan harapan mereka menyetujui bahwa program nuklir Iran sebenarnya ditujukan untuk memproduksi bom atom. Namun, perlu diingat di sini bahwa Rusia dan Cina sebenarnya telah mempunyai hubungan yang baik dengan Iran di mana mereka selalu mensuplai persenjataan kepada negara tersebut. Di sisi lain, Iran mengeluarkan pengumuman pada tanggal 4 Februari 2005 bahwa jikalau IAEA menyerahkan permasalahan ini kepada Dewan Keamanan, maka tindakan tersebut akan memberhentikan IAEA untuk dapat melakukan pemeriksaan lebih lanjut maupun mengikuti perkembangan dari program pengayaan uranium Iran.

Pada tanggal 25 Februari 2005, Presiden Amerika Serikat, George W. Bush memberikan pernyataan bahwa baik Amerika maupun Eropa keduanya telah sepakat program pengayaan uranium Iran haruslah sesegera mungkin dihentikan. Menanggaoi hal tersebut, tanpa merasa tertekan oleh Amerika, Iran menyatakan bahwa mereka mempunyai hak untuk menggunakan energi nuklir untuk tujuan damai. Hal tersebut dinyatakan oleh Presiden Iran, Mahmood Ahmadinejad dihadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (General Assembly of the United Nations). Bahkan pada kesempatan itu pula Iran menjuluki Amerika sebagai agresor dan menuding Amerika telah membelah dunia terbagi menjadi “negara baik dan jahat”.

Sebulan berikutnya, tepatya pada tanggal 24 Septemeber 2005, IAEA mengeluarkan resolusi bahwa isyu Iran akan dipercayakan kepada Dewan Keamanan. Resolusi ini dikeluarkan dan disetujui melalui 22 suara, sedangkan suara tidak setuju hanyalah satu suara dan sisanya sebanyak 12 negara memberikan suara abstain. Keluarnya resolusi ini ternyata juga telah menjadi saksi mata adanya pembagian antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju. Berbagai negara, terutama Rusia, Cina, dan Afrika Selatan, tidak setuju dengan metode yang diinginkan oleh Amerika Serikat untuk menyelesaikan krisis Iran. Dalam hal ini, India adalah satu di antara banyak negara yang berhasil ditekan oleh Amerika sehingga memberikan suara untuk resolusi tersebut. Sedangkan Rusia dan Cina tidak memberikan suara untuk resolusi tersebut dan abstain dari pemungutan suara.

Perlu diketahui bahwa sepuluh persen dari minyak dunia diproduksi di Iran. Oleh karenanya, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Jerman memiliki kekhawatiran bahwa jikalau sanksi dari PBB dijatuhkan terhadap Iran, maka hal tersebut akan dapat mempengaruhi naiknya harga minyak dunia. Kelima negara anggota tetap PBB – Amerika, Inggris, Perancis, Rusia dan Cina – akhirnya melakukan pertemuan darurat pada tanggal 16 Januari 2006 dan hasil pertemuan tersebut meminta agar Iran dapat meyakinkan dunia bahwa program pengayaan uranium yang dikembangkannya itu benar-benar ditujukan untuk tujuan yang damai. Meskipun demikian, di dalam pertemuan tersebut, Uni Eropa tetap memberikan rekomendasi kepada PBB bahwa krisis Iran ini sebaiknya dipercayakan kepada Dewan Keamanan. Hal tersebut dilatarbelakangi dari inisiatif Inggris, Perancis dan Jerman yang menggelar pertemuan dan menyimpulkan bahwa krisis Iran telah sampai pada kata akhir. Oleh karenanya, Uni Eropa meminta ke-36 negara anggotanya untuk melaksanakan pertemuan darurat. Dengan demikian, sedikit banyak Amerika telah melakukan langkah-langkah signifikan untuk meyakinkan Rusia dan Cina.

Pertemuan IAEA mengenai isyu Iran yang seyogyanya diselenggarakan pada tanggal 3 Februari 2006 ditunda hingga hari berikutnya. Ketika pada hari tersebut, yaitu 4 Februari 2006, IAEA memutuskan untuk menyerahkan Krisis Nuklir Iran kepada Dewan Keamanan. Dua puluh tujuh negara, memberikan suaranya terhadap resolusi yang pada intinya menyatakan untuk menyerahkan isyu Iran kepada Dewan Keamanan. Tiga negara, yaitu Kuba, Syiria, dan Venezuela, memberikan suara untuk menolak resolusi tersebut. Sedangkan Indonesia, Algeria, Belarus, Libya dan South Africa memberikan suara abstain. Setelah keluarnya keputusan tersebut, Iran tetap bertahan pada pendiriannya dan menyatakan bahwa mereka tidak akan berkompromi terhadap program pengayaan uraniumnya dengan Amerika ataupun negara-negara barat lainnya. Pernyataan ini kemudian diulangi kembali oleh Presidan Iran pada tanggal 10 April 2006.

Perlu pula kita cermati bahwa meskipun berbagai langkah telah ditempuh oleh Amerika, namun pada akhirnya Amerika belum mampu meyakinkan Cina dan Rusia secara penuh, sehingga besar kemungkinan tidak akan terjadi konsensus pada pertemuan Dewan Keamanan. Rusia dan Cina menentang sanksi PBB terhadap Iran. Oleh karena itu, Dewan Keamanan haruslah mengambil jalan tengah. Resolusi DK-PBB mempunyai sifat mengikat, tetapi dengan tidak tercapainya konsensus di antara anggota tetap, maka Dewan Keamanan telah dianggap gagal untuk mengeluarkan resolusi tersebut. Sebagai penggantinya, Dewan Keamanan mengeluarkan pernyataan dengan suara bulat yang meminta Iran untuk menunda program pengayaan uraniumnya selama tigapuluh hari hingga tanggal 5 April 2006. Selain itu, Iran juga diminta untuk kembali bekerjasama dengan IAEA.

Walapun pernyataan yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan tidaklah mempunyai kekuatan hukum yang dapat dipaksakan, namun bagi Amerika setelah adanya peringatan dari PBB tersebut maka untuk selanjutnya dapat pula diberikan sanksi oleh PBB. Akan tetapi pernyataan tersebut disambut oelh Iran dengan menyatakan bahwa mereka tetap berpegang teguh program pengayaan uraniumnya adalah untuk memproduksi tenaga listrik.

Hingga pada akhirnya Rusia benar-benar merasakan memanasnya krisis Iran tersebut. Amerika selalu diperlakukan layaknya kekuatan mayoritas dunia, sedangkan Rusia kini selalu berada pada posisi dilema yang kurang menguntungkan, di mana harus benar-benar memperhitungkan konsekuensi adanya perbedaan yang cukup lebar dengan Amerika terkait dengan krisis nuklir Iran ini. Dikarenakan oleh pertimbangan kondisi ekonomi, maka Rusia diprediksi tidak ingin melebarkan perbedaannya dengan Amerika, terlebih lagi ditambah dengan Cina dan Jerman yang juga setuju untuk tidak membiarkan Teheran memiliki nuklir.

Terhadap krisis ini, Iran sebenarnya telah menginginkan untuk melanjutkan perundingan mengenai konflik program nuklir tersebut, akan tetapi dengan syarat tanpa adanya pra-kondisi tertentu. Seiring dengan berjalannya waktu, pada awal bulan Juli 2006, kekuatan negara-negara barat dan Amerika kembali memutuskan untuk menggiatkan usaha-usaha untuk menghukum Iran melalui berbagai kemungkinan sanksi DK-PBB, kecuali Iran mau menghentikan program pengayaan uranium dan program nuklirnya hingga tanggal 12 Juli 2006. Negara-negara tersebut menawarkan paket bantuan kepada Teheran berupa teknologi maju dan termasuk dengan reaktor penelitian nuklir. DK akhirnya kembali mengeluarkan resolusi bertanggal 31 Juli 2006 yang memberikan jangka waktu satu bulan kepada Iran untuk memberhentikan pengayaannya atau siap untuk menerima resiko penjatuhan sanksi. Dengan sengaja Iran tidak mengindahkan pernyataan tersebut. Iran juga sama sekali tidak mempedulikan terhadap paket bantuan yang telah ditawarkan dan dengan berani secara berungkali menyatakan bahwa hal tersebut tidak akan menggangu program pengayaan uranium mereka di mana program tersebut dipergunakan untuk stasiun tenaga nuklir dan memproduksi energi listrik.

Dalam pada itu, telah pula ditemukan bahwa pada kasus Irak Amerika telah menyesatkan dunia dengan membuat keputusan yang salah dengan menyatakan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Begitu pula dengan kasus Iran ini, di mana distorsi yang cukup serius telah dibuat dalam laporan yang dikeluarkan oleh IAEA. Dalam sebuah surat bertanggal 23 Agustus 2006 yang dituliskan oleh seorang ajudan senior Kepala IAEA Mohammad ElBaradei, dan dikirimkan kepada Ketua Panitia Pemilihan Intelejen menyatakan bahwa pemutarbalikan fakta yang cukup serius telah dibuat IAEA terkait dengan temuan dari aktivitas Iran. Surat tersebut mengklaim bahwa laporan tersebut telah keliru menunjukan bahwa program nuklir Iran telah semakin berkembang dibandingkan dengan rangkaian laporan IAEA sebelumnya ditambah dengan perkiraan yang hampir pasti dari intelejen Amerika sendiri. Pada laporan yang salah tersebut digambarkan bahwa Iran memiliki pengayaan uranium pada suatu mesin untuk tingkatan memproduksi senjata pada April 2006 padahal pengawas IAEA telah membuat pernyataan yang sangat jelas bahwa pengayaan yang dilakukan oleh Iran hanyalah dalam tingkatan rendah yang digunakan untuk bahan bakar reaktor tenaga nuklir.

Pemutarbalikan fakta didapati sedikit banyak pada laporan tersebut bahwa IAEA berusaha untuk memindahkan penjagaan terhadap pengawas senior yang menduga bahwa tujuan dari program Iran adalah untuk menciptakan senjata. Surat tersebut selanjutnya menambahkan bahwa laporan itu memuat suatu penghinaan dan temuan yang tidak jujur bahwa pengawas dicampakkan karena tidak mau terikat dengan adanya kebijakan IAEA tak terkecuali para pejabat yang mengutarakan seluruh kebeneran mengenai Iran. Lebih lanjut disebutkan bahwa pengawas tersebut sebenarnya merupakan peninggalan kepala bagian IAEA untuk Iran. Padahal juru bicara wanita dari IAEA, Melissa Fleming mengatakan, “kami merasa berkewajiban untuk membuat catatan yang sebenarnya terkait dengan fakta-fakta dari apa yang telah kami laporkan mengenai Iran. Ini sangat erat kaitannya dengan integritas dari IAEA.”

Persitiwa terakhir terakit dengan krisis ini yaitu terjadi pada tanggal 16 November 2006, lebih dari 50 kepala negara dan pemimpin dari hampir 100 negara ketiga di dunia, termasuk Iran dan Venezuela, menolak penyebutan dan pelabelan “axis of evil” oleh Amerika Serikat dan kesemuanya memberikan dukungan penuh bagi Teheran atas haknya menerapkan teknologi nuklir untuk tujuan damai. Hal tersebut dilakukan dalam pertemuan Non-Aligned Movement di Havana pada tanggal 14 September 2006. Musuh terbesar Amerika dari komunis yaitu Kuba hingga Korea Utara meminta kepada negara-negara berkembang di waktu yang sama itu untuk menentang dominasi Amerika Serikat melalui peninjuan terhadap Non-Aligned Movement.

Aspek Hukum

Tindakan apapun terhadap Iran hanya dapat dilakukan ketika Dewan Keamanan berdasarkan Bab 7 Piagam PBB mengeluarkan resolusi yang berisi sanksi bagi Iran. Sebuah pernyataan yang pernah disampaikan oleh Dewan Keamanan bukanlah sebuah resolusi dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat, sehinga hal ini hanya dapat dikatakan sepenuhnya sebagai sebuah peringatan.

Amerika telah mempunyai pengalaman pahit mengenai kasus Irak, di mana mereka telah menyerang Irak tanpa adanya persetujuan atau ijin dari Dewan Keamanan. Hal tersebut jelas melanggar hukum internasional dan Piagam PBB. Oleh sebab itulah, Amerika kini harus menghadapi banyaknya kritikan hal mana akan terus berlanjut.

Dalam kasus Irak, Amerika telah pula salah dengan menyatakan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, akan tetapi ternyata hal tersebut terbukti salah. Juga dalam kasus Iran ini, jikalau laporan terakhit dari IAEA dipercaya, maka Amerika telah kembali memutarbalikan fakta mengenai situasi di Iran dengan tujuan untuk memberikan sanksi terkait dengan krisis Iran. Gertakan Amerika ini telah dideteksi oleh berbagai kalangan dan kini tidaklah mudah bagi Amerika untuk kembali membodohi dunia.

Amerika sudah pasti akan meyakinkan mengenai jaminan adanya implementasi dari resolusi maupun sanksi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan terhadap Iran. Akan tetapi dengan situasi seperti saat ini, nampaknya hal tersebut sulit untuk terjadi, kecuali bumi ini kembali berotasi merubah situasi geopolitik dunia.

Penelitian Hukum: Analisa terhadap Peran Dewan Keamanan PBB

ANALISA TERHADAP PERAN DEWAN KEAMANAN PBB
DALAM MEMELIHARA PERDAMAIAN DAN
KEAMANAN INTERNASIONAL

Penulis: Pan Mohamad Faiz
Tebal: xi + 56 Halaman + Lampiran
Waktu: Desember 2006
Bahasa: Inggris

Dewan Keamanan PBB mempunyai tugas utama berdasarkan Piagam PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Selama empat puluh lima tahun di awal keberadaannya, Dewan Keamanan dirasakan sangat tidak berdaya akibat perang dingin yang terjadi. Namun sejak tahun 1990, di mana telah terjadi pencairan suhu politik global, Dewan Keamanan kini telah menjadi aktif kembali.

Dewan Keamanan ini terdiri dari 15 (limabelas) negara anggota, 5 (lima) diantaranya adalah anggota tetap yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Russia, dan China. Anggota tetap ini mempunyai hak untuk memveto putusan yang akan diambil oleh Dewan Keamanan dengan cara menolak dan melawan putusan tersebut. Sepuluh anggota Dewan Keamanan lainnya dipilih oleh Mejelis Umum untuk jangka waktu 2 (dua) tahun keanggotaan yang tidak dapat diperpanjang, di mana 5 (lima) anggota baru dipilih setiap tahunnya. Sepuluh anggota terpilih dimaksud, sebagaimana disebut sebagai anggota tidak tetap dalam Piagam PBB, dipilih berdasarkan formulasi pembagian dari setiap wilayah utama dari seluruh penjuru dunia.

Sebagai kunci dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia, Dewan Keamanan mempunyai beberapa fungsi utama. Dewan ini membantu untuk menyelesaikan sengketa secara damai, membentuk dan mengatur pasukan penjaga keamanan PBB, dan mengambil langkah-langkah khusus terhadap negara atau pihak-pihak yang tidak patuh terhadap keputusan DK PBB.

Bersandar pada Bab VI dari Piagam PBB, Dewan Keamanan tersebut harus, ketika dianggap perlu, memanggil para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahannya secara damai dengan cara, misalnya, negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, ataupun penyelesaian melalui jalur pengadilan. Dimungkin juga, jika semua pihak yang bersengketa sepakat, diberikan rekomendasi bagi para para pihak dengan cara-cara penyelesaian lainnya secara damai. Pasukan penjaga keamanan PBB pertama kali dibentuk oleh Majelis Umum PBB, namun setelah itu selalu dibentuk oleh Dewan Keamanan, di mana Dewan memegang kewenangan dalam memerintah terhadap mereka. Walaupun Piagam PBB tidak secara jelas memberikan kewenangan kepada Dewan Keamanan untuk membentuk pasukan penjaga keamanan, tetapi Mahkamah Internasional dalam satu kasus pada tahun 1962 menyatakan bahwa Dewan Keamanan mempunyai kewenangan tambahan untuk tujuan pembentukan tersebut.

Pasukan penjaga keamanan ini biasanya ditempatkan oleh Dewan Kemanan hanya apabila gencatan sejata telah disepakati oleh pihak yang bersengketa sehingga penjaga keamanan yang diturunkan hanyalah pasukan biasa dan bukan pasukan yang biasa diterjunkan dalam peperangan. Dewan Keamanan juga dapat mengambil tindakan yang lebih besar dari sekedar pengiriman pasukan penjaga keamanan. Pengertian “secara damai” dalam Pasal 39 Piagam PBB dapat termasuk dalam hal konflik yang terjadi di luar negara-negara yang bersengketa. Pada saat Piagam PBB dibentuk, hal ini juga dipertimbangkan bahwa konflik yang terjadi pada batas wilayah suatu negara dapat pula menimbulkan pelanggaran ataupun ancaman terhadap situasi damai, dengan demikian Dewan Keamanan dapat pula mengambil tindakan dalam hal ini.

Walaupun ilustrasi di atas menggambarkan bahwa Dewan Keamanan telah melakukan upaya yang sangat baik dalam menjalankan fungsinya, tetapi pada kenyataannya masih terdapat berbagai permasalahan yang telah menyebabkan ketidakefektifan dari fungsi Dewan Keamanan tersebut. Sebagai contoh, pemegang hak veto dari negara anggota tetap mempunyai kekuatan untuk membendung setiap keputusan yang akan berdampak merugikan bagi kepentingan mereka ataupun sekutunya masing-masing; ataupun contoh lainnya bahwa keputusan yang telah diambil, biasanya hanya menjadi “lip service” bagi pengimplementasian berikutnya.

Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia sekarang ini adalah Dewan Keamanan yang dapat melihat permasalahan sejak dini, Dewan yang dapat menghalangi dan mencegah terjadinya serangan antara negara-negara, serta Dewan yang mampu menjadi perantara dalam melaksanakan penyelesaian.

Berangkat dari uraian di atas, maka Penelitian Hukum ini mengambil fokus dan menganalisa mengenai peran dari Dewan Keamanan dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional, termasuk mendiskusikan mengenai reformasi Dewan Keamanan yang harus ditempuh di masa yang akan datang. Adapun sistematika dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

ANALYSIS ON THE ROLE OF SECURITY COUNCIL
IN MAINTENANCE OF INTERNATIONAL PEACE AND SECURITY

ACKNOWLEDGEMENT
CONTENTS
TABLE OF RESOLUTIONS
ABSTRACT

CHAPTER I: AN INTRODUCTION
1.1. Background to Research Paper
1.2. Objectives
1.3. Research Methodology
1.4. Structure of Research Paper
CHAPTER II: OVERVIEW OF SECURITY COUNCIL
2.1. Composition
2.2. Function of the Security Council
2.2.1. Maintenance of International Peace and Security
2.2.2. Elective Functions
2.2.3. Supervisory Functions
2.2.4. Constituent Functions
2.2.5. Function in Relation to International Court of Justice
2.3. Voting System
2.3.1. Procedural and Non-Procedural Matters
2.3.2. Absence of a Member in the Security Council
2.3.3. Abstention from Voting in Security Council
2.3.4. Veto Power
2.3.5. Double Veto
2.4. Status of Resolution
CHAPTER III: THE ROLE OF SECURITY COUNCIL
3.1. General
3.2. Forms of Peaceful Mean
2.3.1. Call upon the Parties to Settle the Dispute Peacefully
2.3.2. Investigation of the Dispute
2.3.3. Recommendation for the Appropriate Procedures
2.3.4. Recommendation for the Terms of Settlement
3.3. Form of Taking Enforcement Action
3.3.1. Measures Involving Non-Use of Force
3.3.2. Measures Involving Use of Armed Force
3.3.2.1. Special Agreement
3.3.2.2. Military Staff Committee
3.3.2.3. Joint Action
3.4. Collective Security
CHAPTER IV: SECURITY COUNCIL REFORM
4.1. Main Aspects of the Reform
4.2. Reform Models
4.3. Reform Obstacles
4.3.1. The Veto
4.3.2. Membership
CHAPTER V: CONCLUSION AND SUGGESTION
5.1. Conclusions
5.2. Suggestions

BIBLIOGRAPHY
ANNEXURE

Situasi perdamaian global di masa-masa yang akan datang diperkirakan akan kembali naik, sebab issue senjata nuklir kembali mencuat setelah dalam 2 tahun terakhir ini berbagai negara kembali berlomba mengembangkan tenaga nuklir demi kepentingan sumber daya energi maupun senjata nuklir. Di masa yang akan datang peran dan inisiatif Dewan Keamanan PBB ini akan menjadi sangat krusial dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Oleh karenanya, penelitian ini cukup penting bagi mereka yang akan dan telah bergelut dalam dunia Hukum Internasional ataupun Hubungan Internasional, terlebih lagi sejak Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2007-2009. Bagi anda yang berminat untuk mendapatkan penelitian ini bisa mengirimkan permohonan kepada Peneliti melalui email: pm_faiz_kw@yahoo.com atau mengisi pada bagian kolom komentar atau buku tamu yang telah disediakan.

–oOo–

Link for Related Articles:

Hak Veto, Mesin Perang Amerika Serikat

HAK VETO, DEWAN KEAMANAN DAN INDONESIA
Pan Mohamad Faiz*

Note: Dimuat pada Harian Duta Masyarakat.

Sejarah kelam kembali mencatat ketidakberdayaannya Dewan Keamanan PBB mengatasi konflik yang terjadi di Timur-Tengah. Inilah kali keduanya pada tahun yang sama Amerika Serikat melalui juru bicaranya, John Bolton, memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan yang mengecam serangan Israel di Gaza yang sedikitnya telah menewaskan 18 warga sipil, termasuk anak-anak dan beberapa perempuan. Dengan demikian, Amerika kini telah memperpanjang rekor penggunaan hak vetonya guna membendung tindakan internasional terhadap kebrutalan agresi Israel menjadi sebanyak 41 kali dari 82 hak veto yang pernah dikeluarkannya selama ini (Global Policy Forum, 14/10/06).

Kredibilitas Dewan Keamanan kini semakin dipertanyakan, khususnya mengenai keabsahan penggunaan hak veto yang dimiliki oleh 5 (lima) anggota tetap Dewan Keamanan. Sinyalemen kuat tersebut setidaknya datang dari negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab yang selama ini merasa tidak pernah memperoleh tempat dalam menyampaikan suaranya. Dampak buruk dari peristiwa ini dipastikan akan membawa angin segar bagi pihak Israel bahwa mereka mempunyai legitimasi perlindungan atas hukum guna melanjutkan pembantaian warga palestina melalui agresi-agresi berikutnya.

Reformasi Hak Veto

Penggunaan sistem veto sejak awal pembentukannya memang digunakan untuk melindungi kepentingan para pendiri PBB, dimana hal tersebut hanya diperuntukan bagi negara-negara yang memenangkan Perang Dunia II (A. Mohammed, 2003). Pada saat pendiriannya di tahun 1948, telah ditentukan bahwa perwakilan dari Inggris, China, Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Perancis akan menjadi anggota tetap Dewan Kemanan yang kemudian hak veto tersebut melekat padanya berdasarkan Pasal 27 Piagam PBB.

Hingga saat ini, problematika hak veto selalu membayangi legitimasi dari Dewan Kemanan PBB. Dengan “mengantongi” hak veto, maka anggota tetap setiap saat dapat mempengaruhi terjadinya perubahan substansi secara besar-besaran dari suatu resolusi. Bahkan, hak veto mampu mengancam terbitnya resolusi yang dianggap tidak menguntungkan negara maupun sekutunya. Sebagai contoh, Amerika Serikat telah menggunakan hak vetonya lebih dari anggota tetap lainnya sejak tahun 1972, khususnya terhadap resolusi yang ditujukan bagi Israel. Terlebih lagi sejak 26 Juli 2002, negara adidaya tersebut mengumandangkan doktrin Negroponte, dimana menyatakan bahwa Amerika Serikat akan selalu siap menentang setiap resolusi Dewan Kemanan yang berusaha untuk menghukum Israel. Inilah salah satu kesalahan fatal dari penyalahgunaan sistem hak veto.

Di sisi lain, para perwakilan negara-negara di PBB juga acapkali mengungkapkan bahwa di antara anggota tetap selalu saling mengancam untuk menggunakan hak veto-nya dalam suatu forum konsultasi tertutup agar kepentingan mereka masing-masing dapat terpenuhi tanpa sama sekali memperdulikan ada-tidaknya anggota tidak tetap lainnya. Praktek inilah yang biasa disebut dengan istilah “closet veto” (Celline Nahory, 2004).

Oleh karena itu, banyak kalangan menilai bahwa sistem dan struktur yang ada pada Dewan Keamanan saat ini haruslah segera direformasi. Sejak pertengahan 90-an, The Non-Aligned Movement telah berungkali menegaskan ketidaksetujuannya terhadap penggunaan hak veto, sebab hal itu sama saja memberikan jaminan atas ekslusifitas dan dominasi peran negara angota tetap Dewan Keamanan. Walaupun anggota tetap mengakui bahwa hak veto seharusnya merupakan upaya terakhir, tetapi faktanya mereka menggunakan hak veto tersembunyi secara berulang kali. Penyalahgunaan hak istimewa tersebut pada akhirnya justru menimbulkan kekacauan sistem di dalam tubuh Dewan Keamanan, membuat semakin tidak demokratis, jauh dari sebuah arti legitimasi, dan seringkali efektivitasnya dirasakan sangat menyedihkan. Oleh karenanya, salah satu tuntutan reformasi tersebut yaitu berupaya untuk menghilangkan pemberian hak veto yang dianggap sebagai akar permasalahan utama dari ketidakefektifan Dewan Keamanan selama ini. Namun hambatan utamanya adalah dapat dipastikan bahwa negara anggota tetap akan senantiasa melakukan penolakan setiap adanya keinginan reformasi dari sistem pengambilan suara yang telah ada, sebab memenuhi tuntutan reformasi tersebut sama saja melempar posisi mereka jauh menjadi tidak diperhitungkan lagi dalam percaturan politik global.

Tantangan Indonesia

Melihat kondisi seperti ini, nampaknya Indonesia yang baru saja terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, akan menemui jalan terjal untuk berperan banyak dalam menciptakan perdamaian dunia, khususnya terhadap pasang-surutnya konflik yang terjadi di wilayah Timur-Tengah. Padahal, peran Indonesia di forum Dewan Keamanan PBB akan sangat diharapkan oleh negara-negara dunia ketiga. Hal tersebut disebabkan karena Indonesia dipandang sebagai wakil dari negara berkembang dan juga wakil dari negara-negara muslim yang tergabung dalam OKI, mengingat latar belakang negara Indonesia adalah sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.

Dua tahun masa keanggotaan bukanlah waktu yang cukup lama, sebab meninjau pengalaman negara-negara anggota tidak tetap selama ini, setidaknya dibutuhkan waktu kurang lebih satu tahun untuk mendapatkan “sense and feeling” untuk bergerak di Dewan Keamanan. Terlebih lagi jika harus bersuara dalam forum pertemuan ataupun berdialog langsung dengan lima negara anggota tetap lainnya yang notabennya sudah puluhan tahun mempunyai pengalaman bersilat lidah dalam forum yang tetap dan sama itu.

Dalam dua tahun kedepan jua lah dapat dipastikan menjadi batu ujian bagi Indonesia dalam melaksanakan amanah yang telah diberikan oleh negara-negara anggota PBB selama ini. Kiranya secepat mungkin Indonesia harus membangun jaringan dengan negara-negara anggota tidak tetap lainnya, termasuk terhadap publik internasional yang selama ini selalu memberikan dukungan bagi negara-negara independen sekelas Indonesia. Terkait dengan rencana kunjungan Bush ke Indonesia, terlepas dari jadi atau tidaknya, semoga hal tersebut tidak ikut menjinakan integritas dan independensi Indonesia di forum Dewan Keamanan, namun justru memberikan sinyalemen kuat kepada dunia bahwa ke depannya peran Indonesia benar-benar sangat diperhitungkan dalam pentas internasional, khususnya oleh “veto power” seperti Amerika Serikat sekalipun.

* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Master of Comparative Law pada Faculty of Law, University of Delhi, New Delhi.

Indonesia dan Dewan Keamanan PBB

INDONESIA, SELAMAT DATANG DI DUNIA NUKLIR !
Oleh: Pan Mohamad Faiz *

Indonesia patut berbangga sekali lagi. Usaha yang digalang oleh perwakilan Indonesia sejak tahun 1999 kini kembali membuahkan hasil. Secara beruntun, setelah ditetapkan menjadi anggota Dewan HAM PBB pada bulan Mei yang lalu, kali ini Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (DK PBB), setelah terakhir kalinya pada masa menteri luar negeri Adam Malik di tahun 1970-an.

Dengan duduknya Indonesia dalam anggota DK PBB, maka otomatis Indonesia akan pula menjadi sorotan seluruh negara di dunia. Sebab, badan terkuat di PBB ini mempunyai tugas utama dalam menjaga perdamaian dan keamanan antar negara, di mana keputusannya harus dilaksanakan oleh seluruh anggota di bawah Piagam PBB.

Akan tetapi, rasa bangga tersebut haruslah secepat mungkin disurutkan dan segera fokus pada apa yang menjadi tugas dan fungsinya. Pasalnya, di saat yang bersamaan, issue mengenai pengembangan program senjata nuklir telah menimbulkan ketegangan dalam perdamaian dan keamanan di tingkat internasional.

Sebagaimana kita ketahui bersama, beberapa hari yang lalu Korea Utara telah melakukan uji coba senjata nuklirnya pada suatu fasilitas bawah tanah di Provinsi Hamgyong Utara. Akibatnya, masyarakat internasional secara serentak mengecam keras tindakan Korea Utara yang dianggap dapat menyulut terjadinya konflik keamanan di wilayah Asia Pasifik, khususnya di kawasan semenanjung Korea.

Begitu pula dengan PBB melalui Dewan Keamanannya yang secara tegas telah menjatuhkan sanksi berdasarkan Bab VII Piagam PBB berupa embargo ekonomi dan desakan pelucutan serta pemusnahan senjata nuklir yang dimiliki oleh Korea Utara. Nampaknya krisis nuklir Korea Utara ini akan menemui jalan terjal, sebab selepas keluarnya sanksi yang dimuat pada Resolusi 1718, petinggi Pyongyang justru menyambutnya dengan mengatakan bahwa keputusan tersebut merupakan isyarat perang bagi Korea Utara, terutama terhadap Amerika Serikat yang dianggapnya menjadi sumber malapetaka bagi krisis ekonomi dan pangan di negaranya tersebut.

Akankah peristiwa ini menjadi pemicu dimulainya perlombaan program senjata nuklir bagi Iran, Pakistan, India, atau negara-negara lainnya? Peran DK PBB, khususnya Indonesia yang mewakili Asia dan negara-negara dunia ketiga, akan menjadi sangat penting dalam meredakan ketegangan dan pencapaian misi mulia perdamaian dunia.

Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir

Pada tanggal 1 Juli 1968, bersandar pada pengalaman buruk Perang Dunia I dan II, sebenarnya telah diciptakan suatu perjanjian di antara negara-negara dunia yang membatasi kepemilikan senjata nuklir. Perjanjian ini dikenal dengan istilah Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty/NPT). Pada dasarnya perjanjian ini memiliki tiga pokok utama, yaitu non-proliferasi, pelucutan, dan hak penggunaan teknologi nuklir untuk kepentingan damai.

Seiring dengan meredanya stabilitas konflik horisontal antar negara-negara dunia pasca perjanjian NPT, maka perjanjian tersebut mulai memberikan hak pada setiap negara untuk menggunakan tenaga nuklir untuk kepentingan damai. Dikarenakan tumbuh suburnya model pembangkit tenaga nuklir yang menggunakan bahan bakar uranium, maka perjanjian tersebut juga menyatakan bahwa pengembangan uranium maupun perdagangannya di pasar internasional diperbolehkan.

Akan tetapi yang menjadi kecemasan negara-negara penandatanganan perjanjian tersebut adalah tidak semua negara ternyata ikut terlibat dalam perjanjian itu. Bahkan kepada kelima negara anggota tetap DK PBB, mereka diberikan keleluasaan untuk tetap memiliki senjata nuklir berdasarkan Perjanjian Non-Proliferasi itu sendiri, sehingga mereka dikenal dengan sebutan negara pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapon States/NWS).

Walaupun kelima negara NWS tersebut telah menyetujui untuk tidak menggunakan senjata nuklirnya terhadap negara-negara Non-NWS, tetapi tetap saja mereka memberikan pengecualian untuk merespon jikalau terdapat serangan nuklir atau serangan konvensional yang ditujukan kepadanya. Hal ini berarti mengisyaratkan bahwa sebenarnya tidak ada satu negara pun di dunia ini yang terbebas dari ancaman serangan nuklir. Diperparahnya lagi, Amerika Serikat telah mengindikasikan bahwa mereka akan menggunakan senjata nuklirnya untuk membalas penyerangan non-konvensional yang dilakukan oleh negara-negara yang mereka anggap “berbahaya” sesuai dengan tafsiran mereka sendiri. Jikalau demikian, bukankah hal ini berarti telah terjadi monopoli nuklir dengan berkedok suatu Perjanjian?

Setidaknya itulah salah satu penyebab mengapa mundurnya Korea Utara dari keanggotaan NPT. Demikian pula dengan India, Pakistan, dan Israel yang sama sekali tidak pernah berpikir untuk ikut bergabung menjadi anggota NPT tersebut. Belum lagi doktrin “pre-emptive attack” yang nyata-nyata bertolak belakang dengan Pasal 2 dan 51 Piagam PBB, akan tetapi selalu dijadikan justifikasi Amerika Serikat dan sekutunya dalam melancarkan agresi-agresinya selama ini. Sudah pasti apa yang dilakukan oleh sebagian negara NWS akan semakin “menggoda” negara-negara non-NWS untuk berpikir berulang kali guna meninjau keberadaannya sebagai anggota NPT. Hal ini dikarenakan, baik institusi resmi PBB melalui Dewan Keamanannya maupun desakan dunia internasional, tidak lagi sanggup membendung keganasan sang Paman Sam yang mengklaim dirinya sebagai “polisi dunia”.

Independensi dan Konsistensi

Dengan kondisi seperti ini, selaku salah satu anggota DK PBB, maka Indonesia harus bersiap memeras otak dan memainkan teknik diplomasi tingkat tingginya guna mencegah pecahnya perang konvensional, perang nuklir, ataupun mencegah melebarnya konflik bersenjata.

Kiranya Indonesia akan menjadi ujung tombak dalam menciptakan perdamaian dunia dalam masa 2 (dua) tahun keanggotaanya. Sebab selain merupakan salah satu anggota GNB, Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, akan juga dianggap sebagai wakil negara-negara ketiga yang tergabung di dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam), di mana beberapa diantaranya sedang mengalami konflik senjata yang tak kunjung selesai, sebutlah misalnya Palestina, Lebanon, atau Irak. Selama ini, tidak ada perwakilan anggota DK yang dianggap mampu menyuarakan aspirasi mereka di forum-forum PBB. Kini harapan itu hadir ditengah-tengah keberadaan Indonesia yang terpilih menjadi salah satu anggota DK PBB.

Mulai saat ini Indonesia akan berhadapan dengan negara-negara anggota DK PBB dalam suatu forum resmi bersekala internasional, bukan lagi sekedar mengirimkan pasukan perdamaian internasionalnya ke titik-titik terjadinya konflik. Oleh karena itu, sikap independensi dan konsistensi Indonesia di dalam penerapan hukum dan kebiasaan internasional akan semakin diuji pada setiap forum perdebatan yang terjadi di dalamnya.

Tantangan terbesar yang akan dihadapi adalah bersikap sesuai prinsip yang terkadang akan terbentur dengan kondisi dan kemampuan yang ada, misalnya ketika secara tegas harus bersebrangan dengan pendapat dari Amerika Serikat dan sekutunya yang seringkali menerapkan standar ganda antara apa yang dikemukakan di dalam forum DK dengan kenyataan kebijakan luar negerinya.

Jika hal itu tidak terlaksana, bukan saja wibawa dan legitimasi PBB semakin menurun di mata negara-negara dunia, tetapi juga akan terjadi erosi kepercayaan terhadap Indonesia dari negara-negara yang telah mendukungnya selama ini. Dua tahun bukanlah waktu yang cukup lama, tapi kita semua tentunya berharap, Wakil Indonesia yang duduk di dalam DK PBB akan mampu berbuat banyak demi menciptakan perdamaian dunia sebagaimana founding fathers negara ini mengamanahkannya sebagai tujuan nasional berdirinya negara Indonesia. Semoga saja.

*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Program Master of Comparative Law pada Faculty of Law, University of Delhi.