About Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L., Ph.D.

Pan Mohamad Faiz was born in Jakarta, Indonesia. He earned his PhD on Constitutional Law at the TC Beirne School of Law, the University of Queensland in Brisbane, Australia. Faiz has been working as a Researcher, Judicial Assistant and Speechwriter at the Indonesian Constitutional Court since 2005. He has a Bachelor of Laws degree from the University of Indonesia and Master of Comparative Laws degree, concentrating in comparative constitutional law, from the University of Delhi where he was fully supported by ICCR Scholarship. He has been invited to be a guest lecturer on constitutional law at the Faculty of Law, University of Indonesia and other Indonesian legal institutions since 2008. He was the Executive Secretary of the Expert Council of Indonesian Legal Scholars Association (ISHI) and a Legal Researcher at the Institute of Indonesian Law and Governance Development (IILGD) and at the Legal Center for Law and Information (The CeLI). In 2012 he became a Research Scholar at the Centre for Public, International and Comparative Law (CPICL) and commenced his PhD at TC Beirne School of Law, the University of Queensland. Early 2012 the U.S. Department of State awarded Faiz a premier professional exchange program known as the International Visitor Leadership Program (IVLP) for his outstanding achievement and contribution. Despite his achievement in academic area, Pan Mohamad Faiz is well known as a student activist both in national and international level. He was the President of Student Senate at Faculty of Law, University of Indonesia (2004-2005) and the President of Indonesian Student Association in India/PPI-India (2007-2008). He is also one of the founders of “Forum Lintas Generasi (FLG, Depok), Overseas Indonesian Students Association Alliance (OISAA, Sydney), and Institute of Indonesian Law and Governance Development (IILGD, Jakarta). Faiz also served as National President of Indonesian Students Association of Australia (PPI Australia) and Coordinator of Overseas Indonesian Students Association Alliance (PPI se-Dunia).

Putusan Ultra Petita di Mahkamah Konstitusi

PUTUSAN ULTRA PETITA DI MAHKAMAH KONSTITUSI

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 168, Februari 2021, hlm. 56-57– Download)

Dalam beberapa kesempatan, penulis kerap mendapatkan pertanyaan mengenai putusan ultra petita yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Di berbagai forum akademik, isu hukum ini seringkali dibahas. Tak sedikit juga yang mengkritisi adanya praktik putusan ultra petita tersebut. Bahkan, ada pula yang menilai MK telah melakukan abuse of power dengan membuat putusan ultra petita.

Larangan untuk menjatuhkan putusan ultra petita oleh MK pernah dimuat dalam Pasal 45A UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU MK Nomor 24 Tahun 2003 (UU 8/2011). Ketentuan tersebut berbunyi, “Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan”.

Artikel kali ini akan membahas dan mendudukkan putusan ultra petita secara lebih jernih dalam konteks peradilan konstitusi.

Continue reading

Masa Depan Constitutional Complaint

MASA DEPAN CONSTITUTIONAL COMPLAINT

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 165, November 2020, hlm. 116-117 – Download)

Kajian mengenai pengaduan konstitusional atau lebih dikenal dengan istilah constitutional complaint bukanlah hal yang baru dalam ranah studi hukum dan konstitusi. Penulis sendiri pertama kali menuliskan artikel mengenai constitutional complaint pada 28 Februari 2006. Saat itu, Penulis membuat artikel dengan tajuk “Menabur Benih Constitutional Complaint”. Tulisan tersebut terinspirasi dari dissenting opinion yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan yang menyayangkan ketiadaan constitutional complaint dalam sistem hukum di Indonesia.

Pertanyaannya, setelah hampir 15 tahun sejak artikel tersebut dipublikasikan, bagaimana perkembangan dari benih yang telah ditaburkan itu? Jangankan mulai berbuah, tunasnya pun mungkin tidak terlalu terlihat. Namun, akar kajian dari constitutional complaint tersebut dapat dikatakan semakin kuat dan saling berkelindan dengan gagasan-gagasan serupa yang disampaikan oleh banyak pihak lainnya.

Continue reading

Menguji Konstitusionalitas Amendemen Konstitusi

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS AMENDEMEN KONSTITUSI

(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 164, Oktober 2020, hlm. 90-91 – Download)

Doktrin bernegara yang diterima oleh banyak pihak, konstitusi harus ditaati dan dijalankan dengan sungguh-sungguh, terlepas dari adanya kelemahan dan kekurangan terhadap isinya. Hal yang sama juga berlaku terhadap apapun hasil dari amendemen konstitusi. Lembaga-lembaga negara, khususnya lembaga peradilan, sejatinya turut mengawal dan menjaga konstitusi hasil amendemen tersebut.

Pertanyaannya, bagaimana jika amendemen konstitusi tersebut justru menjauhkan identitas konstitusi (constitutional identity)atau meruntuhkan struktur dasar (basic structure)dari suatu negara? Apakah terbuka peluang untuk membatalkan amendemen konstitusi tersebut melalui jalur pengadilan? Artikel ini akan menganalisis praktik pengujian konstitusionalitas amendemen konstitusi di negara lain dengan menggunakan studi perbandingan konstitusi.

Continue reading

Urgensitas Perubahan Kelima UUD 1945

URGENSITAS PERUBAHAN KELIMA UUD 1945

Pan Mohamad Faiz

(Artikel pendek diterbitkan dalam Buku “75 Tahun Indonesia: Pemuda dan Pikirannya untuk Indonesia” (2020) diterbitkan oleh Jaringan Alumni Luar Negeri/JALAR)

Setiap tanggal 18 Agustus, Indonesia kini memperingati “Hari Konstitusi” yang didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2008. Peringatan ini merujuk pada momentum 75 tahun silam ketika disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. Dalam perspektif teori hukum tata negara, konstitusi merupakan sumber hukum tertinggi di suatu negara yang mengatur berbagai hal fundamental mengenai komposisi dan fungsi lembaga negara serta hubungan antara negara dengan warganya.

Berdasarkan lintasan sejarah ketatanegaraan, UUD 1945 pernah digantikan dengan Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950, sebelum akhirnya kembali lagi pada UUD 1945 pasca Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden 1959. Setelah era reformasi bergulir, UUD 1945 yang selama Orde Baru terkesan disakralkan akhirnya diubah. Alasannya, UUD 1945 tidak memiliki fondasi yang kuat untuk membangun pemerintahan demokratis. Selain itu, perlindungan dan jaminan hak asasi manusia bagi warga negara dirasa masih sangat lemah.

Continue reading