Konstitusi, Constitutional Review, dan Perlindungan Kebebasan Beragama

CONSTITUTIONAL REVIEW DAN PERLINDUNGAN KEBEBASAN BERAGAMA

Sejarah perjalanan dan perkembangan praktik ketatanegaraan Indonesia selama kurun waktu 62 tahun tidak pernah terlepas dari proses trial and error. Hal ini dilakukan semata-mata demi terciptanya kehidupan berbangsa yang lebih demokratis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.

Lahirnya Mahkamah Konstitusi pasca amandemen merupakan respons terhadap tuntutan penguatan mekanisme check and balances dalam sistem penyelenggaraan negara. Kehadirannya telah membawa ‘angin segar’ adanya perlindungan akan hak-hak konstitusional (constitutional rights) bagi warga negara.

Salah satu mekanisme yang dapat ditempuh oleh setiap warga negara terhadap pemenuhan hak konstitusional tersebut yaitu melalui jalur pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 atau dikenal dengan istilah constitutional review (staatsgerichtsbarkeit). Dalam hal ini, penulis sengaja menggunakan istilah constitutional review guna menghindari kekeliruan pemaknaan yang seringkali tumpang tindih terhadap istilah judicial review. Sebagaimana lazimnya dipraktikkan pada negara-negara common law system, judicial review memiliki pengertian yang lebih luas dan tidak terbatas hanya pada pengujian konstitusionalitas saja (Erick Barendt, 1998).

Continue reading

Narkotika dan Hukuman Mati

PERDEBATAN KONSTITUSIONALITAS HUKUMAN MATI
* Pan Mohamad Faiz (India)
** Mohamad Mova Al’Afghani (Jerman)

Note: Dimuat pada Jakarta Post (04/05/07)Terjemahan.

Perdebatan mengenai hukuman mati kembali mengemuka ketika sekelompok terpidana hukuman mati mengajukan pengujian undang-undang (judicial review) di hadapan Mahkamah Konstitusi terhadap pasal-pasal yang memuat ketentuan hukuman mati di dalam UU Narkotika, di mana menjadi dasar hukum penjatuhan pidana terhadap mereka. Hampir sebanyak 130 negara di dunia telah melakukan penghapusan hukuman mati, sementara sisanya, termasuk Indonesia, masih tetap menggunakannya.

Para Pemohon beragumentasi bahwa hukuman mati merupakan penyangkalan dari “hak untuk hidup” (right to life) sebagaimana telah dijamin oleh Pasal 28A dan 28I UUD 1945. Berdasarkan instrumen hak asasi manusia internasional, seperti misalnya Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), hak untuk hidup merupakan hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable right). Indonesia merupakan salah satu negara anggota ICCPR, namun tidak ikut serta dalam protokol opsionalnya. Para kuasa hukum Pemohon mengemukakan bahwa UUD 1945 senantiasa mengikuti materi ICCPR, oleh karenya UUD 1945 harus ditafsirkan secara bersamaan dengan ICCPR.

ICCPR sendiri tidak melarang mengenai kemungkinan adanya penjatuhan hukuman mati, di mana hal ini berbeda dengan protokol opsionalnya. Dikarenakan Indonesia bukanlah negara anggota dari protokol opsional ICCPR, praktik hukuman mati diyakini tidak akan bertentangan dengan kewajiban internasional dalam ICCPR, selama perlakuan terhadap terdakwa hukuman mati dan pengeksekusiannya dilaksanakan berdasarkan standar internasional yang berlaku.

Menjadi permasalahan berikutnya mengenai interpretasi konstitusi (constitutional interpretation). Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 memberikan jaminan bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, tetapi Pasal 28J ayat (2) menyatakan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang … sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Perdebatan berlanjut apakah penerapan Pasal 28I ayat (1) – dikarenakan adanya frase “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” – merupakan hal yang “non-derogable”, termasuk terhadap pengecualian pada Pasal 28J ayat (2).

Kuasa hukum terpidana berpendapat bahwa hak-hak yang termuat dalam Pasal 28I ayat (1) termasuk dalam kategori hak-hak yang tidak dapat dikurangi, sekalipun dengan Pasal 28J ayat (2). Pemerintah di lain pihak berpendapat bahwa Artikel 28J ayat (2) dapat mengurangi ketentuan pada Artikel 28I ayat (1). Terhadap polemik ini, terdapat beberapa metode interpretasi yang dapat diaplikasikan.

Pertama, dengan menggunakan pendekatan secara harfiah (literal approach), dapat kita simpulkan bahwa pelarangan adanya hukuman mati tidak dinyatakan dimanapun dalam UUD 1945. Oleh karenanya, kalimat “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” berdasarkan Pasal 28I ayat (1), tidak dapat langsung diinterpretasikan sebagai pelarangan adanya hukuman mati. Perbandingan dengan Konstitusi Jerman dan Vietnam akan menunjukan bahwa pelarangan hukuman mati didukung secara tertulis dan terekspresikan secara harfiah dari Pasal-Pasal Konstitusinya. Dengan tidak adanya ketentuan demikian dalam Konstitusi Indonesia, hukuman mati sejalan dengan apa yang termuat di dalam UUD 1945.

Kedua, dengan menggunakan pendekatan teleologi (teleological approach), dapat kita temukan melalui pembukaan UUD bahwa tujuan daripada Negara yaitu pertama kali yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Sesuai laporan terakhir, Indonesia memiliki 3,2 juta pemakai narkotika dengan angka kematian sekitar 15.000 jiwa per tahun atau secara rata-rata mengakibatkan 41 kematian setiap harinya, dikarenakan overdosis ataupun penggunaan narkotika yang terkait dengan infeksi AIDS. Negara mempunya kewajiban konstitusional untuk mencegah terjadinya kematian massal ini dan mencegah kemungkinan hilangnya generasi (lost generation) masa depan. Dengan demikian, perlindungan warga negara oleh Negara merupakan hal yang terpenting dan bahkan dapat dikatakan menjadi kewajiban yang lebih tinggi dibandingkan dengan tugas-tugas lainnya.

Ketiga, dengan menggunakan metode interpretasi sistematikal (systematical interpretation), maka akan jelas terlihat bahwa Pasal 28J ditempatkan dalam satu Bab dengan Artikel 28I, di mana merupakan hasil amandemen mengenai Bab tentang Hak Asasi Manusia. Hal tersebut menyakinkan bahwa Pasal 28J dibuat “dalam hubungannya dan kaitannya dengan” Pasal 28I. Kami tidak mempertimbangkan hal tersebut akan tepat bila diinterpretasikan bahwa restriksi terhadap pengimplementasian hak asasi manusia berdasarkan Pasal 28J terkait dengan lingkup hak-hak selain daripada Pasal 28I.

Lebih lanjut, berdasarkan konstruksi perjanjian sosial (contract social), para pelaku tindak pidana telah dianggap melepaskan hak untuk hidup, yang dilindungi oleh perundang-undangan, dengan melakukan perbuatan yang menghasilkan hilangnya nyawa orang lain. Oleh karena itu, dengan “secara sadar” membunuh orang lain dan menyadari bahwa tindakannya dapat berhujung pada hukuman mati, secara tidak langsung mereka telah memberikan “persetujuan” untuk diancam pidana dengan hukuman mati.

Terdapat juga beberapa pendapat non-hukum yang mendukung adanya hukuman mati, khususnya mengenai “kejahatan sangat serius” (the most serious crime). Tidak terdapat perngertian yang sama di antara negara-negara anggota PBB mengenai hal ini. Walaupun demikian, kita dapat mengaitkannya dengan kesimpulan oberservasi pada Dokumen PBB CCPR/C/79/Add.25 1993, yang menyatakan bahwa “penjatuhan [hukuman mati] … terhadap kejahatan yang tidak mengakibatkan hilangnya nyawa, dinyatakan bertentangan dengan Konvensi”.

Dewan Penasehat Forum Ahli Hukum Asia-Pasifik mempertimbangkan bahwa kejahatan yang demikian berlaku bagi kejahatan yang membawa kerusakan terhadap kehidupan manusia. Dalam buku “Internatioal Criminal Law and Human Rights (2003)”, Claire de Than and Edwin Shorts mendefiniskan ruang lingkup dari “kejahatan sangat serius” meliputi ancaman modern seperti misalnya perdagangan obat terlarang dan terorisme.

Kejahatan terkait dengan narkotika merupakan salah satu yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa. Perdebatan ini pun berlanjut terhadap pihak yang terkait dengan narkotika tidaklah “mulai melibatkan dirinya” atas kemauan sendiri. Dari sudut pandang “consequalist”, hal tersebut tidaklah relevan bahwa berbagai kejahatan yang dilakukan “secara sengaja dan sadar”, di mana terdapat hubungan langsung sebab-akibat antara intensitas untuk menghilangkan nyawa dengan konsekuensi dari intensitas tersebut atau hanya dengan “menyadari”, di mana diperkirakan bahwa intensitas untuk menghilangkan nyawa bukanlah manifestasi dari kondisi sebelumnya, selama hal tersebut menghilangkan nyawa orang lain.

Dengan demikian, menghilangkan nyawa dengan memproduksi dan melakukan transaksi narkotika tidaklah lebih ringan kejahatannya daripada membunuh orang secara langsung, sebagaimana para pelaku kejahatan menyadari sepenuhnya atas tindakannya yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.

Studi perbandingan telah menunjukan bahwa kebanyakan negara-negara pendukung hukuman mati memutuskan untuk menghapus hukuman mati setelah dilakukannya perdebatan penting di ranah publik, yudisial dan legislatif. Dikarenakan dengan posisi de jure hukuman mati, maka apa yang dapat dilakukan adalah dengan membatasi kejahatan di mana hukuman mati diperbolehkan, dengan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

***

Pan Mohamad Faiz (http://jurnalhukum.blogspot.com) merupakan pendiri Institute for Indonesian Law and Governance Development.

Mohamad Mova Al Afghani (http://indolawreport.blogspot.com) merupakan pendiri Center for Law Information.

Death Penalty in Indonesia (2)

THE CONSTITUTIONAL DEBATE ON DEATH PENALTY
By Mohamad Mova Al ‘Afghani (Bremen) and and Pan Mohamad Faiz (Delhi)

Capital punishment debate resurfaces when a group of death row inmates lodged a judicial review to the Constitutional Court against death penalty articles under the 1997 Narcotics Law, used by the criminal court to sentence them. Almost 130 countries in the world had abolished capital punishment while the rest including Indonesia still preserves it.

The petitioners argue that death penalty is a denial on the right of life as guaranteed by Articles 28A and 28I of 1945 Constitution. According to international human rights instruments such as the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), the right to life is a “non-derogable right”. Indonesia is a party to the ICCPR but has not acceded to its protocols. Petitioner’s lawyers argued that as the verses on the Constitution almost verbatimly mimic the ICCPR’s wordings, they have to be interpreted pararell to the ICCPR.

ICCPR does not prohibit death penalty but its protocols do. As Indonesia is not a party to any ICCPR’s protocol the practice of death penalty will not violate any international obligation to the ICCPR as long as the treatment of the inmates in the death row and the execution of the convict is made in accordance with international standards.

It is then left to the problem of constitutional interpretation. Article 28I (1) of the constitution guarantees stated that the right to life cannot be limited under any circumstances, but Article 28J (2) stated that “In exercising his/her rights and freedoms, every person shall have the duty to accept the restrictions established by law … based upon the consideration of morality, religious values, security and public order in democratic society”. The debate goes on as to whether the application of Article 28I (1) – due to the phrase “cannot be limited under any circumstances” – is non-derogable, including by Article 28J (2).

The convict’s attorneys think that the rights under Article 28I (1) belongs to the cluster of rights which are non-derogable, including by Article 28J (2). The government on the other hand, is of the opinion that Article 28J (2) may derogate Article 28I (1). Toward this polemic, there are a few methods of interpretation that can be applied.

First, by using the literal approach, it would appear that prohibition of death penalty is stated nowhere on the Constitution. The wordings of “cannot be limited under any circumstances” under Article 28 I (1) cannot therefore be interpreted so as to mean prohibiting death penalty. A comparison towards Germany and Vietnam’s constitutions would reveal that the prohibition of death penalty is supported with a written, literal expression on the articles of the Constitution. As Indonesia’s Constitution has no such provision, death penalty is so far, in line with the Constitution.

Second, by using the teleological approach, it can be seen from the preamble that the purpose of the constitution is to first “protect the whole people of Indonesia and the entire homeland of Indonesia”. Indonesia has 3.2 million drug users with the number of death around 15.000 users per year or an average of 41 deaths per day due to the overdose or drug-related AIDS infection. The state has the constitutional obligation to prevent these deaths and to prevent the occurrence of lost generation. Thus, the protection of the people by the state is paramount and would constitute a higher obligation in comparison to other duties.

Third, using the systematical method of interpretation, it would be clear that Article 28 J is placed under the same chapter with Article 28 I, which is the amended human rights chapter. It is then conclusive that Article 28 J was made “in relation and with due regard to” Article 28 I. We do not consider it appropriate to interpret that the restriction towards the implementation of human rights under Article 28 J refers to clusters of rights other than Article 28 I. The restriction under Article 28 J appears to cover the whole set of the constitution.

Moreover, under the social contract construction, perpetrators are deemed to have waived their right to life which is protected under the law by conducting actions which results in the loss of life of other. Thus, by “knowingly” killing others and having aware that their action entails a capital punishment, they have given “implied consent” to be punished with death penalty.

There are also a number of non-legal arguments which supports death penalty, especially when it comes to “most serious crime”. There is no common understanding among UN Countries on this matter. Nonetheless, we can refer to the concluding observation of U.N. Doc. CCPR/C/79/Add. 25, 1993 which stated that the “imposition of [death penalty] … for crimes than do not result in loss of life, as being contrary to the Covenant.” The Advisory Council of Jurist of Asia Pacific Forum considers this crime as those which involve the wanton destruction of human life. In their book, International Criminal Law and Human Rights (2003), Claire de Than and Edwin Shorts defines the scope of “most serious crimes” encompass modern threats such as drug trafficking or terrorism.

Narcotics are the kind of crime which may results in the loss of life of others. The debate however continues as narcotic accomplices does not “pull the trigger” themselves. From a consequalist point of view, it may not be relevant that a certain crime is conducted “wilfully and knowingly” which means that there is a direct causal relation between the intention to kill and the consequences resulted by such intention or only “knowingly” which suggest that the intention to kill is not as manifest as the previous condition, as long as it results in the loss of life of others. Thus, killing by producing and organising narcotics is by no means a lesser evil compared to killing a person directly, as the perpetrators are fully aware that their action will result in the loss of life of others.

In this grave condition, States are fully responsible to protect its citizen. State has to exercise “action” by introducing a special measure of punishment. Otherwise the states might be guilty for failing to protect the lives of its thousand citizens because of its “omission” and a “failure to act” (Sustain and Vermule, 2005).

Comparative study has shown that most of the retentionist countries decided to abolish death penalty after a long crucial public, judiciary and legislative debate. Due to de jure reality of death penalty, what may be done is restricting the offence for which the death penalty is allowed under the law. Quoting the analysis from The Jurist of Asia Pacific Forum, ultimate abolition is possible only when the basic standard in the criminal justice system is already achieved.

***

Mohamad Mova Al Afghani (http://indolawreport.blogspot.com) is the founder of Center for Law Information.

Pan Mohamad Faiz (http://panmohamadfaiz.blogspot.com) is the founder of Institute for Indonesian Law and Governance Development.

Anggaran Pendidikan Inkonstitusional

POLEMIK INKONSTITUSIONALITAS ANGGARAN PENDIDIKAN
Oleh: Pan Mohamad Faiz* (New Delhi)

Note: Dimuat pada H.U. Seputar Indonesia (05/05/07)

Hitam-putih potret pendidikan Indonesia kembali mewarnai momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional. Berbagai peristiwa nonpekerti seperti misalnya kecurangan UN oleh para tenaga pendidik bak awan pekat yang menyelimuti pendidikan bangsa ini. Di lain pihak, berbagai prestasi gemilang mampu diukir putra-putri terbaik Indonesia di pentas internasional, sebutlah salah satunya aksi Mahasiswi Indonesia yang mampu merebut the best oralist peradilan semu internasional. Berangkat dari hal tersebut, maka dapat kita katakan bahwa kualitas SDM Indonesia tidaklah seburuk apa yang kita bayangkan. Lalu dimanakah sesungguhnya letak kesalahan yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita selama ini?

Diyakini oleh berbagai kalangan, salah satu akar permasalahan ini terjadi dikarenakan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk memposisikan sektor pendidikan sebagai prioritas yang utama. Selain dalam hal lemahnya manajemen pengelolaan, rendahnya anggaran pendidikan seringkali menjadi batu ganjalan yang amat dirasakan oleh banyak pihak. Kewajiban konstitusi (constitutional obligation) pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi hingga saat ini. Oleh karenanya, putusan Mahkamah Konstitusi yang diucapkan tanggal 1 Mei lalu dengan menyatakan bahwa pengalokasian anggaran pendidikan oleh pemerintah sebesar 11,8% sebagai batas tertinggi bertentangan dengan UUD, merupakan “kado istimewa” di suasana hari pendidikan nasional.

Namun demikian, hal tersebut akanlah menjadi sekedar “kartu ucapan” kosong tatkala pemerintah mengulangi kembali pelanggaran konstitusional di masa yang akan datang. Pasalnya, inilah putusan ketiga yang pernah dikeluarkan oleh Mahkamah terkait dengan tidak dipenuhinya 20% anggaran pendidikan. Dua buah “kartu kuning” yang telah dikeluarkan sebelumnya, rupanya tidak mampu juga menggetarkan kemauan politik para penentu kebijakan di negara ini. Pemerintah seakan-akan selalu berlindung di balik kelemahan putusan yang tidak mempunyai sanksi hukum tegas bila tidak dilaksanakan (lex imperpecta).

Lemahnya Komitmen

Terhadap anggaran pendidikan yang kian tahun kian membesar tidaklah dapat dijadikan rujukan satu-satunya untuk menilai bahwa pemerintah telah menunjukan komitmennya secara serius. Sebab di saat yang bersamaan, kenaikan juga terjadi pada sektor-sektor lainnya, bahkan ada yang jauh lebih besar dari sektor pendidikan itu sendiri. Sehingga posisi persentase anggaran pendidikan tidak bergeser naik jauh dari tahun-tahun sebelumnya.

Selain tidak dipatuhinya dua kali putusan Mahkamah, lemahnya komitmen ditunjukan pula dengan terjadinya perubahan skenario anggaran secara sepihak terhadap kesepakatan yang pernah dibuat antara Pemerintah dengan komisi Komisi X DPR RI. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh DPD RI berdasarkan Keputusan No. 26/DPD/2006 agar pemerintah berupaya menggunakan sisa anggaran tahun lalu sebesar 57 triliun untuk anggaran pendidikan tidak juga direspon dengan cukup baik. Begitu pula dengan surat khusus yang disampaikan oleh Sekjen Education International (EI), Fred van Leuwen, kepada Presiden yang sengaja “menyentil” kebijakan pemerintah dengan membandingkan anggaran pendidikan negara tetangga yaitu Malaysia (20%) dan Thailand (27%), belum juga berbuah hasil. Indikasi lemahnya komitmen ini juga dirasakan oleh Mahkamah dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwa Pemerintah dan DPR belum melakukan upaya yang optimal.

Aktifisme Konstitusional

Daya upaya segenap pihak yang peduli akan nasib pendidikan bangsa ini telah dilakukan lewat berbagai cara. Tetapi lemahnya kesadaran hukum (lawlessness) para pejabat negara untuk mematuhi ketentuan konstitusi menyebabkan upaya tersebut menjadi tidak maksimal. Perlu usaha ekstra keras untuk mewujudkan cita-cita para founding fathers dalam hal pemenuhan anggaran pendidikan ini. Agar hal tersebut bukan sekedar menjadi impian semu para generasi mendatang, cara-cara konvensional harus pula ditunjang dengan aktifisme konstitusional (constitutional activism) lainnya.

Kesatu, dalam hal memperjuangkan hak pendidikan melalui ranah yudisial – khususnya dalam bidang anggaran – hingga saat ini masyarakat masih terpaku pada pergulatan di arena Mahkamah Konstitusi. Padahal sebenarnya, upaya yang sama dapat pula dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat untuk melakukan pengujian terhadap Peraturan Daerah di wilayahnya masing-masing yang dianggap bertentangan dengan UU Sisdiknas ke hadapan Mahkamah Agung.

Peluang ini sangatlah terbuka lebar melalui pintu Pasal I Angka 20 UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, mengingat di dalam UU Sisdiknas telah termaktub juga berbagai hak warga negara guna memperoleh pembebasan biaya pada jenjang pendidikan dasar (Pasal 34), kewajiban dan jaminan dari Pemerintah Daerah atas tersedianya dana pendidikan untuk warga negara berusia 7 s.d.15 tahun (Pasal 6), Pengalokasian dana pendidikan minimal 20% dari APBD (Pasal 49), serta berbagai jaminan pendidikan lainnya.

Praktik yudisial seperti ini sudah sangatlah lazim dilakukan di pengadilan India. Sehingga kunci pemerataan kesempatan dan pesatnya pendidikan India juga dimotori oleh dukungan putusan Pengadilannya. Bahkan dalam putusan terakhirnya (29/03), Mahkamah Agung India mampu memutuskan untuk menyediakan reservasi bangku perguruan tinggi ternama sebesar 27% khusus kepada kelas masyarakat terbelakang (other backward classes).

Kedua, alasan yang dikemukakan oleh Komisi X DPR bahwa RUU APBN yang datang dari pemerintah sejak semula tidak mempunyai goodwill tidaklah dapat diterima. Melepaskan tanggung jawab bukanlah solusi yang dinanti rakyat banyak. Sebab bagaimanapun juga anggaran adalah hasil bersama antara Pemerintah dengan DPR secara institusional.

Kewenangan legislative review yang dimilik oleh mereka seharusnya dapat difungsikan secara maksimal. Jikapun mereka benar-benar mau memperjuangkan aspirasi rakyatnya, terhadap kondisi yang sangat memperhatinkan ini, maka patutlah sesegera mungkin untuk membentuk Pansus Anggaran Pendidikan guna mengatasi berlarut-larutnya pelanggaran konstitusi secara berjamaah ini.

Ketiga, Mahkamah Konstitusi sebagai ”pengawal konstitusi” harus pula ditafsirkan sebagai lembaga yang befungsi untuk mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran konstitusi. Terhadap adanya kemungkinan berulangnya pelanggaran konstitusi yang sama, kiranya Mahkamah harus pula menempuh langkah untuk mengontrol efektifitas putusannya agar dijalankan oleh Pemerintah.

Berbeda dengan praktik ketatanegaraan Jerman, efektifitas putusan Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht) biasanya ditopang dengan adanya kekuataan oposisi yang mendorong Pemerintah berkuasa untuk melaksanakan putusan Mahkamah. Sayangnya alam demokrasi dan praktik ketatenegaraan seperti ini belum terbangun dengan baik di negara kita. Oleh karenanya, salah satu cara yang dapat ditempuh Mahkamah untuk saat ini yaitu dengan mengingatkan Presiden dan/atau DPR dengan mengirimkan surat resmi sebagaimana pernah dilakukannya dalam kasus BBM beberapa waktu yang lalu.

Ketiga cara tersebut kiranya dapat dipertimbangkan oleh berbagai elemen masyarakat dan lembaga negara terkait. Jika kesadaran akan hak dan kewajiban konstitusional ini telah terbangun dalam sistem kehidupan berdemokrasi kita, niscaya seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah beserta masyarakat akan bersatu-padu guna mewujudkan pendidikan yang bermutu tinggi. Karena hanya dengan hal tersebutlah bangsa ini akan bangkit dan keluar dari krisis multi-dimensi yang tengah mendera selama satu dasawarsa terakhir.

Akankah perkataan manis dari pemimpin kita yang mengatakan ”Saya takut jika melanggar Konstitusi” dan bahkan di dalam kesempatan sidang Inter-Parliamentary Union (IPO) juga berani menghimbau seluruh negara di dunia supaya memberikan keseriusan untuk menaikkan anggaran pendidikannya, diikuti pula dengan tindakan dan langkah yang lebih nyata di tahun-tahun mendatang? Kiranya suara hati dari negeri seberang ini dapat terdengung di telinga para pemangku kepentingan di tanah air. Semoga.

***

Penulis adalah Wakil Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia se-India (PPI India), dapat dihubungi melalui http://panmohamadfaiz.blogspot.com.