UU Penodaan Agama dan Mahkamah Konstitusi

UU PENODAAN AGAMA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

* Dimuat pada Kolom Khazanah, KONSTITUSI No. 87 – Edisi Mei 2014 (Hal 72-76)

Putusan-putusan MK tidak saja selalu menarik untuk dianalisa oleh para akademisi di dalam negeri, namun juga oleh para akademisi dan peneliti dari luar negeri. Putusan MK yang sering mendapatkan perhatian dari komunitas internasional umumnya adalah kasus-kasus yang terkait dengan perlindungan hak asasi manusia dan sistem perekonomian Indonesia. Tulisan berikut ini akan menguraikan analisa terhadap salah satu Putusan MK yang mengundang kontroversi pada saat dan pasca persidangan, yaitu Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 yang dikeluarkan pada 2009 atau lebih dikenal dengan sebutan ‘Putusan Pengujian UU Penodaan Agama’.

Dr. Melissa Crouch, seorang Research Fellow di Melbourne Law School, Australia pada saat itu memberikan analisa terhadap Putusan di atas dalam “Law and Religion in Indonesia: The Constitutional Court and the Blasphemy Law” yang dimuat pada Asian Journal of Comparative Law (2012). Kajiannya mencoba untuk menemukan bagaimana hubungan antara negara dan agama diartikulasikan dan ditafsirkan di Indonesia, serta sejauhmana batasan terhadap kebebasan beragama dapat dirumuskan dan dibenarkan.

Continue reading

Quo Vadis Sengketa Pemilukada?

Aside

QUO VADIS SENGKETA PILKADA?
*Dimuat pada Koran SINDO, Kamis (22/5/2014).
 
photo (2)Salah satu putusan penting dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang diputuskan Senin (19/5) lalu tampaknya kurang memperoleh perhatian luas.

Konsentrasi publik masih terserap pada proses pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden. Padahal, Putusan MK tersebut sangat terkait erat dengan proses pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia. Melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, MK menyatakan bahwa penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) oleh MK adalah inkonstitusional. Akibatnya, MK tidak berwenang lagi mengadili sengketa pilkada. Putusan ini tidak diambil secara bulat. 

Tiga hakim konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinions) terhadap pendapat keenam hakim lainnya. Salah satu klausul penting dalam putusan tersebut, kewenangan untuk mengadili sengketa pilkada selama belum ada undang-undang yang mengaturnya tetap berada di tangan MK. Alasannya agar tidak ada keragu-raguan, ketidakpastian hukum, dan kevakuman lembaga yang menyelesaikan sengketa pilkada (hlm. 62). 

Continue reading