Konstitusi, Constitutional Review, dan Perlindungan Kebebasan Beragama

CONSTITUTIONAL REVIEW DAN PERLINDUNGAN KEBEBASAN BERAGAMA

Sejarah perjalanan dan perkembangan praktik ketatanegaraan Indonesia selama kurun waktu 62 tahun tidak pernah terlepas dari proses trial and error. Hal ini dilakukan semata-mata demi terciptanya kehidupan berbangsa yang lebih demokratis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.

Lahirnya Mahkamah Konstitusi pasca amandemen merupakan respons terhadap tuntutan penguatan mekanisme check and balances dalam sistem penyelenggaraan negara. Kehadirannya telah membawa ‘angin segar’ adanya perlindungan akan hak-hak konstitusional (constitutional rights) bagi warga negara.

Salah satu mekanisme yang dapat ditempuh oleh setiap warga negara terhadap pemenuhan hak konstitusional tersebut yaitu melalui jalur pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 atau dikenal dengan istilah constitutional review (staatsgerichtsbarkeit). Dalam hal ini, penulis sengaja menggunakan istilah constitutional review guna menghindari kekeliruan pemaknaan yang seringkali tumpang tindih terhadap istilah judicial review. Sebagaimana lazimnya dipraktikkan pada negara-negara common law system, judicial review memiliki pengertian yang lebih luas dan tidak terbatas hanya pada pengujian konstitusionalitas saja (Erick Barendt, 1998).

Continue reading

Penelitian Hukum: Hukuman Mati dan Hak untuk Hidup

HUKUMAN MATI DAN HAK UNTUK HIDUP:
Studi Kritis dengan Perspektif Perbandingan dalam Perdebatan Kontemporer
(India, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Indonesia)

Penulis: Pan Mohamad Faiz
Tebal: xxi + 158 Halaman + Lampiran
Waktu: Mei 2007
Bahasa: Inggris

Tidak ada permasalahan hukum yang lebih mendatangkan banyak reaksi dari masyarakat umum selain perdebatan mengenai hukuman mati. Baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya, sejak dahulu permasalahan ini telah membangkitkan respon dari setiap lapisan masyarakat. Hampir 130 negara di dunia telah melakukan penghapusan hukuman dari sudut pandang sosial, hukum, dan agama. Oleh karenanya, permasalahan ini telah meningkatkan suhu perdebatan hampir di seluruh negara, sehingga menjadi amatlah penting untuk menghadirkan berbagai dimensi signifikansi sesungguhnya dari perspektif keadilan sosial dan hukum. Kebutuhan untuk menghadirkan permasalahan yang klasik ini, dalam kerangka perpaduan yurisprudensi yang progresif dan realisme yang ada, merupakan salah satu yang harus dilakukan jika semangat masyarakat umum, khususnya para pemerhati hukum, terhadap permasalah sosial memang ingin dilayani dengan sungguh-sungguh.

Terhadap pertanyaan mengenai pidana mati terdapat dua arus pemikiran utama; pertama, adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang menginginkan pengahapusan secara keseluruhan. Kecenderungan tren masa kini berada pada posisi pengahapusan, tetapi di saat yang bersamaan juga terdapat berbagai pendapat yang ingin mempertahankan adanya pidana mati. Tidaklah terdapat keraguan bahwa hampir di seluruh dunia telah berkembang pendapat yang condong pada penghapusan pidana mati.

Di Inggris dan beberapa negara bagian Amerika Serikat, hukuman mati telah dihapuskan. Sedangkan di beberapa negara lainnya, hukuman mati telah disimpan rapat-rapat dalam suatu ‘peti es’. Di lain pihak, perdebatan serius mengenai penghapusan hukuman mati di India telah berlangsung sangat lama. Bahkan sejak jaman Inggris masih berkuasa di wilayah ini, masyarakat India telah mencoba dengan sangat serius untuk menghapuskan pidana mati. Pada tahun 1931, Gaya Prasad Singh memperkenalkan sebuah rancangan undang-undang (RUU) untuk menghapuskan pidana mati kepada Dewan Legislatif, tetapi gerakan untuk mensirkulasikan rancangan tersebut terhalang setelah Pemerintah yang berkuasa menentangnya. Selepas India memperoleh kemerdekaannya, sebuah rancangan yang serupa kembali disampaikan kepada Lok Sabha (DPR India) oleh Mukand Lal Agarwal, seorang anggota parlemen di tahun 1956, tetapi hal yang sama terjadi yaitu penolakan oleh Pemerintah yang sah.

Akhir-akhir ini, pertanyaan mengenai konstitusionalitas hukuman mati di Indonesia untuk pertama kali dimajukan di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK), di mana ketentuan pidana mati dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dalam pengertian bahwa hukuman tersebut bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Dalam lingkup masyarakat internasional, pengakuan terhadap hukuman mati hampir tidak mempunyai tempat pada masyarakat yang demokratis dan berbudaya. Komisi PBB memberikan tanggapannya sebagai berikut:

“Walaupun hukuman mati belumlah dilarang berdasar hukum internasional, kecenderungan terhadap pelarangan tersebut sangatlah jelas. Diadopsinya Opsional Kedua Kovenan Internasional terhadap Hak Sipil dan Politik tahun 1989 yang bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati merupakan pengakuan yang sangat jelas oleh masyarakat internasional terhadap kebutuhan untuk menghilangkan penggunakan pidana mati secara total dan keseluruhan.”

Daftar negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati diharapkan akan bertambah di kemudian hari. Negara-negara anggota Uni Eropa juga diharuskan untuk menghapuskan hukuman mati di dalam hukum nasional mereka. Komisi HAM PBB akhir-akhir ini meminta negara-negara yang masih melaksanakan hukuman mati untuk “menerbitkan penangguhan eksekusi dengan pertimbangan untuk mengapuskan hukuman mati secara keseluruhan”

Dengan berkembangnya konsensus masyarakat internasional yang melawan hukuman mati, beberapa negara retensionis, yaitu negara yang masih menerapkan hukuman mati, menjadi semakin terisloasi akibat komitmennya terhadap hukuman mati. Indonesia, sebagai salah satu negara retensionis, telah meratifikasi berbagai instrument HAM internasional seperti Kovenan Internasional terhadap Hak Sipil dan Politik, tetapi tidak diikuti dengan penghapusan hukuman mati sebagaimana telah dilakukan oleh banyak negara lainnya, seperti misalnya Afrika Selatan melalui Mahkamah Konstitusinya, dengan suara bulat menyatakan pada tahun 1995 bahwa hukuman mati untuk tindak pidana pembunuhan melanggar Konstitusi Afrika Selatan.

Kondisi perdebatan terhadap hukuman mati yang terus berkembang ini, dalil-dalil teologi terkadang menjadi terlempar bersama-sama dengan argumentasi filosofi, sejarah, politik, yudisial, emosional, dan pendapat pragmatik yang mengakibatkan hasilnya hampir tidak berhujung. Pemahaman yang terkadang tidak dapat disandingkan satu sama lainnya ini membawa tekanan diskusi dan mencapai pembahasan yang cukup sulit.

Dalam konteks ini, penelitian hukum singkat ini mencoba untuk menjelaskan mengenai berbagai pandangan yang berbeda mengenai hukuman mati dari beberapa negara pilihan, yaitu India, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Indonesia. Hal ini didasari, pertama, India dipilih karena mereka telah mempertahankan penjatuhan hukuman mati sejak waktu yang sangat lama. Berbagai perkara dan yurisprudensi yang terkait dengan hukuman mati dari negara ini telah memberikan pespektif yang sangat luas sebagai salah satu negara retensionis. Kedua, Amerika Serikat, dikenal sebagai pelopor lahirnya demokrasi modern dan juga negara penjunjung hak asasi manusia, mempunyai pengalaman yang sangat unik terhadap hukuman mati. Di negara tersebut, hampir sepertiga negara bagiannya telah menghapuskan hukuman mati dalam praktiknya, sedangkan negara bagian lainnya masih mempertahankan hukuman mati sebagai salah bentuk jenis penghukumannya. Dari persepektif mereka, kita akan dapat menemukan sudut pandang baik itu pendapat kalangan retensionis maupun kalangan abolisionis

Ketiga yaitu Uni Eropa yang telah menghapuskan hukuman mati secara total di wilayahnya. Penghapusan terhadap ketentuan hukuman mati merupakan salah satu syarat yang sangat penting bagi negara yang ingin bergabung untuk menjadi negara anggota Uni Eropa. Oleh karena itu, dari sudut pandang Uni Eropa kita akan dapat menemukan banyak pendapat yang menentang hukuman mati. Terakhir, Indonesia, yaitu negara yang masih berada di persimpangan jalan terkait dengan ketentuan hukuman mati. Tidak terlalu banyak diskusi yang pernah dilakukan secara intensif dan cukup serius dalam permasalahan ini. Praktik penjatuhan hukuman mati masih tetap dijalankan, tetapi banyak juga di antara terpidana yang telah dijatuhi pidana mati menderita akibat penundaan dari adanya eksekusi tersebut. Beberapa bulan yang lalu, perdebatan mengenai pidana mati kembali muncul ketika sekolompok terpidana hukuman mati mengajukan permohonan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi Indonesia guna melawan ketentuan-ketentuan hukuman mati pada UU tentang Narkotika yang dijadikan landasan oleh pengadilan pidana untuk menjatuhkan hukuman kepada mereka.

Penelitian ini akan memberikan perhatian lebih dalam analisa yuridis dibandingkan dengan aspek filosofis maupun emosional. Oleh karenanya, hal tersebut dilakukan dengan cara mengumpulkan, memeriksa, dan menganalisa seluruh instrumen hukum yang terkait dengan ketentuan hukuman mati dimulai dari kerangka internasional, konstitusi, hingga hukum nasional di masing-masing negara. Penelitian hukum ini juga menguraikan kasus-kasus penting berikut putusannya untuk dianalisa dalam rangka memperoleh pemahaman yang sama dalam perspektif respon hukum terhadap hukuman mati.

Berangkat dari hal tersebut, dikarenakan diskusi pembahasan mengenai hukuman mati merupakan tema yang sangat luas, maka pembatasan akan ruang lingkup dan tujuan penulisan akan memberikan pijakan yang jelas terhadap pembahasan berikut. Dengan demikian, tujuan utama dari penelitian hukum ini adalah sebagai berikut:

  1. Menjelaskan perbandingan pemikiran dan berbagai argumentasi mengenai hukuman mati dari perspektif yang universal dengan referensi khusus pada negara India, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Indonesia;
  2. Menemukan dan menganalisa ketentuan hukum, baik itu di tingkat internasional, regional, maupun nasional untuk menjawab diperkenankan atau tidaknya hukuman mati berdasarkan hukum yang berlaku;
  3. Akhir dari kesimpulan ini akan disampaikan sebagai rekomendasi tambahan kepada Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang masih dan sedang memeriksa perkara permohonan pengujian undang-undang mengenai hukuman mati sejak tanggal 1 Februari 2007 yang lalu.

Adapun untuk memudahkan pembahasan, penelitian ini akan diuraikan dalam beberapa Bab dan Bagian sebagai berikut:

“DEATH PENALTY AND RIGHT TO LIFE:
A Critical Study with Comparative Analysis in the Contemporary Debate
(India, United State, European Union and Indonesia)”

ACKNOWLEDGEMENT
CONTENTS
TABLE OF CASES
ABSTRACT

CHAPTER I: INTRODUCTION
1.1. Background to Research Paper
1.2. Objectives
1.3. Research Methodology
1.4. Conceptual Definitions
1.4.1. Death Penalty
1.4.2. Right to Life
1.4.3. Punishment
1.5. Structure of Research Paper

CHAPTER II: THE CONCEPT OF RIGHT TO LIFE
2.1. Overview
2.2. Meaning of Right to Life

CHAPTER III: INTERNATIONAL PERSPECTIVES ON DEATH PENALTY

PART I: WORLDWIDE DEVELOPMENT
3.1. Overview
3.1.1. Global Distribution of Death Penalty
3.1.2. Public Opinion
3.1.3. International Organisations
3.2. History of Capital Punishment
3.3. Death Penalty Debate
3.2.1. Retributive Aspect
3.2.2. Deterrent Aspect
3.2.3. Brutal Aspect
3.2.4. Unjust Aspect
3.2.5. Circumstantial Aspect

PART II: INTERNATIONAL FRAMEWORK
3.1. Universal Declaration of Human Rights
3.2. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
3.3. Second Optional Protocol of ICCPR
3.4. Economic and Social Council
3.5. Limitations on Death Penalty
3.5.1. Lawful Sanctions
3.5.2. Only for Most Serious Crimes
3.5.3. Non Retroactive
3.5.4. Young Person under 18 Years of Age and Pregnant Mother

CHAPTER IV : CONSTITUTIONAL ASPECTS OF DEATH PENALTY IN INDIA
4.1. Judicial Decision in India
4.2. Constitutional Validity of Death Penalty
4.2.1. Presumption of Reasonableness
4.2.2. Equality Guarantee
4.2.3. Fair and Just Restriction on Life and Liberty
4.2.4. Human Dignity
4.3. Statutory Basis for Capital Punishment
4.3.1. Under Indian Penal Code (I.P.C.)
4.3.2. Under Other Laws
4.3.2.1. The Arms (Amendment) Act, 1988
4.3.2.2. The Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (Amendment) Act, 1988
4.3.2.3. The Schedule Caste and the Schedule Tribe (Prevention of Atrocities) Act, 1989
4.3.2.4. The Prevention of Terrorism Act, 2002

CHAPTER V: UNITED STATES AND EUROPEAN UNION EXPERIENCE ON DEATH PENALTY

PART I: UNITED STATES
5.1. Introduction
5.2. History
5.3. Constitutionality of Death Penalty
5.3.1. Suspending
5.3.2. Reinstating
5.4. Limitations on the Death Penalty
5.4.1. Mental Illness and Mental Retardation
5.4.2. Race
5.4.3. Juveniles
5.5. Legal Process
5.5.1. Capital Sentencing
5.5.2. Direct Review
5.5.3. State Collateral Review
5.5.4. Federal Habeas Corpus
5.5.5. Section 1983 Challenges
5.6. Method of Execution
5.6.1. Hanging
5.6.2. Firing Squad
5.6.3. Electrocution
5.6.4. Gas Chamber
5.6.5. Lethal Injection

PART II: EUROPEAN UNION
5.1. Introduction
5.2. European Union Action Against the Death Penalty
5.2.1. Political Action
5.2.2. International For a
5.2.3. Country Case and Demarches
5.3. Treaty and Congress Relating to Death Penalty
5.3.1. Treaties relating to Death Penalty
5.3.2. The Third World Congress against Death Penalty

CHAPTER VI: DEATH PENALTY IN INDONESIA
6.1. Introduction
6.2. History of Death Penalty
6.3. Controversy of Death Penalty in Indonesia
6.3.1. Against the Death Penalty
6.3.2. Favour on the Death Penalty
6.4. Provision for the Death Penalty in Indonesian Laws
6.4.1. Act No 26 of 2000 on Human Rights Court
6.4.2. Act No 15 of 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism
6.4.3. Acts on Psychotropic Drugs and Narcotics
6.4.4. Recent Calls for the Death Penalty in Other Legislations
6.5. Amnesty International Report for Indonesia
6.5.1. Unfair Trials
6.5.2. Lack of Deterrent effect
6.5.3. Lack of Access to Lawyer
6.5.4. Torture
6.5.5. Amnesty International Recommendations
6.6. Constitutionality of Death Penalty
6.6.1. Background of Judicial Review
6.6.2. Court Hearing
6.6.3. Analysis on the Case
6.6.3.1. Constitutionality Aspect
6.6.3.2. Narcotic as ‘Most Serious Crime’

CHAPTER VII: CONCLUSION AND SUGGESTION
7.1. Conclusion
7.1.1. Comparative Perspectives on Death Penalty
7.1.2. Against and Favour of Death Penalty
7.1.3. International and Constitutional Obligation
7.2. Suggestion
7.2.1. Uncertainty on the Definition of Most Serous Crime
7.2.2. Restricting the Offences

BIBLIOGRAPHY
ANNEXURE

Sebagimana penelitian hukum saya lainnya, pada kali ini tentunya saya juga berharap bahwa penelitian yang sederhana ini dapat menjadi materi yang bermanfaat bagi perkembangan hukum positif di tanah air. Kritisasi terhadap hasil penelitian ini juga sangat disambut baik demi mempersembahkan hasil penelitian yang lebih baik di masa yang akan datang, sebab saya pun menyadari tentunya penelitian ini tidak luput dari kekurangan, khususnya yang bersifat omisi. Kepada siapa pun yang berminat untuk membaca keseluruhan dari penelitian ini, mereka dapat mengajukan permintaan dengan menuliskan permohonan dan tujuan penggunaannya pada fasilitas tanggapan yang telah disediakan di bawah artikel ini ataupun secara langsung dengan mengirimkan email kepada penulis melalui pan.mohamad.faiz@gmail.com.

Akhir kata saya ucapkan: “Selamat Membaca dan Terus Berkarya”

Salam Hangat,
New Delhi

Wanita dan Hukum

KEADILAN JENDER DAN PERLINDUNGAN KONSTITUSI:
KAJIAN TERHADAP HAK-HAK PEREMPUAN DI INDIA

Perempuan mempunyai posisi yang khas di dalam setiap masyarakat dan negara-negara di dunia. Meskipun kontibusi yang telah mereka berikan dapat kita rasakan hampir di seluruh lingkup kehidupan sehari-hari, namun mereka seakan-akan menderita dalam ketiadaan dan menjadi kelompok dalam posisi yang sering kali tidak menguntungkan dalam menghadapi berbagai halangan dan rintangan. Walaupun perempuan telah memperoleh status sosial yang cukup mulia, namun mereka masih harus tetap diberikan kemampuan yang lebih di bidang hukum, sosial, politik dan ekonomi.

Bagaimanapun juga penguatan kemampuan dan persamaan hak berdasarkan pada sensitivitas gender di tengah-tengah masyarakat masihlah menjadi masalah utama mereka. Intensifikasi permasalahan perempuan dan gerakan pendukung hak-hak perempuan di seluruh dunia telah direfleksikan melalui berbagai macam Konvensi yang telah dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Beberapa perlindungan yang diakui secara internasional tersebut telah membantu mengartikulasikan ideologi dari para kaum pejuang hak perempuan.[1]

Keadilan jender seringkali tidak memperoleh tempat khusus pada ketentuan konstitusi di dalam hal persamaan hak di hadapan hukum atau persamaan dalam perlindungan hukum. Hal tersebut terjadi dikarenakan persamaan hak kurang dipahami secara menyeluruh dan hal itu diperparah ketika para hakim tidak mengakui bahwa antara pria dan perempuan mempunyai kedudukan dan derajat yang sama. Oleh sebab itu, persamaan hak berdasarkan jender di mata mereka seakan-akan justru diciptakan agar terjadinya ketidaksamarataan.[2] Kenyataan tersebut, salah satunya dapat kita lihat dalam perkara Bradwell v. State of Illinois,[3] di mana Hakim Agung Bradley dari Mahkamah Agung Amerika Serikat mengatakan:

“Sifat alami dan rasa takut serta kehalusan yang dimiliki oleh mereka yang berjenis kelamin perempuan menandakan bahwa mereka tidak cocok untuk menempati berbagai jenis pekerjaan dalam kehidupan bermasyarakat … Tujuan tertinggi dan misi dari para perempuan adalah untuk memperoleh tempat yang mulia dan aman sebagai seorang istri dan ibu. Inilah hukum yang telah diciptakan oleh Sang Pencipta.”

Lain halnya dengan perkataan dari seorang hakim Amerika yang cukup berpengalaman. Ia menjelaskan bahwa diperlukan ketentuan-ketentuan khusus yang diperuntukan untuk para perempuan. Hal tersebut dikemukakan dalam perkara Muller v. Oregon[4], sebagaimana berikut:

“Struktur fisik seorang perempuan beserta fungsi-fungsinya menempatkan mereka pada pada ketidakmudahan di dalam mengarungi kehidupan merupakan suatu hal yang sangat jelas dan nyata. Sejarah memaparkan fakta bahwa perempuan selalu bergantung pada laki-laki. Oleh karena itu, laki-laki membangun kondisi untuk mengontrol perempuan mula-mula melalui kekuatan fisik dan kemudian berkembang dengan berbagai cara, dengan mengurangi keunggulan seorang perempuan, hal tersebut terus dilakukan hingga saat ini. Pendidikan menjadi salah satu cara yang telah dilakukan, namun sekarang lambat laun pintu-pintu menuju ke ruang kelas mulai dibuka lebar dan kesempatan bagi mereka untuk memperoleh ilmu pengetahuan terbentang luas.

Akan tetapi, walaupun telah adanya kesempatan tersebut, meningkatnya konsekuensi kemampuan dalam melakukan hubungan pekerjaan masihlah terlihat bahwa mereka kadang kala memperoleh perlakuan yang tidak sama terhadap para pesaingnya yang tidak lain adalah para saudara laki-lakinya. Perempuan masih memerlukan legislasi khusus untuk melindungi berbagai kebutuhannya dan menjadikan persamaan hak benar-benar bukan sekedar angan-angan.”

Di akhir tahun 1960-an, dalam perkara Hyot v. Florida[5], Mahkamah Agung Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan untuk menempatkan perempuan sebagai juri hanya jika mereka memohon permintaan secara khusus, sebagaimana diungkapkan oleh Hakim Agung Harlan, “Seorang perempuan masihlah ditempatkan sebagai pusat dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga.”

Pada dasarnya, sebagaimana dikemukakan oleh A.V. Dicey[6], teori Konstitusi mengenai ketentuan hukum dan hak fundamental berakar pada perjuangan kebebasan individual dan dimaksudkan untuk menepikan kekuaasaan negara. Sebagaimana kita ketahui, sudah sejak lama isyu mengenai jender tidak menjadi pusat perhatian dari Negara itu sendiri. Lebih lanjut dikatakan juga oleh Felix Frankfruther[7]:

“Pengakuan yang dijamin oleh konstitusi terhadap kebebasan individual tidaklah statis, tetapi merupakan ekspresi terhadap nilai-nilai dasar manusia. Mereka semakin hari berkembang menjadi hal yang lebih penting sebagai kehendak mayoritas dan oleh sebab itu diperlukan pemahaman kembali dari waktu ke waktu untuk menemukan pengakuan yang terbatas jikalau tidak mampu untuk mencukupi kebutuham manusia yang juga terbatas.”

Di dalam beberapa konstitusi negara dunia, para perumus konstitusi ketika membuat ketentuan di dalamnya sangat menaruh perhatian pada permasalahan yang dihadapi oleh para perempuan dan oleh karena itu diciptakannya berbagai ketentuan khusus yang terkait dengan mereka. Suprema lex, di dalam berbagai pasalnya, tidak hanya merupakan mandat untuk menciptakan persamaan hak terhadap jenis kelamin, tetapi pihak yang berwenang dibentuk untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap para perempuan dan anak-anak guna membantu mereka yang mempunyai keterbelakangan. Tetapi bermacam perintah konstitusi yang dibentuk oleh founding fathers tidak secara otomatis dapat diberlakukan dan kesmuanya itu hanya akan memperoleh daya penggerak sosial-hukum melalui tindakan Negara yang tepat. [8]

Berangkat dari hal tersebut, artikel ini mencoba membangun konstruksi hukum dan socio-politic dari satu negara yang telah mengembangkan gelombang pemenuhan hak asasi atas perempuan, yaitu negeri Gandhi, India. Konstitusi India secara tegas memberikan jaminan akan persamaan hak terhadap perempuan. Pasal 14 dari Konstitusi India menjamin persamaan kedudukan di depan hukum. Pasal 15 dan Pasal 16 melarang terjadinya berbagai bentuk diskriminasi, termasuk yang didasarkan pada jenis kelamin.

Kini yang menjadi pertanyaan adalah, apakah “persamaan hak” berarti harus memperlakukan seluruh individu dengan hal yang sama? Persamaan hak telah lama menjadi suatu hal yang sangat sulit untuk dipahami dan konsep yang berkembang di berbagai tempat adalah bermacam tindakan berbeda diperlakukan terhadap masyarakat yang berbeda pula. Dalam tulisan singkat ini, saya mencoba untuk memahami dan mendalami konsep dari persamaan yang telah tertransformasi, baik itu pada hukum tata negara maupun kebijakan pemerintah di India, dengan tidak menanggalkan berbagai kasus yang relevan untuk dijadikan gambaran dalam rangka pelaksanaan keadilan berbasis jender. Adapun secara garis besar, struktur tulisan tersebut adalah sebagai berikut:
GENDER JUSTICE AND
CONSTITUTIONAL SAFEGUARDS IN INDIA
ACKNOWLEDGMENT
CONTENTS
TABLE OF CASES

CHAPTER I: INTRODUCTION
1.1. Background to Research Paper
1.2. Objectives
1.3. Research Methodology
1.4. Conceptual Definitions
1.4.1. Constitutional Rights
1.4.2. Equality
1.4.3. Patriarchy
1.5. Structure of Research Paper

CHAPTER II: INTERNATIONAL INSTRUMENTS
2.1. Overview
2.2. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)
2.2.1. Definition of ‘Discrimination Against Women’
2.2.2. Implementation Procedure
2.3.3. Optional Protocol to the Convention of Women
2.3. Commission on the Status of Women

CHAPTER III: CONSTITUTIONAL PROVISIONS
3.1. Preamble
3.1.1. Political Rights
3.1.2. Economic Rights
3.1.3. Social Rights
3.2. Fundamental Rights
3.2.1. Equality
3.2.2. Right to Live with Dignity
3.2.3. Right Against Exploitation
3.3. Directive Principles of States Policy
3.4. Fundamental Duties
3.5. Women’s Representation in Local Bodies

CHAPTER IV: CONCLUSION AND SUGGESTION
4.1. Conclusion
4.2. Suggestion

BIBLIOGRAPHY

Bagi para pembaca setia yang ingin memperoleh tulisan secara lengkap dapat menghubung penulis dengan meninggalkan pesan pada kolom tanggapan yang telah disediakan atau mengirimkan email secara langsung.

Selamat membaca dan Selamat Hari Kartini

Regards,
Pan Mohamad Faiz

End Notes:

[1] Lihat Mamta Rao, Law Relating to Women and Children, Eastern Book Company, Lucknow, 2005, hal. 49.
[2] S.P. Sathe, “Gender, Constitution and the Courts”, Engendering Law: Essays in Honour of Lotika Sarkar, Eastern Book. Co., Lucknow, 1999.
[3] Bradwell v. State of Illinois, 83 US 130 (1973).
[4] Muller v. Oregon, 208 US 412.
[5] Hyot v. Florida, 368 US 57 (1961).
[6] A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, MacMillan, London, 9th Edition, 1952.
[7] Frankfurter, Felix, Mr. Justice Holmes and the Supreme Court, Harvard University Press Cambridge, Massachusetts, 1938.
[8] Krishna Iyer, Crimes Against Women: A Saga of Victimology sans Penlogy, Editied by O.C. Sharma, Ashish Publishing House, New Delhi, 1993.

Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen

CARA CEPAT DAN RINGKAS
MEMAHAMI PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN RI

Berikut merupakan uraian singkat hasil presentasi penulis sebagai pemakalah yang disampaikan pada Diskusi Ilmiah pada tanggal 17 Maret 2007 di Kedutaan Besar New Delhi. Kepada peminat hukum maupun para pengunjung yang berulang kali menanyakan materi tentang perubahan sistem ketatanegaraan kontemporer RI dan memerlukan soft copy (power point) pemaparan secara lengkap, dapat menghubungi penulis sebagai mana terlampir di akhir artikel singkat berikut ini.

A. PENDAHULUAN

Konsep Negara Hukum (Rechtsstaat), mempunyai karakteristik sebagai berikut:

  • Penyelenggaraan negara berdasar Konstitusi.
  • Kekuasaan Kehakiman yang merdeka.
  • Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
  • Kekuasaan yang dijalankan berdasarkan atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan kebijakannya harus berdasarkan ketentuan hukum (due process of law ).

UUD 1945 –> Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman –> Lembaga Negara dan Organ yang Menyelenggarakan Kekuasaan Negara.

B. DASAR PEMIKIRAN DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN UUD 1945

  1. Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
  2. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
  3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).
  4. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.
  5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
    a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden.
    b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat.
    c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
    d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.

C. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Menurut TAP MPRS XX Tahun 1966:

  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU/PERPU
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Keputusan Presiden
  6. Peraturan Menteri
  7. Instruksi Menteri

Menurut TAP MPR III Tahun 2000:

  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU
  4. PERPU
  5. PP
  6. Keputusan Presiden
  7. Peraturan Daerah

Menurut UU No. 10 Tahun 2004:

  1. UUD 1945
  2. UU/PERPU
  3. Peraturan Pemerintah
  4. Peraturan Presiden
  5. Peraturan Daerah

Menurut UU No. 12 Tahun 2011:

  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU/PERPU
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Peraturan Presiden
  6. Peraturan Daerah Provinsi
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

D. KESEPAKATAN PANITIA AD HOC TENTANG PERUBAHAN UUD 1945

  1. Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya.
  2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  3. Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.
  4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.
  5. Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.

E. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945

Deskripsi Singkat Struktur Ketatanegaraan RI Sebelum Amandemen UUD 1945:

Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

MPR

  • Sebagai Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
  • Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan golongan yang diangkat.

Dalam praktek ketatanegaraan, MPR pernah menetapkan antara lain:

  • Presiden, sebagai presiden seumur hidup.
  • Presiden yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut turut.
  • Memberhentikan sebagai pejabat presiden.
  • Meminta presiden untuk mundur dari jabatannya.
  • Tidak memperpanjang masa jabatan sebagai presiden.
  • Lembaga Negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah Presiden, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan partai politik yang paling banyak menduduki kursi di MPR.

PRESIDEN

  • Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.
  • Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the president).
  • Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).
  • Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
  • Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.

DPR

  • Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
  • Memberikan persetujuan atas PERPU.
  • Memberikan persetujuan atas Anggaran.
  • Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.

DPA DAN BPK

  • Di samping itu, UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir lembaga-lembaga negara lain seperti DPA dan BPK dengan memberikan kewenangan yang sangat minim.

F. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945

Deskripsi Struktur Ketatanegaraan RI “Setelah” Amandemen UUD 1945:

Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Perubahan (Amandemen) UUD 1945:

  • Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law.
  • Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim.
  • Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing.
  • Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
  • Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.
  • Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.

MPR

  • Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
  • Menghilangkan supremasi kewenangannya.
  • Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
  • Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu).
  • Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
  • Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.

DPR

  • Posisi dan kewenangannya diperkuat.
  • Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
  • Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
  • Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.

DPD

  • Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
  • Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
  • Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
  • Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.

BPK

  • Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
  • Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
  • Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
  • Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.

PRESIDEN

  • Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
  • Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
  • Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
  • Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
  • Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
  • Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.

MAHKAMAH AGUNG

  • Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
  • Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
  • Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
  • Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.

MAHKAMAH KONSTITUSI

  • Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution).
  • Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
  • Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.

S E K I A N

Pertanyaan dan Saran dapat disampaikan kepada Pemakalah melalui:
Email : pm_faiz_kw@yahoo.com
HP : +91 9818547489
Website: http://panmohamadfaiz.com.