Islam dan Persaingan Ideologi di Parlemen

STUDI KASUS:
PRO KONTRA PEMASUKAN “TUJUH KATA” PIAGAM JAKARTA
KE DALAM KONSTITUSI PADA MASA REFORMASI

Description:

Indonesia yang termasuk ke dalam bangsa-bangsa dari dunia Islam dihadapkan kepada soal asas-asas pokok yang harus dijadikan dasar pemerintahan negerinya supaya terjamin kebahagiaan dan kesejahteraan bagi rakyat. Masalah ini bukan saja bersangkutan dengan efisiensi dalam tata usaha pemerintahan tetapi juga dengan ideologi. Sebagai suatu negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, tidaklah sama artinya dengan suatu Negara Islam. Negara disebut dengan Negara Islam apabila negara tersebut dengan sadar menerapkan ajaran-ajaran sosio-politik Islam kepada kehidupan bangsa itu dan dengan sadar dimasukkan ajaran-ajaran itu ke dalam Undang-Undang Dasar Negara tersebut.

Namun, ada beberapa pihak yang menghendaki Islam menjadi dasar negara Indonesia. Kehendak tersebut salah satunya dilakukan dengan cara memasukkan kata “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” yang lebih dikenal sebagai tujuh kata dari Piagam Jakarta ke dalam konstitusi Negara Indonesia yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Usaha pemasukan ini ternyata menimbulkan pro kontra di kalangan nasionalis sekuler yang keberatan dengan rumusan tujuh kata tersebut. Pro-kontra tersebut mengakibatkan hilangnya tujuh kata Piagam Jakarta. Hilangnya tujuh kata itu dimaksudkan agar golongan agama lain jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Karya tulis ini berusaha untuk memaparkan secara utuh mengenai pergumulan ideologi di Parlemen sekaligus mengisahkan secara runtun proses pembahasan dan perdebatan pemasukan kata “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” ke dalam Konstitusi Indonesia.

Click here to download this research paper

Source: State in Islamic Law Perspective Course

Qua Vadis Sistem Pendidikan Nasional

ANALISA KRITIS PUTUSAN “EPISODE I”
JUDICIAL REVIEW UU SISDIKNAS DAN UU APBN 2005

Description:

Salah satu faktor yang menjadi penentu utama bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan nasional kita, tidak lain adalah faktor alokasi anggaran di bidang pendidikan. Ketentuan mengenai anggaran pendidikan telah diamanatkan secara langsung oleh Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD Negara RI 1945) dalam Pasal 31 ayat (4) yang berbunyi “Negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Bahkan terhadap pengalokasian anggaran pendidikan tersebut telah ditegaskan kembali pada Pasal 49 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang berbunyi “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”. Dalam hal ini ketentuan tersebut berarti telah menggariskan bahwa anggaran 20 persen harus benar-benar murni di luar gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan lainnya.
Akan tetapi, semenjak UU Sisdiknas tersebut disahkan pada tanggal 8 Juni 2003, realitas yang terjadi di lapangan justru berkata lain. Penyusunan dan pengalokasian anggaran pendidikan baik di tingkat Pusat maupun Daerah, ternyata tidak sejalan dengan apa yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU Sisdiknas. Oleh karena itu, beberapa warga negara yang merasa hak konstitutionalnya dirugikan, mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan Judicial Review UU Sisdiknas dan APBN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.

Artikel berikut mencoba mengupas mengenai kondisi keterpurukan sistem pendidikan di Indonesia, terutama mengenai tidak tercapainya mata anggaran pendidikan sebesar 20% sebagaimana telah diamanatkan oleh Konstitusi. Tulisan ini juga mencoba menganalisa secara kritis atas putusan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan judicial review Episode I atas UU SISDIKNAS dan UU APBN 2005.

Click here to download this article

Source: Unpublished

Pers Kampus dan Pendidikan Hukum

PERS KAMPUS DAN PENDIDIKAN HUKUM

Description:

Dengan melihat perkembangan dan peran pers kampus sepanjang sejarahnya, maka sudah tidak dapat kita pungkiri lagi bahwa pers kampus merupakan suatu sarana bagi pengembangan daya pemikiran dan intelektualitas bagi masyarakat Indonesia. Berbagai tema dan topik yang diangkat sangat kental dan dekat dengan kebutuhan informasi yang diinginkan oleh setiap orang, terlepas dari cara dan etika penulisan yang kurang profesional.

Lalu bagaimanakah dengan peran Pers Kampus itu sendiri dalam pencerahan bagi mahasiswa maupun masyarakat dalam bidang hukum? Penulis menyadari bahwa porsi dan muatan berita-berita pers kampus mengenai topik yang bersinggungan dengan hukum sangat lah sedikit.

Untuk menemukan majalah hukum yang benar-benar dikelola dan dicetak oleh mahasiswanya sendiri sebenarnya telah ada, seperti “Mahkamah” yang dibuat oleh Mahasiswa FH-UGM, namun di kampus Universitas Indonesia yang menjadi parameter mahasiswa nasional justru tidak keliahatan tanda-tanda kelahirannya. Padahal materi-materi hukum mulai dari yang ringan sampai yang berat benar-benar sangat dibutuhkan oleh seluruh elemen bangsa ini, mengingat negara kita adalah negara yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan.

Mahasiswa Hukum, mulailah bergerak pada detik ini juga!

Click here to download this article

Source: Focus Group Discussion between FHUI and PSHK

Konsep Penguasaan Negara

PENAFSIRAN KONSEP PENGUASAAN NEGARA
BERDASARKAN PASAL 33 UUD 1945 DAN
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Description:

Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang dikenal sebagai pasal ideologi dan politik ekonomi Indonesia, karena di dalamnya memuat ketentuan tentang hak penguasaan negara atas:
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; dan
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Salah satu hal yang masih menjadi perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 adalah mengenai pengertian “hak penguasaan negara” atau ada yang menyebutnya dengan “hak menguasai negara”. Sebenarnya ketentuan yang dirumuskan dalam ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tersebut sama persisnya dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) UUDS 1950. Berarti dalam hal ini, selama 60 tahun Indonesia Merdeka, selama itu pula ruang perdebatan akan penafsiran Pasal 33 belum juga memperoleh tafsiran yang seragam.

Source: Unpublished