Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2005 (Bagian I): "Niet Ontvankelijk Verklaard"

PUTUSAN MENYATAKAN PERMOHONAN TIDAK DAPAT DITERIMA (N.O.)

Guna memudahkan masyarakat Indonesia untuk mengetahui putusan yang pernah dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2005, berikut saya hadirkan intisari tiap-tiap putusan yang dikategorikan berdasarkan amar putusannya. Semoga hal yang kecil ini dapat memberikan pencerahan konstitusi bagi kita semua.

1. Putusan Perkara Nomor 004/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman (PDF).

“Kesalahan Kepentingan Konstitusional oleh Pemohon”

Pemohon dalam perkara ini adalah seorang advokat, yaitu Melur Lubis. Pemohon dalam permohoNomornannya mendalilkan dirinya telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakuknya Undang-undang Nomor 4 Thun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, karena Pasal 36 ayat (1), (2), dan (3) UU tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan dalam ayat tersebut telah menempatkan Ketua Pengadilan sebagai pimpinan dan pengawas pelaksanaan putusan pengadilan yang menimbulkan kekuasaan absolute. Kekuasaanabsolut ini menyebabkan timbulnya perbuatan sewenang-wenang dengan berbuat melebihi kekuasaanya seperti terjadi dalam pelaksanaan putusan perkara Nomor. 4080K/PDT/1998 juncto Nomor. 385/PDT/1997/PT.MDN juncto Nomor. 16/PDT-G/1997/PN.PsP.

Dari alat bukti maupun keterangan Pemohon yang diberikan di depan siding Mahkamah terungkap bahwa kerugian konstitusional tidak dialami oleh pribadi Pemohon, melainkan dialami oleh Ny. Badriah Mawar Harapah yang diterangkan telah meninggal dunia dan dilanjutkan oleh ahli warisnya H. Muchtar Siregar. Mk berpendapat bahwa yang didalilkan oleh Pemohon dalam permohonannya bukanlah menyangkut konstitusionalitas Pasal 36 ayat (1), (2) dan (3) UU Kekuasaan Kehakiman, sehingga bukan kewenangan MK untuk menilainya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK berpendapat tidak terdapat kepentingan konstitusional Pemohon secara pribadi yang dirugikan sebagaimana yang didalilkan. Dengan demikian, secara pribadi Pemohon sama sekali tidak dirugikan oleh berlakunya UU Kekuasaan Kehakiman, oleh karenanya Pemohon dipandang tidak memiliki legal standing sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK dan menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

2. Putusan Perkara Nomor 013/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (PDF).

“Ekses Alat Angkut ‘Illegal Logging’ Bukan Persoalan Konstitusionalitas UU”

Pemohon dalam perkara ini adalah DPP Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (DPP Pelra). Pemohon menyatakan mengalami kerugian hak konstitusional dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf h, khususnya anak kalimat “maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti”. Penjelasan Pasal 50 ayat (3) hurf j, khususnya kata “kapal”; dan Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya, khususnya penjelasan kata “termasuk alat angkutnya” dan kata “kapal”.

MK memutuskan bahwa kerugian yang dialami Pemohon sejak lahirnya UU Kehutanan secara umum bukan disebabkan oleh ketentuan-ketentuan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h dan huruf j dan Penjelasannya serta Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya dari UU Kehutanan yang bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan uraian Pemohon dan keterangan yang diperoleh dalam persidangan, kerugian tersebut terjadi karena pelaksanaan penegakan hukum di lapangan yang dilakukan oleh para aparatur pengeak hukum (Polisi Kehutanan, POLRI, TNI-AL). Seandainya pun benar bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum di lapangan terdapat ekses yang merugikan atau dapat diduga merugikan hak-hak pemohon, namun hal itu tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas UU yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian MK berpendapat bahwa adanya kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon tidak terbukti.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, MK berpendapat tidak terdapat kerugian hak konstitusionalitas Pemohon oleh pemberlakuan UU Kehutanan sehingga pemohon harus dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), oleh karenanya permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima.

3. Putusan Perkara Nomor 012/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang APBN 2005 (PDF).

“Anggaran Pendidikan Tahun 2005”

Pemohon dalam perkara ini terdiri dari perorangan warga negara atau kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama. Kepentingan yang sama tersebut karena kelompok orang ini bergerak di dunia pendidikan yang hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya UU APBN tahun 2005 karena alokasi anggaran pendidikan tidak sesuai dengan perintah konstitusi. Para Pemohon mendalailkan UU Nomor. 36 Tahun 2004 yaitu UU APBN 2005 bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidiakan nasional”.

Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 di samping berhubungan dengan hak untuk mendapatkan pendidikan juga berkaitan dengan APBN, maka MK memandang perlu untuk membahas pula aspek konstitusionalitas dari APBN. Dalam UUD 1945 diatur bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan UU. Artinya APBN disusun atas dasar persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Namun, pemnbuatan UU APBND berbeda dengan pembuatan UU yang lain, RUU APBN selalu berasal dari Presiden yang kemudian dibahas bersama dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD, sedangkan pada UU yang lain pengujian RUU merupakan kewenangan DPR meskipun dapat juga diajukan oleh Presiden. UU APBN mempunyai batas waktu berlaku hanya untuk satu tahun anggaran, hal ini berbeda dengan UU lain yang tidak setiap tahun, dan apabila UU APBN tidak dapat ditetapkan karena DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Presiden, maka Pemerintah menjalankan APBN tahun anggaran sebelumnya. Pemberlakuan APBN sebelumnya dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum), mengingat APBN sangatlah penting untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan.

Untuk menilai permohonan, MK juga perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 tidak memberi batasan apa yang termasuk dalam “anggaran pendidikan”. Dalam usaha untuk menentukan komponen anggaran pendidikan, atas persetujuan bersama Presiden dan DPR telah ditetapkan bahwa yang termasuk dalam anggaran pendidikan adalah pendidikan yang langsung dinikmati oleh masyarakat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu dana untuk pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasa. Dengan adanya ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas, maka secara tiak langsung akan menaikkan jumlah Nomorminal anggaran pendidikan dibandingkan apabila dalam perhitungan anggaran pendidikan tersebut dimasukkan komponen gaji pendidik dan pendidikan kedinasan.
2. MK memutus permohonan Perkara Nomor 011/PUU-III/2005 yang pada amarnya menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karenanya pemenuhan ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 tentang alokasi anggaran 20 persen tidaklah dilakukan secara bertahap. Adanya alokasi anggaran pendidikan dalam UU APBN yang kurang dari 20 persen adalah bertentangan dengan perintah Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.

Meskipun UU APBN telah nyata bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, namun apabila Mahkamah menyatakan permohonan dikabulkan, maka berdasarkan Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 akan berlaku ketentuan APBN tahun yang lalu. Hal tersebut tidak mungkin diterapkan pada permohonan pengujian UU APBN, karena akan menimbulkan kekacauan (governmental disaster) dalam administrasi keuangan negara. Selain itu, dapat pula mengakibatkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan bahkan akibatnya akan lebih buruk apabila ternyata anggaran pendidikan pada APBN tahun sebelumnya (tahun 2004) lebih kecil jumlahnya.

Berdasarkan pertimbangan di atas, MK berpendapat bahwa UU APBN tidak bisa dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam amar putusannya MK menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).

Meskipun setuju dengan amar putusan, namun ada dua orang Hakim Konstitusi yang menyampaikan concurring opinion (alasan berbeda), yakni Prof. H.A.S. Natabaya, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., serta dua orang Hakim Konstitusi lainnya yakni Letjen (Purn.) Achmad Roestandi, S.H., dan SoedarsoNomor, S.H. menyatakan dissenting opinion (pendapat berbeda).

4. Putusam Perkara Nomor 016/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang (PDF).

“Jarak Ibukota Kabupaten/Kota Jauh, Konsekuensi Logis Pemekaran Wilayah”

Permohonan Perkara ini adalah satu orang yang tergolong sebagai perorangan Warga Negara Indonesia. Minhad Ryad adalah seorang warga Kalimantan Barat yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya akibat dibentuknya Kota Singkawang berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang. Pemohon mengajukan permohonan kepada MK untuk menguji keberlakuan UU tersebut.

Salah satu bentuk kerugian konstitusional Pemohon setlah diberlakukannya UU tersebut, yaitu bahwa jarak ke ibukota kabupaten menjadi lebih jauh. Sekalipun secara factual memang telah terjadi, kendatipun Pemohon dalam kualifikasi sebagai perorangan Warga negara Indonesia memang diakui memiliki hak untuk mengajukan permohonan pengujian UU Pembentukan Kota Singkawang terhadap UUD 1945, tetapi tidak ada satu pun hak konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakuna UU tersebut. Sehingga, Pemohon tidak dapat dinyatakan memiliki kedudukan hukum legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon. Oleh sebab itu, MK menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

Pendidikan dan Instrumen Hukum

MEMBANGKITKAN “POLITICAL WILL” PEMERINTAH
DI SEKTOR PENDIDIKAN MELALUI INSTRUMEN HUKUM
Oleh: Pan Mohamad Faiz
“I must say that illiteracy and poverty are the biggest crimes on earth. And their eradication is the most challenging task. Today what we need is political will. The judiciary can awake and strengthen this political will by directing the executive to fulfill the constitutional obligation. It is incumbent on the state and it must be urged to do it. Nothing is more necessary for self-esteem than an educated nation.
If we are strong in will, it is not too late to seek a newer world”.

Mengatakan bahwa agenda kebangsaan terakbar terletak pada pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan atau mengada-ada, melainkan didasarkan pada fakta bahwa seluruh sektor kehidupan bangsa merupakan concern sumber daya manusia (human resource) yang dihasilkan dari output dunia pendidikan. Oleh karenanya, semenjak negara Indonesian berdiri, founding fathers bangsa ini sudah menanamkan semangat dan tekad untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh warga negara, termasuk di dalamnya untuk memperoleh hak pendidikan yang layak dan mumpuni. Cita-cita luhur tersebut kemudian dituangkan ke dalam rumusan mukaddimah UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (het doel van de staat), yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

A. Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia

Dalam sebuah konteks tatanan kehidupan masyarakat yang berdemokrasi, buah hasil dari demokrasi tidak akan dapat dirasakan apabila kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengatasi berbagai pemasalahan pendidikan. Sebab sesungguhnya, inilah yang justru menjadi salah satu tujuan utama masyarakat demokrasi, di mana nilai-nilai pendidikan diharapkan mampu merasuki setiap sendi kehidupan masyarakat.

Berbagai instrumen hukum di tingkat internasional telah diciptakan untuk memperkuat pemenuhan hak masyarakat guna memperoleh pendidikan sebagai hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia. Beberapa instrumen internasional yang cukup penting tersebut, diantaranya yaitu: Pembukaan dan Pasal 26 dari Universal Declaration of Human Right (1948), Pasal 3 Convention Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (1953), Pasal 13 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966), Pasal 10 Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (1979), serta Convention Against Discrimination in Education (1960).

Selain memainkan peranan penting dalam pengembangan individu, pemenuhan pendidikan juga akan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan peradaban suatu bangsa. Pendidikan sangat penting bagi perkembangan sumber daya manusia serta pertumbuhan sosial dan ekonomi dari suatu negara. Oleh karenanya, pasca terjadinya reformasi, kini Indonesia telah memastikan adanya jaminan pemenuhan hak dasar atas pendidikan bagi warga negaranya yang secara tegas tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 28C, dan Pasal 31 BAB XIII mengenai Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, serta ayat (2)-nya mengatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

Tidak hanya sampai sebatas ketentuan konstitusi saja, Pemerintah Indonesia juga memberikan jaminan atas pemenuhan pendidikan melalui perangkat-perangkat hukum di bawahnya, misalnya seperti Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dan berbagi Peraturan lainnya yang terkait dengan masalah pendidikan.

Ketentuan legislasi nasional Indonesia di bidang Pendidikan dapat dikatakan sudah sejalan dengan berbagai instrumen hukum di tingkat internasional. Kini yang menjadi pertanyaannya adalah apakah ketentuan tersebut telah mampu dijalankan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah kita selama ini.

B. Kondisi dan Keterpurukan Pendidikan Indonesia

Krisis multidimensional yang melanda Indonesia telah membuka mata kita terhadap mutu Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, dan secara tidak langsung juga merujuk pada mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu sendiri. Meskipun sudah merdeka lebih dari setengah abad, akan tetapi mutu pendidikan Indonesia dapat dikatakan masih sangat rendah dan memprihatinkan. Hal tersebut setidaknya dapat kita ketahui dengan melihat dua indikator sekaligus, yaitu indikator makro seperti pencapaian Human Develompement Index (HDI) dan indikator mikro seperti misalnya kemampuan membaca.

Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNDP pada Human Development Report 2005, ternyata Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih mencemaskan, peringkat tersebut justru sebenarnya semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya, di mana pada tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99, lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004.

Menurut IMD (2000), dalam hal daya saing, Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 47 negara. Sedangkan, Singapura berada pada peringkat 2 dan Malaysia serta Thailand masing-masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Terkait masalah produktivitas, terungkap bahwa produktivitas SDM Indonesia sangatlah rendah, hal tersebut setidaknya dikarenakan kurangnya kepercayaan diri, kurang kompetitif, kurang kreatif, dan sulit berprakarsa sendiri (selfstarter). Itu semua disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down dan tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas (N. Idrus – CITD 1999).

Begitu pula dari berbagai data perbandingan antar negara dalam hal anggaran pendidikan yang diterbitkan oleh UNESCO dan Bank Dunia dalam “The World Bank (2004): Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization (Indonesia Education Sector Review), Volume 2, hal. 2-4”, Indonesia adalah negara yang terendah dalam hal pembiayaan pendidikan. Pada tahun 1992, menurut UNESCO, pada saat Pemerintah India menanggung pembiayaan pendidikan 89% dari keperluan, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan nasionalnya. Sementara itu, dibandingkan dengan negara lain, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah, termasuk apabila dibandingkan dengan Srilanka sebagai salah satu negara yang terbelakang.

Hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Vincent Greanery dalam “Literacy Standards in Indonesia” dapat disimpulkan bahwa kemampuan pendidikan membaca anak-anak Indonesia adalah paling rendah dibandingkan dengan anak-anak Asia Tenggara pada umumnya. Padahal, mempertimbangkan pendidikan anak sama saja dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa dan akan merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.

C. Investasi Bangsa Jangka Panjang

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Sampai kapan pun dan di manapun ia berada, setiap manusia membutuhkan pendidikan. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.

Profesor Toshiko Kinosita, Guru Besar Universitas Waseda Jepang, mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masihlah sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebab dasarnya karena pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Bagi para penganut teori “human capital”, sebagaimana dideskripsikan oleh Walter W. McMahon dan Terry G. Geske dalam bukunya yang berjudul “Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity” terbitan University of Illionis, bahwa nilai penting pendidikan adalah suatu investasi sumber daya manusia yang dengan sendirinya akan memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Itulah sebabnya investasi pendidikan yang diperlukan bagi bangsa Indonesia sebenarnya harus terlebih dahulu mengarah pada pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang super canggih.

Berpedoman pada apa yang telah dicanangkan oleh UNESCO, proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknya harus bertumpu pada 4 (empat) pilar, yaitu learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).

Oleh karena itu, penting sekali sebagai negara berkembang seperti Indonesia untuk menentukan metode yang terbaik bagi dunia pendidikannya, yaitu dengan jalan “invest in man not in building”, sebagaimana telah dibuktikan hasilnya oleh negara Jepang, India, Korea Selatan, Taiwan, ataupun Malaysia sekalipun dalam dua dekade belakangan ini.

D. Anggaran Pendidikan dalam Bingkai Hukum

Terhadap kondisi pendidikan yang semakin terpuruk tersebut, C.E. Beeby mencatat ada dua hambatan utama dalam upaya meningkatkan bidang pendidikan di Indonesia. Pertama, kurangnya biaya dan perlengkapan yang bisa dibeli dengan uang; dan kedua, hambatan-hambatan yang bukan material sifatnya, di mana penambahan uang tidak akan segera memperlihatkan efeknya. Hal tersebut sejalan dengan salah satu temuan penting dari studi empiris terhadap referensi pencapaian Human Development Index versi UNDP, yaitu pembiayaan pendidikan di suatu negara terbukti memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap kinerja pendidikan nasional di negara-negara bersangkutan.

Satu dari sekian masalah utama namun klasik yang selalu membelit sistem pendidikan di Indonesia adalah rendahnya anggaran pendidikan yang disediakan oleh negara. Rendahnya anggaran pendidikan itu diyakini sebagian kalangan sebagai akar utama buruknya pendidikan nasional. Alokasi dana yang rendah untuk pendidikan, di mana penganggaran selalu dialokasikan dibawah 11% dari APBN, dinilai sebagai cermin tidak adanya political will pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi (constitutional obligation) untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Demikian pula ditegaskan kembali dalam UU organiknya yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan harus dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.

D. Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan

Masyarakat yang skeptis memandang nasib pendidikan saat ini, baik itu berasal dari pihak perorangan maupun institusi pendidikan seperti PGRI dan ISPI, sebenarnya telah berupaya menembus tembok kemandegan penganggaran bagi pendidikan yang tidak sejalan dengan amanah Pasal 31 UUD 1945. Hal itu mereka tempuh dengan upaya melakukan proses permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review) sebanyak dua kali kepada Mahkamah Konstitusi (MK) selaku Lembaga Negara pengawal konstitusi, yaitu UU APBN 2005 dan UU APBN 2006. Terjadinya permohonan Judicial Review atas pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersifat fundamental tersebut dapat kita katakan sebagai pertanda bahwa telah terjadi suatu permasalahan yang sangat krusial, bahkan Mark Elliot dalam bukunya “The Constitutional Foundations of Judicial Review” memaknai pengujian undang-undang sebagai tindakan warga negara dalam mencari keadilan yang hakiki yang tidak boleh dianggap biasa oleh siapa pun.

Alhasil, pendapat MK terhadap kebijakan pemerintah yang hanya mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional) karena tidak sesuai (unvereibar) dengan amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Ketentuan tersebut dikuatkan lewat putusannya No. 012/PUU-III/2005 bertanggal 5 Oktober 2005 dan No. 026/PUU-III/2005 bertanggal 22 Maret 2006 yang pada intinya menyatakan bahwa keberadaan Pasal 31 UUD 1945 mempunyai sifat imperatif (dwingend recht) yang tidak dapat dielakkan selama masih tercantum dalam UUD 1945.

Putusan tersebut sangat tepat tatkala kita melakukan penafsiran konstitusi (constitutional interpretation) terhadap rumusan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”, maka tidak akan membuka adanya kemungkinan penafsiran lain selain bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD dengan prioritas dimaksud haruslah sekurang-kurangnya 20% (duapuluh persen) dari APBN serta dari APBD.

Begitu pula dalam Putusannya Nomor 011/PUU-III/2005, Mahkamah menegaskan bahwa pada hakikatnya pelaksanaan Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda. Ketentuan anggaran minimal 20 persen dari APBN/APBD itu sudah dinyatakan secara express verbis, sehingga tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Itu pula sebabnya, MK menyatakan Penjelasan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang membuat norma baru dengan menyatakan bahwa pemenuhan anggaran pendidikan dapat dilakukan secara bertahap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jikapun pemerintah diperbolehkan, quot non, melakukan pemenuhan anggaran pendidikan secara bertahap, faktanya pun sudah melenceng jauh dari skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu. Padahal, skenario itu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006.

Belum lagi jika kita mencermati minderheids notes yang sebenarnya telah disampaikan oleh Komisi X DPR yang membawahi bidang Pendidikan dalam pengesahan RUU APBN 2006 menjadi APBN 2006 pada sidang paripurna DPR RI tanggal 28 Oktober 2005 berkaitan dengan alokasi anggaran pendidikan yang belum mencapai 20% APBN. Adapun, minderheids notes tersebut berbunyi sebagai berikut:

  1. Sekalipun DPR RI dan Pemerintah telah berusaha optimal, namun berdasar keputusan Mahkamah Konstitusi 19 Oktober 2005, maka dengan tidak terpenuhinya anggaran pendidikan minimal 20% dalam UU APBN 2006, berarti belum memenuhi amanat Pasal 31 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Tidak terpenuhinya “kesepakatan 4 Juli 2005” antara DPR (yang diwakili oleh Komisi X) dan Pemerintah yang diwakili oleh 7 Menteri (Menko Kesra, Mendiknas, Menag, Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menkeu, Mendagri dan Menpan), untuk secara bertahap mencapai anggaran pendidikan 20% dari APBN menunjukan Iemahnya kemauan politik DPR RI dan Pemerintah dalam mewujudkan amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Mengingatkan DPR RI dan Pemerintah untuk segera mewujudkan “kesepakatan 4 Juli 2005” melalui APBNP 2006.

Bahkan terkait dengan anggaran pendidikan pada tahun 2007, Pemerintah dan DPR telah mensahkan alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2007 mendatang hanya sebesar 10,3 %. Masihlah teramat jauh dari angka 20% yang telah diamanahkan oleh Konstitusi kita. Oleh karena itu, jelas bagi penulis untuk menyatakan bahwa ini adalah suatu bentuk tindak kesengajaan dan sekaligus pengingkaran kesepakatan antara DPR dan Pemerintah yang dilakukan oleh diri mereka sendiri.

Dengan kata lain, penulis sangat yakin jika komitmen pemerintah terhadap dunia pendidikan tidak kunjung berubah, maka pada tahun-tahun mendatang akan terjadi kembali pelanggaran konstitusi secara berjamaah dan bisa dipastikan akan terjadi krisis konstitusi yang berakibat pada turunnya kepercayaan masyarakat, khususnya kalangan terpelajar dan akademisi, terhadap legitimasi Pemerintah yang saat ini berkuasa.

E. Problematika Anggaran

Berbagai kalangan, baik itu Pemerintah maupun Non-Pemerintah, berdalih bahwa sulitnya pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD setidaknya disebabkan oleh dua permasalahan utama, yaitu: Pertama, kesalahan konstitusi (constitusional failure) yang menetapkan besaran angka persentase anggaran pendidikan dalam konstitusinya. Kedua, untuk pemerintah pusat, pemenuhan anggaran pendidikan terhalang besarnya beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang serta berbagai subsidi.

Menanggapi permasalah tersebut di atas, mencari kambing hitam atas ketidakmampuan Pemerintah dalam memenuhi kewajiban konstitusi (constitutional obligation) dengan menyalahkan ketentuan yang tercantum pada UUD 1945 dan kondisi “tragis” bangsa ini adalah hal yang tidak patut lagi dijadikan alasan, sebab hampir setiap pergantian kepemimpinan alasan tersebut selalu dijadikan dalih. Memang hingga saat ini baru Indonesia dan Taiwan yang secara tegas mencatumkan besaran angka persentase anggaran pendidikan di dalam konstitusinya, akan tetapi “menyesali” suatu ketentuan konstitusi yang pada kenyataannya sulit untuk dilaksanakan sehingga boleh dikesampingkan tidaklah dapat dijadikan sebagai suatu alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond).

Sudah seharusnya para pemimpin negeri ini sejak awal mengetahui betul secara sungguh-sungguh tugas utamanya, termasuk mempunyai visi yang jelas dalam mencari jalan keluar dari kondisi terburuk yang seandainya terjadi selama melaksanakan amanah yang diembannya. Lagipula, ketentuan-ketentuan pada UUD 1945 adalah grundnorm dari suatu negara itu sendiri, di mana grundnorm tersebut merupakan cerminan dari kesepakatan tertinggi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, mau tidak mau, suka tidak suka, Pemerintah harus melaksanakan amanah konstitusi secara mutlak, sebab hal tersebut sama artinya dengan menjalankan titah rakyat sepenuhnya, sebagaimana Thomas Paine pernah mengatakan, ”Constitutions is not the act of government, but the people constituing a government”.

Dengan gambaran problematika seperti itu, maka kita tidak bisa mengharapkan terjadinya lompatan peningkatan persentase anggaran pendidikan pada tahun-tahun mendatang tanpa adanya revolusi kinerja, reformasi birokrasi, dan kebijakan penganggaran yang ketat dan efisien. Sebagai alternatif, misalnya, pemerintah bisa mendesakkan pengetatan alokasi anggaran untuk pejabat pemerintahan. Teknisnya, persentase kenaikan anggaran untuk pejabat tidak boleh lebih tinggi dari persentase kenaikan anggaran untuk pendidikan atau dengan cara lain melakukan penundaan untuk “menerbitkan” badan atau komisi pemerintahan baru yang terkadang tidak menyelesaikan masalah kepemerintahan namun justru menambah beban keuangan yang cukup besar.

Konsekuensinya, selama anggaran pendidikan belum mencapai 20 persen, kenaikan anggaran untuk lembaga dan departemen dalam APBN selanjutnya harus diminimalisir sedemikian rupa, jika perlu dibatalkan demi konstitusi dan masa depan anak negeri. Efek dari pendidikan yang tidak bermutu seperti ini selama bertahun-tahun mengakibatkan kemiskinan sebagai harga yang harus dibayar. Dengan demikian, pendidikan yang bermutu rendah justru memberikan isyarat terhadap biaya yang sebenarnya jauh lebih mahal harganya.

F. Political Will

Untuk mengkaji mengenai pelaksanaan kemauan politik (political will) pemerintah di bidang pendidikan, penulis mengajak untuk sekedar melakukan refleksi kembali perjalanan dunia pendidikan dari awal kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat atau setidaknya mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh pemerintah. Periode tahun 1908-1945 ditandai dengan kehadiran para pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan di bidang pendidikan, sehingga mereka dapat dipandang sebagai tokoh sekaligus pemimpin politik yang pantas ditiru. Dokter Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan solusi utama guna mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan. Demikian pula dengan Ki Hajar Dewantara yang mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana namun begitu dalam filosofinya: Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang artinya “di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi”.

Begitu pula di awal masa kemerdekaan, masalah pendidikan nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita membuka kembali lembaran sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme.

Namun sebaliknya, pada periode 1959-1998 muncul pemimpin-pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik. Terlebih lagi pada masa pemerintahan Soeharto yang dianggap sebagian besar kalangan mulai mengenyampingkan isu tentang pendidikan. Pada saat itu kita lebih melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintah untuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat. Hal tersebut ditempuh terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak apabila pendidikan benar-benar diperkenalkan sepenuhnya. Mereka lebih banyak berasyik-masyuk dengan kepentingan kelompok, karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman dekatnya. Sejak saat itulah pandangan terhadap dunia pendidikan dianggap tidak lagi menjanjikan segi finansial apapun, non issue, sesuatu hal yang mudah, sesuatu yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian diketepikan dan digeser pada prioritas yang kesekian.

Lalu bagaimana dengan politik pendidikan Indonesia sekarang ini? Taruhlah sekarang ini ada pelaku politik yang mencoba bersuara agak lantang tentang kebebasan akademik, keilmuan, dan anggaran pendidikan. Masih segar juga di ingatan kita, ketika masa kampanye Pemilihan Umum berlangsung beberapa kandidat menjanjikan akan memberikan pendidikan yang lebih baik, pendidikan gratis, beasiswa, bahkan akan membuat kebijakan untuk mengangkat 100.000 guru. Namun pada kenyataannya, kesemuanya itu tak lebih dari sekedar slogan kosong atau janji politik manis. Sangat mudah diucapkan namun sulit dilaksanakan, karena itu semua amat tergantung pada situasi dan iklim politik, sebagaimana dikatakan oleh David N. Plank dan William Lowe Boyd (1994) dalam Antipolitics, Education, and Institutional Choise: The Flight From Democracy.

Bahwasanya antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik. Melalui analisis tersebut, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat modern, sebenarnya institusi pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik lewat tangan para pakar pendidikan. Namun realitanya berbicara lain, justru yang sering terjadi adalah konflik berkepanjangan karena kepentingan politiklah yang dominan bermain.

Oleh karena itu cukup beralasan dan patut pula kita renungkan kekhawatiran dari Daniel Moh. Rosyid, selaku Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur sekaligus Tenaga Ahli Menristek, bahwa kebijakan pendidikan yang tidak bermutu dan tidak kunjung berubah ini bisa jadi disengaja oleh para elite yang kini berkuasa di eksekutif maupun legislatif. Sebab, warga negara yang cerdas akan membuat posisi mereka mudah terancam, baik dari segi ekonomis maupun politis. Kemudian money politics dengan berbagai variannya akan serta merta ditolak oleh warga negara yang terdidik. Rasa pesimistis tersebut akan sejalan apabila kita hubungkan dengan pendapat dari Henry Peter yang mengatakan, “Education makes people easy to lead, but difficult to drive; easy to govern, but impossible to enslave”.

Negara-negara pada belahan Eropa Barat, melalui Socrates, menegaskan bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan manusia ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct). Oleh karenanya mereka menilai bahwa intelektualitas adalah nilai pendidikan yang paling tinggi (the intellectual virtues are assigned the highest rank in the hierarchy of virtues). Anita Lie dalam artikelnya yang berjudul “Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi” mengemukakan bahwa untuk memajukan dunia pendidikan dibutuhkan suatu komitmen dan kemauan yang kuat dari tampuk kepemimpinan nasional.

Perjalanan bangsa Indonesia setelah reformasi, bahkan jauh sebelumnya, tidak pernah terasa memiliki arah yang jelas. Para ahli mengeluh bahwa pendidikan dan kebudayaan tidak pernah menjadi panglima di negeri ini, sementara negara-negara berkembang lainnya melesat maju karena pendidikan diberikan tempat yang teramat penting di negara-negara tersebut. Sulit untuk disangkal, India dengan Indian Vision 2020-nya secara perlahan tapi pasti telah menjadi negara berkembang terbesar di Asia setelah Jepang dan China, sedangkan Malaysia banyak bergerak maju karena didorong Vision 2020 Mahathir Mohammad untuk menjadi negara industri dan pariwisata yang diperhitungkan di dunia. Pembangunan pendidikan Indonesia yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan tidak bisa harus dimulai dari sebuah visi dan tekad yang bulat yang bisa dijadikan pedoman oleh perancang pembangunan dan masyarakat luas.

Oleh karena itu, issue mengenai anggaran pendidikan merupakan salah satu elemen penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Jauhnya persentase anggaran pendidikan yang disetujui Panitia Anggaran DPR dengan persentase yang diwajibkan konstitusi dinilai banyak pihak sebagai bentuk rendahnya komitmen Pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal bila kita pahami bersama, kemajuan pendidikan nasional memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bukan hanya untuk peningkatan kualitas sarana seperti media pembelajaran, laboratorium, ruang keterampilan, perlengkapan belajar, dan berbagai peranti keras lainnya, akan tetapi juga pada aspek peningkatan kesejahteraan guru yang cukup penting dan tidak bisa diabaikan. Semua itu akan bersinergi dan berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan. Namun, masih ada di antara kita yang kesadarannya untuk memenuhi tuntutan yuridis formal terbentur oleh berbagai dalih dan menomorduakan anggaran pendidikan. Kalau memang ada komitmen dan political will, Pemerintah dan DPR dengan otoritas yang dimilikinya seharusnya dapat memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dan kemudian menjalankan prioritas program perbaikan mutu pendidikan nasional.

Di samping itu, konsistensi tinggi dari seluruh jajaran birokrat yang terlibat dalam jalur pendidikan akan dapat menyelamatkan keuangan negara, sehingga hal tersebut akan sampai kepada pihak yang berhak menikmatinya. Bila tidak, bagaimana mungkin pendidikan akan membaik kalau masih ada satu atau dua pelaku pendidikan yang bermain di luar ambang batas toleransi nilai normatif. Sebab, berdasarkan laporan-laporan hasil audit yang dilakukan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), setiap tahun selalu menunjukkan terjadinya sisa anggaran yang mencapai ratusan miliar rupiah, inefisiensi dalam penggunaan dana, serta korupsi dan kolusi yang total mencapai triliunan rupiah. Sehingga dapat kita katakan bahwa masalahnya bukan hanya terletak pada pemenuhan kewajiban 20 persen anggaran pendidikan, akan tetapi juga harus difokuskan pada kemampuan manajerial dana di Departemen Pendidikan Nasional. Kalaupun misalnya DPR dan Pemerintah telah memenuhi persentase minimum itu, sementara manajemen internal Depdiknas dalam pengelolaan dana belum beres, maka dikhawatirkan dana besar itu justru akan membuka lumbung korupsi yang lebih besar.

G. Respons Yudisial terhadap Pendidikan

Bila kita melakukan perbandingan hukum di beberapa negara maju dan berkembang lainnya, maka kita akan dapat melihat betapa besarnya peran institusi pengadilan dalam mendorong tercapainya kewajiban pemerintah dalam menyediakan pendidikan bagi warga negaranya. Pendapat yang dikemukakan oleh Sheldom Gelman bahwa salah satu fungsi pengadilan adalah sebagai forum untuk mendorong terjadinya tercapainya kebutuhan konstitusi dan legislatif secara berimbang, berarti telah terlaksana dengan baik di negara-negara tersebut.

Salah satu negara yang mempunyai pengadilan dimana kerap mengeluarkan putusan yang memberikan dukungan penuh dan tegas terhadap hak atas pendidikan adalah negara India, negara yang menurut Arend Lijphart termasuk dalam kategori strong judicial review. Doktrin judicial activism yang berkembang pesat di negara tersebut telah mengantarkan para hakim pengadilannya untuk berani mengambil terobosan-terobosan hukum dan memaksa lembaga eksekutifnya, baik itu di tingkat pusat maupun di setiap negara bagiannya, untuk memenuhi kewajiban konstitusionalnya di bidang pendidikan. Pengadilan di India telah memainkan peranan penting dalam mengembangkan suatu perkara terkait dengan pemenuhan pendidikan dasar bagi masyaraktnya. Beberapa putusan yang cukup terkenal yaitu pada perkara Oliver Brown v. Board of Education dan perkara University of Delhi v. Ram Nath, dimana putusan inilah yang menjadi salah satu cikal bakal bangkitnya pendidikan di seluruh pelosok India.

Berbeda dengan Indonesia, dua kali putusan MK yang menyatakan bahwa anggaran pendidikan dinyatakan inkonstitusional tidak juga membuat jera pelaku pemerintahan saat ini. Dua kali putusan “kartu kuning” rasanya sudah cukup untuk memperingatkan pemerintah yang telah melakukan pelanggaran konstitusi. Apabila di kemudian hari terjadi kembali judicial review atas UU APBN 2007, yang menurut hemat penulis kemungkinan besar akan terjadi, maka kini saatnya bagi MK untuk mengeluarkan putusan “kartu merah” atas kesengajaan Pemerintah untuk ketiga kalinya yang lagi-lagi menetapkan anggaran pendidikan di bawah angka minimum 20 persen sebagaimana telah diamanahkan dalam UUD 1945.

Menaikkan alokasi anggaran pendidikan sekedarnya telah mencerminkan bahwa Pemerintah tidak cukup serius dalam melaksanakan amanat UUD 1945 dan harus dipandang tidak sesuai dengan moral konstitusi (morality of constitution) maupun semangat UUD 1945 (the spirit of constitution). Putusan tegas dan jelas harus dijatuhkan untuk membangkitkan dan menggugah kesadaran seluruh pelaku pemerintahan akan arti pentingnya pendidikan guna menyelamatkan anak-anak bangsa yang kelak akan menjadi asset utama bagi perkembangan Indonesia di masa yang akan datang. Jika ini terjadi, maka tidak menutup kemungkinan putusan tersebut akan menjadi tonggak sejarah bangkitnya Pendidikan Indonesia dari keterpurukannya selama ini.
Efek lain yang akan terjadi bila MK memutuskan demikian, maka setidaknya akan mengalir gelombang kesadaran berkonstitusi di tengah-tengah masyarakat, dimana mereka akan kembali berupaya untuk memberdayakan instrumen hukum yang ada di setiap daerahnya masing-masing secara maksimal, guna “menggugat” hak dasar pendidikan setiap individu.

Sebab sejauh ini, menurut penulis, masyarakat hanya terpaku pada apa yang sedang diperjuangkan oleh sekelompok “pejuang pendidikan” di tingkat pusat, khususnya di arena persidangan Mahkamah Konstitusi. Padahal upaya untuk memperjuangkan pendidikan melalui instrumen hukum dapat pula dilakukan dengan jalan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ke hadapan Mahkamah Agung, dalam hal ini yaitu apabila terdapat peraturan perundang-undangan yang menjadi turunan dari UU SISDIKNAS dianggap bertentangan dengan UU SISDIKNAS itu sendiri.

Peluang ini sangatlah terbuka lebar melalui Pasal I perubahan Pasal 31 UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, mengingat di dalam UU SISDIKNAS telah terdapat berbagai hak warga negara guna memperoleh pendidikan yang bermutu, hak pengajar dan tenaga pendidik, tanggung jawab keuangan pemerintah daerah dalam pembiayaan pendidikan, dan lain sebagainya. Ketentuan judicial review seperti ini dapat pula diterapkan terhadap UU yang lainnya, tidak sebatas pada UU SISDIKNAS saja. Jika kesadaran akan hak konstitusional ini berkembang di berbagai wilayah Indonesia, niscaya seluruh elemen pemerintah daerah dan masyarakatnya akan bersatu padu dan berlomba guna mewujudkan pendidikan yang bermutu tinggi.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan yaitu pengadilan harus selalu berupaya memperhatikan berbagai instrumen dan konvensi internasional yang berlaku dan mempergunakannya sebagai rujukan terhadap perkara yang diperiksa apabila dalam praktiknya terdapat ketidakkonsekuenan antara norma internasional dan hukum dalam negeri. Berbagai dokumen internasional seperti Convention on the Rights of the Child, di mana salah satu penekanannya dilakukan dalam hal pemenuhan pendidikan dasar dan sebagai negara penandatangan maka sudah sangat jelas dan tanpa ada lagi keraguan bahwa pemerintah Indonesia juga berada di bawah kewajiban hukum internasional untuk melaksanakan ketentuan dimaksud guna memberikan pendidikan dasar bagi siapa pun juga dalam kerangka pemenuhan fundamanetal right warga negaranya.

Mengutip pendapat Holmes, Hakim Agung Amerika, bahwa ketentuan konstitusi bukanlah sekedar rumusan matematika ang membentuk suatu susunan. Konstitusi adalah organ institusi yang hidup. Ia mempunyai peranan yang teramat penting dan dibentuk tidak semudah merangkai kata-kata dari sebuah kamus, tetapi dengan memperhatikan secara benar keaslian dan pertumbuhannya setiap saat. Oleh karena itu, sudah saatnya institusi yudisial mampu membuat konstitusi kembali menjadi milik rakyat yang sesungguhnya dan kemudian digunakan untuk mengatur pemerintahan.

H. Post Scriptum

Dari deskripsi di atas, dapat dikatakan kinerja pendidikan nasional Indonesia memang masih memprihatinkan. Hal itu salah satunya terjadi dikarenakan kurangnya political will dari para pemimpin bangsa ini, beberapa diantaranya dapat terlihat jelas dari pengalokasian anggaran pendidikan yang rendah dan kurang memadai, manajerial keuangan baik di tingkat pusat maupun daerah yang tidak kunjung membaik, output SDM yang kurang kompetitif, dan sebagainya.

Sektor pendidikan di Indonesia sudah sangat tertinggal, sehingga sudah waktunya pendidikan harus menjadi prioritas utama pembangunan. Mengingat akar masalahnya bukan sekedar pada alokasi anggaran pendidikan, maka seruan untuk melakukan perbaikan bukan hanya menyangkut soal terpenuhinya alokasi dana 20 persen dari APBN/APBD, tetapi yang tidak kalah penting adalah membangun kesadaran, komitmen, dan kemauan bersama dalam memajukan pendidikan Indonesia. Sebab, apabila seruan hanya ditujukan untuk terpenuhinya dana 20 persen dari APBN/APBD, tetapi tidak disertai peningkatan kesadaran dan kemampuan pengelolaan alokasi anggaran pendidikan, justru hal tersebut hanya membuka peluang korupsi dan pemborosan besar-besaran. Akhirnya, baik anggaran pendidikan yang besar maupun kecil sama-sama tidak memperbaiki mutu pendidikan nasional, juga tidak mengurangi beban masyarakat.

Demikian pula diharapkan peran lembaga yudisial dapat berbuat banyak untuk menyadarkan pemerintah memenuhi kewajiban konstitusinya, sebab ketika lembaga eksekutif dan legislatif sudah tidak lagi memiliki concern penuh terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia warga negara Indonesia, maka kini pelita harapan satu-satunya hanyalah berada di tangan lembaga yudisial, baik itu berasal dari Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya, maupun dari Mahkamah Konstitusi.

Dalam konteks ini, kita perlu berlapang dada tanpa rasa malu sebagaimana Jepang bangkit dari kehancuran Perang Dunia II dengan memajukan pendidikannya, India dengan culture kesederhanaannya mampu membangun kualitas pendidikan yang cukup bersaing di tingkat International, ataupun Malaysia yang pada tahun 1970 belajar dari guru-guru Indonesia yang didatangkan ke Malaysia. Hasilnya dapat kita lihat sendiri, Jepang telah menjadi negara industri terkemuka di dunia, India mampu memainkan peranannya di berbagai tingkatan Internasional, dan Malaysia lambat laun mulai menggeser dan menggantikan peran Indonesia di kawasan Asia Tenggara.

Dengan begitu besarnya peranan Pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa, maka bagaimanapun juga – disadari atau pun tidak – hanya melalui pintu atau saluran pendidikanlah bangsa kita diharapkan dapat bangkit dari keterpurukan krisis multidimensional, dan kemudian menata ulang (redesaigning) rancang-bangun kehidupan berbangsa, membangun karakter bangsa (character building) atas dasar kearifan dan identitas tradisi lokal dan melanjutkan estafet pembangunan bangsa (nation building), terlebih di era globalisasi yang menunjukkan semakin ketatnya kompetisi negara-negara di seluruh dunia. Agar di masa depan kinerja pendidikan nasional dapat diperbaiki maka amat diperlukan sebuah komitmen. Para pemimpin negara, siapa pun orangnya, harus memiliki sense of education yang memadai dengan komitmen tinggi memajukan pendidikan Indonesia. ۩

BIBLIOGRAPHY:

Prmary Sources:

  • Universal Declaration of Human Right, 1948.
  • Convention Againts Discrimination in Education, 1960.
  • Convention on the Rights of the Child, 1989.
  • International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966.
  • Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.
  • UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS.
  • UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
  • UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
  • UU APBN tahun 2005 s/d 2007.
  • Putusan MKRI No. 011-012-026/PUU-III/2005.
  • Oliver Brown v. Board of Education, AIR 1990 SC 2432.
  • University of Delhi v. Ram Nath, AIR, 1963 SC 1873.
  • Etc.

Secondary Sources:

  • Darmaningtyas, Sarana Pendidikan: Potret Buram Wajah Pendidikan, 2003
    Elliot, Mark, The Constitutional Foundations of Judicial Review, Hart Publishing, USA 2003.
  • Greanery, Vinncent, Literary Standards in Indonesia, 1992.
  • Lie, Anita, Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi, 2003.
  • McMahon, Walter W. and Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, Univ. of Illinonis, 2002.
  • Plank, David N. and William Lowe Boyd, Antipolitics, Education, and Institutional Choice: the Flight from Democracy, 2004.
  • Tyagi, B.S., Judicial Activism in India, Srishti Publisher, India, 2000.
  • UNDP, Human Development Report, 2005.
  • UNESCO and The World Bank, Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization (Indonesia Education Sector Review), 2004.
  • Etc.

Penelitian Hukum: Pengujian Undang-Undang Perjanjian Internasional

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
YANG MENSAHKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
TERHADAP UUD 1945 DI HADAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Abstraksi:

Pemerintah Republik Indonesia dalam melaksanakan politik luar negerinya selalu berusaha melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya diantaranya adalah dengan membuat suatu perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum lainnya. Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu Ratifikasi (ratification), Aksesi (accesion), Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval), dan hasil perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).

Menurut Undang Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pada Pasal 10 dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian sekilas mata maka perjanjian internasional yang disahkan dengan undang-undang, sesuai dengan Undang-Undang No. 24 tahun 2000, dapat diajukan ke hadapan Mahkamah Konstitusi untuk di uji apakah sesuai dengan UUD 1945. Maka dapat dimungkinkan undang-undang yang mengesahkan perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi.

Kemudian yang menjadi pertanyaannya adalah, dibenarkankah UU yang mensahkan perjanjian Internasional dimana mempunyai karakteristik khusus dapat di-judicial review-kan di hadapan Mahkamah Konstitusi? Jika memungkinkah, maka dampak apa saja yang ditimbulkan, baik itu secara nasional maupun internasional, bilamana UU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi?

Penelitian Hukum yang pernah dimuat pada Jurnal Konstitusi Vol. 3 Nomor 1 (1 Februari 2006) ini menjawab dan menguraikan secara sistematis mengenai tata cara pengajuan apabila suatu saat terjadi pembatalan atas UU yang mensahkan perjanjian internasional termasuk konsekuensi hukum apabila terdapat putusan yang membatalkan UU tersebut.

Bagi anda yang membutuhkan hasil penelitian ini dapat mengubungi tim penulis dengan mengirimkan email kepada pm_faiz_kw@yahoo.com atau mengirimkan pesan pada Blawg http://jurnalhukum.blogspot.com / http://faizlawjournal.blogspot.com.

Judicial Review UU SISDIKNAS dan APBN 2005

QUO VADIS SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL:
Analisa Kritis “Putusan JILID I” Mahkamah Konstitusi

Oleh : Pan Mohamad Faiz
I. PENDAHULUAN

Salah satu faktor yang menjadi penentu utama bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan nasional kita, tidak lain adalah faktor alokasi anggaran di bidang pendidikan. Ketentuan mengenai anggaran pendidikan telah diamanatkan secara langsung oleh Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD Negara RI 1945) dalam Pasal 31 ayat (4) yang berbunyi “Negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.

Bahkan terhadap pengalokasian anggaran pendidikan tersebut telah ditegaskan kembali pada Pasal 49 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang berbunyi “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”. Dalam hal ini ketentuan tersebut berarti telah menggariskan bahwa anggaran 20 persen harus benar-benar murni di luar gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan lainnya.

Akan tetapi, semenjak UU Sisdiknas tersebut disahkan pada tanggal 8 Juni 2003, realitas yang terjadi di lapangan justru berkata lain. Penyusunan dan pengalokasian anggaran pendidikan baik di tingkat Pusat maupun Daerah, ternyata tidak sejalan dengan apa yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU Sisdiknas. Oleh karena itu, beberapa warga negara yang merasa hak konstitutionalnya dirugikan, mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan Judicial Review UU Sisdiknas dan APBN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.

II. PERTIMBANGAN HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGENAI JUDICIAL REVIEW UU SISDIKNAS DAN UU APBN 2005

Mahkamah Konstitusi kembali memutus dua perkara Pengujian Undang-undang (Judicial Review) terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yaitu perkara No. 011/PUU-III/2005 dan perkara No. 012/PUU-III/2005. Dua undang-undang yang dimohonkan oleh pemohon yang sama, yaitu Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang No. 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005, merupakan undang-undang yang menjadi pondasi dasar bagi pengembangan pembangunan berkelanjutan di negari ini. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kedua putusan yang saling terkait erat tersebut, tentunya mempunyai implikasi serta membawa pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan pendidikan dan kehidupan segenap warga negara Indonesia.

A. Perkara No. 011/PUU-III/2005 tentang Judicial Review UU SISDIKNAS.

Dalam perkara No. 011/PUU-III/2005 tentang Judicial Review UU Sisdiknas, Pemohon memohon pengujian secara materiil konstitusionalitas Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), serta Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas yang berbunyi sebagai berikut:

  • Pasal 17 ayat (1), ”Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah”;
  • Pasal 17 ayat (2), ”Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat”;
    Penjelasan Pasal 49 ayat (1), ”Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap”;

Putusan Mahkamah yang dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada tanggal 19 Oktober 2005 yang amarnya “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian”, telah menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Adapun pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut yaitu:

  • Dalil pemohon yang menyatakan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, hanya didasarkan atas asumsi yang tidak didukung alat bukti dan juga tidak didukung oleh keterangan pihak-pihak terkait. Selain itu, Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 juga tidak mengatur secara limitatif tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan dasar, tetapi menyerahkan pengaturannya dengan undang-undang mengenai sistem pendidikan nasional. Sehingga dalil pemohon dianggap tidak cukup beralasan;
  • Sedangkan dalil pemohon yang menyatakan Penjelasan Pasal 49 ayat (1) Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dianggap cukup beralasan. Hal ini didasarkan bahwa Mahkamah berpendapat bahwa pada hakikatnya pelaksanaan ketentuan Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda. UUD 1945 secara expressis verbis telah menentukan bahwa anggaran pendidikan minimal 20% harus diprioritaskan yang tercermin dalam APBN dan APBD tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-perundangan yang secara hierarkis berada di bawahnya. Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas juga telah membentuk norma baru yang mengaburkan norma yang terkandung dalam Pasal 49 ayat (1) yang ingin dijelaskannya, sehingga ketentuan dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (1) tersebut juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dan teori perundang-undangan yang sudah lazim diterima dalam ilmu hukum yang kemudian dituangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005 dalam permohonan pengujian Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Terlebih lagi pendidikan di Indonesia sudah sangat tertinggal, sehingga sudah waktunya pendidikan harus menjadi prioritas utama pembangunan di Indonesia yang perwujudannya antara lain adalah pemberian prioritas di bidang anggaran. Adanya Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas menjadi alasan bagi Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah untuk tidak memenuhi alokasi 20% anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD, sehingga dalil para Pemohon dinyatakan cukup beralasan.
  • Catatan:
    Terhadap Putusan No. 011/PUU-III/2005, terdapat 3 (tiga) Hakim Konsitusi yang mempunyai pendapat berbeda (Dissenting Opinion).

B. Perkara No. 012/PUU-III/2005 tentang Judicial Review UU APBN 2005.

Untuk perkara No. 012/PUU-III/2005 tentang Judicial Review UU APBN 2005, pemohon mendalilkan bahwa UU APBN Tahun 2005 yang menetapkan alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 7% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, serta Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi,

“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”;

Perkara yang mempunyai keterkaitan erat terhadap putusan Judicial Review UU Sisdiknas ini, telah diputus oleh Mahkamah juga pada tanggal 19 Oktober 2005 yang amarnya ”Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvantkelijk verklaard)”. Adapun pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut yaitu:

  1. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa UU APBN bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon tersebut tidak beralasan, karena seandainya pun benar para Pemohon dirugikan oleh UU APBN, kerugian tersebut bukanlah kerugian konstitusional;
  2. Adanya alokasi anggaran pendidikan dalam UU APBN yang kurang dari 20 persen adalah bertentangan dengan perintah Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan bahwa anggaran tersebut diprioritaskan sekurang-kurangnya 20 persen dan tidak dilakukan secara bertahap (Vide putusan Mahkamah No. 011/PUU-III/2005), meskipun telah ternyata bahwa DPR bersama Presiden telah dengan itikad baik memanfaatkan sumber daya secara maksimal serta bertekad untuk melakukan realisasi secara progresif dalam penyusunan APBN seterusnya.
  3. Akan tetapi apabila Mahkamah memutuskan untuk menyatakan UU APBN 2005 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka sebagai akibat hukumnya adalah seluruh rencana pendapatan dan belanja negara yang tertuang dalam APBN tidak mengikat lagi kepada Presiden dan seluruh realisasi pendapatan dan belanja negara yang didasarkan atas UU APBN tidak mempunyai dasar hukum lagi, sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum pada realisasi belanja yang telah dikeluarkan oleh sektor lain yang anggarannya harus dikurangi.
  4. Apalagi ternyata bahwa anggaran pendidikan tahun sebelumnya lebih sedikit nilai atau jumlah nominalnya daripada anggaran yang sedang berjalan, sekiranya permohonan dikabulkan maka justru para Pemohon dan segenap warga negara yang mempunyai kepentingan yang sama dengan para Pemohon akan semakin dirugikan.

Berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam hal perkara pengujian UU, apabila Mahkamah berpendapat permohonan beralasan, maka amar putusannya menyatakan permohonan dikabulkan. Dengan dasar uraian pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, pada intinya Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon adalah beralasan, namun apabila Mahkamah menyatakan permohonan dikabulkan, maka berdasarkan Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 akan berlaku ketentuan APBN tahun yang lalu. Hal tersebut tidak mungkin diterapkan pada permohonan a quo, karena akan menimbulkan kekacauan (governmental disaster) dalam administrasi keuangan negara, yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan bahkan akibatnya dapat akan lebih buruk karena anggaran pendidikan pada APBN 2004 lebih kecil jumlahnya daripada APBN 2005, yaitu 6,6 % dari APBN pada tahun 2004 dan 7 % dari APBN untuk tahun 2005.

Catatan:
Terhadap Putusan No. 012/PUU-III/2005, terdapat 2 (dua) Hakim Konsitusi yang mempunyai alasan berbeda (Concurring Opinion), dan 2 (dua) Hakim Konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda (Dissenting Opinion).

III. ANALISA PUTUSAN

A. PUTUSAN MAHKAMAH

Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dalam perkara Judicial Review UU Sisdiknas, nyata-nyata telah membawa angin segar bagi iklim perkembangan Pendidikan Nasional. Ketentuan yang menjelaskan bahwa alokasi anggaran pendidikan harus diprioritaskan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN, tidak dapat lagi dilakukan secara bertahap. Akan tetapi lain halnya dengan putusan Judicial Review UU APBN 2005, telah timbul pro kontra di banyak kalangan yang mempertanyakan kembali alasan dan pertimbangan hukum yang diambil oleh Majelis dalam memutus perkara terebut.

Berdasarkan Pasal 56 Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa dalam perkara Pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, amar putusan Mahkamah Konstitusi hanya dapat menyatakan:

  1. Permohonan tidak dapat diterima, apabila pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 (sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat vide Putusan MKRI No. 066/PUU-II/2004) dan Pasal 51 mengenai legal standing pemohon.
  2. Permohonan dikabulkan, apabila permohonan beralasan atau pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945. Mahkamah kemudian menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945.
  3. Permohonan ditolak, apabila undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik menegani pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan.
    Jika kita melihat kembali putusan tentang Judicial Review UU APBN 2005, Mahkamah telah berpendapat bahwa permohonan beralasan. Jika memang Mahkamah konsisten terhadap ketentuan yang diatur dalam Pasal 58 UU No 24 Tahun 2004 tersebut, tentunya Putusan akan mempunyai amar yang menyatakan bahwa permohonan dikabulkan. Akan tetapi yang terjadi, Mahkamah justru mengeluarkan Putusan dengan amar menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima atau niet ontvantkelijk verklaard. Di sinilah menurut penulis yang menjadikan satu titik kontras timbulnya pro kontra akan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi.

Bagi yang menganut hukum positivisme ataupun legalystem, tentu sulit untuk menerima pertimbangan hukum yang diberikan oleh Mahkamah. Sebab, terlihat dengan jelas bahwa Mahkamah mendasarkan putusannya dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain di luar ketentuan hukum positif yang telah digariskan, yaitu mempertimbangkan terhadap faktor perekonomian dan kerugian yang akan diderita oleh negara. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, bolehkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memasukan pertimbangan-pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik kedalam putusannya? Memang selama ini, di pengadilan manapun tidak seyogyanya memasukkan pertimbangan-pertimbangan lain di luar pertimbangan hukum sebagai dasar pengambilan putusannya. Akan tetapi hemat penulis, harus dapat kita bedakan antara Mahkamah Konstitusi dengan pengadilan-pengadilan lainnya, seperti pengadilan pidana, perdata, TUN, militer, dan sebagainya. Perbedaan yang mendasar dan utama adalah bahwa pada hakikat perkara di Mahkamah Konstitusi tidaklah bersifat adversarial atau contentious yang berkenaan dengan pihak-pihak yang saling bertabrakan kepentingan satu sama lain seperti dalam perkara perdata ataupun tata usaha negara.

Kepentingan yang sedang digugat dalam perkara peng­ujian undang-undang adalah kepentingan yang luas menyangkut kepentingan semua orang dalam kehidupan bersama. Undang-undang yang digugat adalah un­dang-undang yang mengikat umum terhadap sege­nap warga negara. Oleh sebab itu, perkara yang diaju­kan tidak dalam bentuk gugatan, melainkan permo­honan.

Oleh karena itu tidak bisa tidak, jika dipandang perlu maka Majelis Hakim dapat mempertimbangkan hal-hal lain guna memberikan keputusan yang seadil-adilnya bagi segenap warga negara bangsa ini dan meminimalisir kemungkinan kerugian yang mungkin akan timbul dan diderita oleh pihak-pihak tertentu atas putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah. Selain itu, penulis juga beranggapan bahwa sistem hukum Indonesia yang sebenarnya masih berada pada posisi grey area antara sistem Common Law ataupun Civil Law, maka tidak serta merta Mahkamah dengan sistem pengadilannya yang khas harus selalu menjadi corong dari undang-undang.

Begitu pula dengan perkara yang diputus oleh Mahkamah Konsitusi terkait dengan UU APBN 2005. Suatu kedilematisan para Hakim Konstitusi telah terlihat secara gamblang ketika menguraikan pertimbangan hukum putusan tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya 2 (dua) Hakim yang menyatakan concurring opinion dan 2 (dua) Hakim yang menyatakan dissenting opinion. Tetapi satu hal yang harus digarisbawahi di sini yaitu, semuanya tidak ada satu pun Hakim Konsitusi yang menyatakan bahwa permohonan dapat dikabulkan, bahwasanya pendapat seluruh Hakim Konstitusi bermuara pada amar putusan yang menyatakan putusan tidak dapat diterima dan permohon ditolak.

B. IMPLIKASI DAN IMPLEMENTASI

Dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 49 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, membawa implikasi bahwa pengalokasian anggaran pendidikan harus mempunyai besaran 20 persen dari APBN dan APBD, dan tidak bisa lagi dilakukan secara bertahap sebagaimana diartikan selama ini oleh berbagai kalangan. Akan tetapi yang menjadi kekhawatiran penulis adalah, sejauh manakah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dipatuhi oleh pihak-pihak terkait yang dalam perkara ini berarti para legislator yang akan menyusun UU APBN selanjutnya. Ketidakpatuhan melaksanakan putusan Mahkamah oleh pihak-pihak yang terkait dengan suatu perkara pengujian undang-undang, seringkali menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi menjadi tidak bermakna.

Hal itupun terjadi kembali tidak lama setelah putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Judicial Review UU Sisdiknas dan UU APBN 2005 dikeluarkan. Belum genap 10 (sepuluh) hari dari dikeluarkannya Putusan tersebut, sebagaimana dilansir di berbagai media massa, tepat pada tanggal 28 Oktober 2005 melalui Rapat Paripurna para legislator telah menyetujui pengesahan RUU APBN 2006 menjadi UU, padahal alokasi anggaran pendidikan dalam APBN tersebut hanya berkisar kurang lebih 8 persen dari APBN. Terkait dengan alokasi anggaran pendidikan yang masih jauh di bawah 20 persen dari APBN, Menteri Keuangan Jusuf Anwar memberikan penjelasan bahwa pengesahan RUU APBN 2006 menjadi UU diambil dengan pertimbangan keuangan negara belum memungkinkan, dan bahkan menurutnya keputusan tersebut diambil setelah berkonsultasi terlebih dahulu kepada Mahkamah Konstitusi.

Terlepas dari benar atau tidaknya pernyataan yang disampaikan oleh para legislator tersebut, satu hal yang harus kita temukan jawabannya yaitu sejauhmanakah sebenarnya politik keputusan yang diinginkan oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Sangat mungkin, pemohon yang sama atas perkara Judicial Review kedua undang-undang tersebut, akan mengajukan permohonan kembali dengan materi substansi yang tidak jauh berbeda. Lalu, bagaimanakah putusan yang akan kembali dikeluarkan oleh Mahkamah? Prediksi penulis, putusan yang akan diambli tidak akan jauh berbeda dari putusan sebelumnya. Kecuali pada tahun tertentu, alokasi anggaran pendidikan lebih besar ketimbang anggaran tahun sebelumnya maka permohonan dapat saja dikabulkan, itupun masih sulit dan kecil kemungkinannya untuk dapat dikabulkan.

III. PENUTUP

Amandemen UUD 1945 yang memasukan secara teknis jumlah angka dalam alokasi penganggaran pendidikan telah disepakati. Terlepas dari latar belakang, strategi, ataupun mungkin (dibeberapa kalangan) dianggap suatu kecerobohan, maka ketentuan tersebut tetap harus dilaksanakan. Dilematis memang mempunyai ketentuan dalam konstitusi yang baik dalam segi substansial, namun sangat sulit untuk diimplementasikan pelaksanaanya. Begitulah yang terjadi dengan ketentuan Konstitusi yang mengatur minimal 20 persen anggaran pendidikan di dalam APBN dan APBD. Hingga hari ini, selain Indonesia dan Taiwan, rasa-rasanya hanya negara Brazil yang dalam Konstitusinya berani menentukan jumlah dan kisaran yang wajib dialokasikan untuk anggaran pendidikannya, yaitu minimal 18 (delapan belas) persen untuk anggaran tingkat pusat dan 25 persen untuk tingkat daerah, itupun sebenarnya sudah termasuk termasuk biaya pengelolaan dan pengembangannya, dimana keduanya hanya diambil dari pendapatan pajak penghasilan penduduknya bukan dari APBN ataupun APBD (Article 212 – Constitution 1988).

Lalu, bagaimanakah nasib pendidikan negara Indonesia yang mencita-citakan anggaran pendidikannya berjumlah 20% dalam APBN dan APBD yang tidak boleh dilakukan secara bertahap? Pergulatan untuk mewujudkan cita tersebut telah dilakukan melalui jalur Judicial Review di hadapan Mahkamah Konsititusi selaku salah satu pemegang kekuasaan kehakiman, tetapi ternyata belum juga memberikan hasil yang memuaskan. Haruskah kita meletakkan harapan dan kepercayaan sepenuhnya kepada wakil-wakil kita di Lembaga Legislatif? Ataukah kita harus mundur untuk mempertimbangkan kembali ketentuan Konstitusi mengenai besaran anggaran pendidikan? Yang jelas, jika hal ini terus dibiarkan berlarut-larut, dimana setiap tahunnya anggaran pendidiakan 20 persen tidak pernah terpenuhi, maka jika demikian halnya dapat kita katakan bahwa sebenarnya Konstitusi telah menyayat-nyayat dagingnya sendiri (de constitutie snijdt zign eigen vless). Qua Vadis? ۩

Pan Mohamad Faiz
[http://jurnalhukum.blogspot.com/ (c)]