DEKONSTRUKSI NE BIS IN IDEM DI MAHKAMAH KONSTITUSI
(Tulisan diterbitkan dalam Kolom “Ruang Konstitusi” di MAJALAH KONSTITUSI No. 144, Februari 2019, hlm. 74-75 – Download)
Salah satu asas dasar yang sering digunakan dalam bidang hukum adalah ne bis in idem. Secara harfiah, istilah ini berasal dari bahasa latin yang berarti “not twice in the same”. Asas ini memberikan pelarangan terhadap kemungkinan bagi seseorang untuk dituntut lebih dari satu kali berdasarkan fakta-fakta yang sama. Bas van Bockel (2010) menjelaskan asas ini dari sejarah panjang Yunani kuno tatkala Demosthenes memproklamirkan ketentuan bahwa “the laws forbid the same man to be tried twice on the same issue.”
Secara umum, asas ini diterapkan sebagai prakondisi dari proses persidangan yang adil dan menjamin adanya kepastian hukum. Ne bis in idem merupakan konsep penting dari suatu negara hukum. Sebab, negara diharuskan untuk menghormati proses dan hasil pengadilan yang telah memutus sebelumnya. Penghormatan terhadap res judicata atau finalitas suatu putusan tersebut merupakan fondasi bagi negara agar memiliki legitimasi hukum. Tanpa hal tersebut, legitimasi negara tak akan terbentuk.
Desain pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 (UU Pilkada) telah bertransformasi dari yang sifatnya digelar secara bergantian menjadi serentak. Gelombang pertama penyelenggaraan Pilkada secara serentak dimulai pada 2015. Kemudian, Pilkada serentak gelombang kedua digelar pada 2017, sedangkan gelombang ketiga Pilkada serentak diadakan pada 2018.
Sejak satu dekade yang lalu, Indonesia mulai memperingati Hari Konstitusi yang jatuh setiap tanggal 18 Agustus. Peringatan tersebut ditandai dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2008 tentang Hari Konstitusi di masa kepemimpinan Presiden SBY. Keputusan untuk menjadikan 18 Agustus sebagai Hari Konstitusi ini didasari atas momentum penetapan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pada 13 Agustus 2018 mendatang, hakim konstitusi perempuan pertama dan satu-satunya yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Dr. Maria Farida Indrati, akan paripurna menyelesaikan masa baktinya. Maria yang sebelumnya dipilih melalui jalur eksekutif tak lagi dapat diperpanjang masa jabatannya. Sebab, UU MK membatasi seorang hakim konstitusi hanya dapat diperpanjang masa jabatannya satu kali. Sedangkan, Maria saat ini tengah menyelesaikan masa jabatannya untuk periode yang kedua (2013-2018).